Senin, 28 Mei 2012

Upaya Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Dalam Bingkai Ke-Islaman

I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya semua agama mengajarkan tentang universalitas dalam setiap inti ajarannya guna mempertemukan semua keyakinan seluruh umat manusia. Adapun nilai dari universalitas itu sendiri haruslah didasarkan pada kondisi yang nyata, ruang maupun waktu agar memiliki efektifitas sebagai dasar etika sosial. Salah satu prasayarat bagi terwujudnya masyarakat madani adalah tercermin dengan penerimaan dan pengakuan dari segenap masyarakat yang majemuk disertai dengan sikap tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan tersebut sebagai satu hal yang bernilai positif. Kenapa di sini disinggung permasalahan masyarakat madani yang berujung pada konsep pluralisme dalam agama? Hal tersebut dikarenakan pembahasan dalam kerukunan umat beragama tentu menyinggung beberapa agama, lebih-lebih dalam bangsa Indonesia yang notabenenya adalah Negara Pancasila yang didalamnya terdapat berbagai macam agama, antara lain; Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghuchu, aliran kepercayaan dan mungkin masih ada agama yang belum disebutkan.
Salah satu prasyarat bagi terwujudnya masyarakat modern yang demokratis dan bersatu adalah dengan terwujunya masyarakat yang menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan bahwa keragaman (pluralism) adalah keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural yang dalam suatu masyarakat atau negara serta keragaman maupun sikap suatu badan serta kelembagaan dan sebagainya. Diskursus tentang keberagaman sendiri tampaknya telah menjadi tema yang cukup penting dan banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendekiawan muslim decade 80-an. Dilihat dari sisi manapun transformasi budaya masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, hukum, kehidupan agama dan sebagainya harus tetap berjalan, namun juga harus diakui bahwa merupakan usaha yang tidak mudah untuk mengubah pola hidup, tradisi dan kebiasaan masyarakat. Tidak semudah membalikkan telapak tangan yang dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap. Banyak persoalan yang harus dikritisi dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat dalam bidang keagamaan maupun partisipasi kritis masyarakat dalam menyikapi kebijakan negara.
Berbicara mengenai keragaman juga tidak dapat dipisahkan dari kemajemukan budaya, politik, agama dan sebagainya. Menurut hemat penulis, agar tidak terjadi kerancuan pembahasan dalam uraian ke depan, maka perlu dipertegas beberapa terma yang akan kita kupas dalam kaitannya dengan kerukunan umat beregama sebagai upaya dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam bingkai ke-Islam-an. Antara lain mengenai; pluralisme agama, ikhtiar manusia dalam mewujudkan kerukunan dalam kehidupan keberagamaan, keadilan Tuhan dalam menganugerahkan fitrah kepada umat manusia dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, titik temu dari semua agama serta beberapa penyajian ayat yang terkait dengan pluralisme keagamaan.
II. PEMBAHASAN
Pada dasarnya semua umat manusia yang ada di bumi adalah saudara. Al Qur’an merangkum sebanyak 52 ayat yang berkaitan dengan persaudaraan. Setiap orang yang menelaah al Qur’an dan merenungi ayat-ayatnya akan menemukan bahwa secara afirmatif al Qur’an menjelaskan keesaan Allah dan pluralitas selain Dia. Salah satu dari beberapa pokok persoalan yang mendominasi wacana kaum Muslim adalah syari’ah. Padahal jika kita menelisik lebih jauh lagi, pengertian yang dalam dan meluas yang biasanya bersifat abstrak selalu rawan dengan distorsi dan pengaburan baik karena proses penyempitan atau perluasan yang tidak proporsional.
1. Definisi Agama
Tidak mudah mendefinisikan agama. Apalagi di dunia ini kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap agama ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri. Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama.
Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

2. Pluralisme Agama
Al Qur’an telah mencapai puncaknya ketika menegaskan sikap penerimaan terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup berdampingan. Baik Yahudi, Kristen dan agama lainnya diakui eksistensinya oleh Islam. Ini satu-satunya yang tidak berada pada agama lain. Sikap seperti ini ada pada Islam karena dua alasan; yang pertama, alasan sejarah dan yang kedua adalah alasan objektif. Alasan sejarah dikembalikan kepada sejarah lahirnya tiga agama: Yahudi, Kristen dan Islam. Sesungguhnya sikap Islam terhadap pluralitas agama berdiri di atas prinsip kesejajaran, toleransi dan saling melengkapi. Inilah yang paling baik karena sesungguhnya pluralitas agama lebih baik daripada satu agama karena satu agama tidak akan bisa merespon dinamika kemanusiaan. Adapun alasan objektif bagi penegasan Islam akan pluralitas agama adalah kembali kepada cara pandang Islam terhadap Tuhan sebagai Pencipta alam raya dengan segala isinya.
Semua agama dipengaruhi dan mempengaruhi kondisi masyarakatnya. Al Quran tidak pernah menganggap pluralitas agama sebagai problem sensitif karena semuanya adalah ciptaan Allah. Berangkat dari kesadaran inilah maka salah dan benar tidak dapat menjadi bingkai bagi agama-agama. Setiap agama mewakili berbagai kebutuhan manusia. Perbedaan masing-masing terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan, era dan lingkungan. Sedangkan hikmah yang terpetik dari paradigma semacam itu adalah bahwa perbedaan itu akan berakhir pada satu, Hakekat Ketuhanan.
Dibawah ini adalah data dari beberapa ayat Al Qur’an yang dapat disajikan:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan shabi’in, orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan melakukan perbuatan baik, bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka. Mereka tidak akan merasa ketakutan dan mereka tidak akan bersedih."

" Orang-orang Yahudi berkata bahwa orang-orang Nashrani tidak berada di atas kebenaran dan orang-orang Nashrani berkata kepada orang-orang Yahudi tidak berada di atas kebenaran. Padahal mereka membaca Kitab. Begitulah orang-orang yang tidak mengerti berkata seperti perkataan mereka. Allah-lah yang akan memutuskan pada hari Kiamat tentang masalah yang mereka perdebatkan."

" Jika Tuhanmu menghendaki niscaya menjadikan manusia sebagai umat yang satu. Akan tetapi (Tuhanmu menentukan hukum-Nya dan) mereka selalu berselisih. Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Tuhanmu. Untuk yang demikianitulah Dia menciptaka mereka. Ketetapan Tuhanmu telah sempurna. Sungguh Aku akan penuhi jahannam itu dengan jin dan manusia seluruhnya."

"Katakanlah kami beriman kepada Allah, kepada yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakub, tokoh-tokoh Bani Israel dan kepada apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membedakan seorangpun dari mereka. Dan kami berserah diri kepada-Nya."
3. Ikhtiar manusia dalam mewujudkan kerukunan dalam kehidupan beragama
Berbicara masalah kerukunan antar umat beragama dalam kaitannya dengan ikhtiar dalam perwujudannya secara tidak langsung terbesit asumsi dalam pikiran kita bahwa ada kemungkinan jika berbagai penganut agama bertemu dalam satu landasan bersama(common platform).
Membicarakan tentang upaya manusia dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama tidak bisa melepaskan dari beberapa teori pemecahan masalah ketika terjadi problem di tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan jalan musyawarah. Banyak titik berangkat untuk memulai dialog dan kerjasama lintas agama. salah satunya adalah upaya pemerintah dalam mempererat hubungan antar agama melalui Departemen Agama(Depag)maupun oleh individu-individu yang simpati terhadap problematika serta berbagai ketegangan lintas agama dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Kita tidak bisa menutup mata jika sesungguhnya proyek toleransi dan kerukunan antar umat beragama pada mulanya diprakarsai oleh Depag. Tersebutlah sebuah nama, Prof. Dr. Mukti Ali ketika dia menjabat sebagai Menteri Agama periode 1971-1978. Ia membentuk Proyek Kerukunan Hidup Umat Beragama yang menyelenggarakan dialog antar tokoh-tokoh agama. Depag juga membentuk Wadah Musyawarah antar Umat Beragama yang rutin menyelenggarakan pertemuan bersama. wadah ini dibentuk bersama-sama dengan Majelis Ulama Indonesia(MUI), Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia(PGI), Konferensi Wali-Wali Gereja se-Indonesia(KWH), Parisada Hindu Dharma Indonesia(PHDI) dan Perwakilan Umat Budha Indonesia(WALUBI).
Adapun dialog antar agama adalah satu dari beberapa solusi terkait dengan upaya mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Dialog antar agama adalah satu bentuk aktivitas yang menyerap ide keterbukaan. Dialog ini dianggap penting justru karena berfungsi untuk menyingkap ketertutupan yang selama ini menyelimuti hubungan antar agama. Dialog tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sikap terbuka antara masing-masing pihak yang berdialog. Jika alternative untuk melakukan dialog antar umat beragama tadi tidak diwujudkan, maka dikhawatirkan akan terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan kita mudah terjerembab ke dalam prasangka sehingga terjadi kontraproduktif bagi hubungan antar agama tersebut. Nah, untuk meminimalisir akibat-akibat negatif seperti tersebut di atas maka tokoh-tokoh agama dan para aktifis merintis tradisi dialog.
Sementara itu terdapat juga penawaran akan bentuk-bentuk dialog agama, antara lain; dialog kehidupan, dialog kerja social, dialog teologis dan dialog spiritualis. Dialog kehidupan merupakan bentuk yang paling sederhana dari pertemuan antar agama yang dilakukan oleh umat beragama. Di sini, para pemeluk agama yang berbeda saling bertemu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berbaur dalam aktivitas kemasyarakatan secara normal. Mereka melakukan kerjasama secara sosial tanpa memandang identitas masing-masing. Diaolg kerja social merupakan lanjutan dari dialog kehidupan yang telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keberagamaan. Kemudian dialog teologis. Dialog ini tidak dapat diabaikan jika kita ingin membangun hubungan antar umat beragama yang sejati dan akhirnya juga melahirkan persahabatan yang sejati pula. Dialog ini bertujuan membangun kesadaran bahwa di luar keyakinan kita ada banyak sekali keyakianan dan keimanan dari tradisi agama-agama selain kita. Kemudian yang terakhir adalah dialog spiritual. Dialog spiritual bergerak dalam wilayah esoterik, yaitu ‘sisi dalam’ agama-agama.
Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap agama memiliki aspek lahir(eksoteris) dan aspek batin(esoteris). Sistem teologi dan ritus agama-agama adalah bagian dari system esoteris. Dialog spiritual melampaui sekat-sekat dan berbagai batasan dalam formalisme agama karena sekat dan batas mengindikasikan perpecahan. Sebenarnya dialog spiritual telah lama dilakukan oleh para mistikus dari berbagai agama. Tujuannya adalah memperkaya pengalaman batin yang dengan itu mereka bisa semakin yakin bahwa semua agama adalah benar, semua hanya terletak pada jalan yang berbeda, pada akhirnya mereka menuju pada satu tujuan. Di bawah ini adalah beberapa ayat yang berhasil dihimpun untuk menguatkan prinsip kerukunan antar umat beragama:
" Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah( penganut agama lain)".
" Tidak ada paksaan untuk menganut agama (Islam)".
" Bagimu agamamu dan bagiku agamaku".

" Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian orang atassebagian yang lain(tidak mendorong kerjasama antar manusia), niscaya rubuhlah biara-biara, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjidyang di dalamnya banyak disebut nama Allah".
" Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan kedamaian".
" Katakanlah, Kami atau anda yang berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata".
4. Keadilan Tuhan dalam Menganugerahkan Fitrah Agama kepada Manusia
Dalam Islam, keberagamaan adalah fitrah(sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya). Adapun redaksi ayat selengkapnya adalah sebagai berikut:

"Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya".
Dalam Al Qur’an, kata fitrah dalam berbagai bentuknya disinggung sebanyak 28 kali. Merujuk pada fitrah yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya telah membawa potensi beragama yang lurus yang dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Selanjutnya, dipahami juga bahwa fitrah adalah bagian dari khalq(penciptaan) Allah. Kalau kita memahami kata la pada ayat tersebut di atas dalam arti "tidak", maka berarti tidak ada seorangpun yang dapat menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selamanya. Meskipun kadang keberadaannya boleh jadi tidak diakui dan diabaikan.
Agama adalah kebutuhan hidup yang tidak dapat ditangguhkan oleh manusia. Ingat suatu hadis yang kerap dikutip dalam kaitannya dengan fitrah ini.
"Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi, Nashrami atau Majusi" (HR. Bukhari).
Adanya fitrah adalah sebagai kelanjutan dari perjanjian kita dengan Allah ketika masih berada dalam alam ruhani. Sebagaimana digambarkan dalam kitab suci bahwa sebelum kita lahir dan dipanggil oleh Allah secara bersamaan menghadap dan dimintakan kesaksian bahwa kita akan bertuhankan Allah, berpangerankan Tuhan dan ber-Rabb yang lebih tinggi yaitu Allah. Simak ayat di bawah ini:

" Bukankah Aku ini Tuanmu? Ya kami bersaksi,( Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami( ban I adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini( ke-esa-an Tuhan)".
Jadi kita terikat dalam perjanjian dengan Allah dan kehiodupan kita merupakan realisasi atau pelaksanaan untuk memenuhi perjajnian kita dengan Allah yang intinya adalah ibadah dan menghambakan diri kepada Allah.

5. Titik Temu Dari Semua Agama
Jika kita berbicara tentang titik temu dari semua agama maka hal itu telah tersaji dalam uraian yang telah tersebut di depan yakni pada tujuan dari masing-masing agama yang menuju pada satu tujuan, yakni Yang Esa (ketauhidan). Kembali pokok ajaran dari semua agama, maka kita akan menemukan bahwa di setiap agama terdapat Nabi yang berfungsi sebagai penjembatan yang mengantarkan maksud Tuhan kepada manusia. Perintah Tuhan kepada Nabi dapat kita bahasakan sebagai sebuah penilaian yang dapat disimpulkan bahwa sebenarnya agama yang benar, yang membawa kepada keselamatan yaitu agama yang generic dalam arti bebas dari komunalisme dan sektarianisme. Dan dia adalah agama yang berintikan pada suatu sikap kepasrahan kepada Tuhan dengan berbuat baik kepada seluruh umat manusia dan tidak boleh saling mengklaim karena sesungguhnya beragama adalah fitrah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Sedangkan agama manapun secara nyata memang berfungsi dalam kehidupan jika dipahami secara utuh oleh pemeluknya dan umat manusia pada umumnya.

III. KESIMPULAN
Untuk mewujudkan suatu kondisi yang aman tenteram dan saling menghormati serta kerja sama antar umet beragama adalah pr kita sebagai umat Islam karena telah terpapar dalam uraian di atas bahwa sesungguhnya Islam mengajarkan tentang bagaimana cara bertindak dan berprilaku maupun cara berinteraksi dengan masyarakat non muslim dengan menghormati perbedaan. Islam sendiri pada dasarnya sama sekali tidak menafikan pluralisme, bahkan justeru mempertegas adanya pluralisme karena moderatisme yang dinamis tidak akan dapat berjalan tanpa adanya pluralisme.
Setiap usaha yang dilakukan untuk membentuk masyarakat menjadi satu warna dan monoton dengan alasan kesatuanIslam atau moderatisme Islam tanpa mengindahkan adanya pluralitas factor yang mempengaruhi masyarakat tentu dapat dipastikan akan mengalami kegagalan yang akut atau sempurna. Dan kegagalan itu terjadi setelah mengerahkan waktu dan tenaga yang tidak sebentar dan tidak sedikit. Oleh karena itu, adalah tanggung jawab kita bersama untuk terus memupuk kerukunan antar umat beragama melalui upaya menuju persatuan dan kesatuan dalam bingkai Islam secara utuh.
Semoga Allah menyertai langkah kita.
Wallahu a’lam Bi Al Shawa_b

DAFTAR PUSTAKA
Gamal Al Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al Qur’an, Bekasi: Menara, 2006
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998
Nur Achmad (Ed), Pluralitas Agama " Kerukunan Dalam Keragaman", Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2001
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992
----------------------, Atas Nama Pengalaman, "Beragama dan Berbangsa Di Masa Transisi", Jakarta: Paramadina, 2002
---------------------, Islam Agama Kemanusiaan "Membangun Tradisi Dan Visi Baru Islam Indonesia", Jakarta: Paramadina, Cet. II, 2003, hal. 90-102
Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an "Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat", Bandung: Mizan, 2003
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, "Kritik Hermeneutis Masyarakat Madani Nurcholish Madjid", Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Tim Penulis Paramadina, Fiqh Lintas Agama ‘Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis’, Jakarta: Paramadina, 2005
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986. Media.isnet.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar