I. PENDAHULUAN
Permasalahan kehidupan di abad modern berbeda jauh dari apa yang dialami oleh generasi terdahulu. Perbedaan tersebut terasa sekali di tengah masyarakat, seperti mobilitas yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain-lain. Realitas kehidupan yang demikian membuat masyarakat, baik individu maupun berkeluarga, bahkan berbangsa dan bernegara menjadi seakan tidak memiliki waktu luang untuk membaca kitab-kitab tafsir yang dianggap berat seperti; Al Kasysyaf karangan Zamakhsyari, Ath Thabari, Jalalain, Durrat al Tanzil wa Ghurrat al Ta’wil, Al Burhan fi Taujih Mutasyabah Al Qur’an dan masih banyak lagi. Untuk menanggulangi permasalahan semacam itulah kemudian para mufassir Al Qr’an dengan metode baru yang disebut dengan metode tematik (maudhu’i).
Dengan lahirnya metode ini, mereka yang menginginkan petunjuk Al-Qur’an dalam suatu masalah tidak perlu menghabiskan waktunya untuk membaca kitab-kitab tafsir yang beser seperti tersebut di atas tetapi cukup dengan membaca tafsir tematik tersebut selama permasalahan yang ingin mereka pecahkan dapat dijumpai dalam tafsir tematik ini.
II. PEMBAHASAN
Sketsa Biografi Yang Mendasari Pemikiran Quraish Shihab.
Quraish Shihab yang bernama lengkap Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang dengan nyantri di Pondok Pesantren Darul Hadis Al- Faqihiyah. Pada tahun 1958 dia berangkat ke Kairo, Mesir. Di sana dia diterima di kelas II Tsanawiyah Al Azhar. Pada tahun 1967 dia meraih gelar Lc yang setara dengan S-1 di Indonesia pada Fakiltas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama dan pada tahun 1969 dia meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Qur’an dengan tesis yang berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’iy li Al-Qur’an Al Karim. Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin, Ujung Pandang. Selain itu ada beberapa jabatan lain yang diamanahkan atasnya, baik di dalam kampus maupun d luar kampus. Seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta wilayah VII Indonesia Bagian Timur dalam lingkup ruang pendidikan dalam kampus maupun sebagai Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam wilayah bimbingan bidang pembinaan mental. Selam tinggal di Ujung Pandang dia juga sempat melakukan berbagai riset; antara lain riset dengan tema ‘ Penerapan Kerukunan Hidup Beragama Di Indonesia Timur"( 1975) dan masalah " Masalah Wakaf Sulawesi Selatan".
Pada tahun 1980 Quraish Shibah kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya terdahulu yakni Al azhar. pada 1982 dia berhasil meraih gelar doktoralnya dengan spesialisasi pada ilmu-ilmu al Qur’an melalu tesis yang berjudul Nadzm al Dhurar li Al- Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat al syaraf al ‘ula). Setelah kembali ke Indonesia pada 1984, Quraish ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Selain itu, di luar kampus dia dipercayakan untuk memangku beberapa jabatan. Antara lain; Ketua Majelis Ulama Indonesia( MUI) Pusat sejak 1984; Anggota Pentashih Al Qur’an Departemen agama sejak 1989; Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989 dan Kerua Lembaga Pengembangan. Selain itu dia juga banyak terlibat dalam breberapa organisasi professional, seperti; Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sedangkan beberapa karyanya dalam dunia tulis menulis antara lain tulisannya di surat kabar "Pelita" pada rubrik "Pelita Hati" yang di publikasikan setiap hari Rabu. Selain itu dia juga mengasuh rubric Tafsir Al Amanah dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama. Dia juga aktif dalam menyunting beberapa buku dan jurnal-jurnal ilmiah.
Hingga kini beberapa bukunya yang sudah diterbitkan antara lain Tafsir Al- Manar, Keitimewaan dan Kelemehannya (Ujung Pandang, IAIN Alaudin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta, Departemen Agama, 1987); Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988); Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan( Bandung, Mizan, 1994), Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung, Mizan, 1992), Wawasan Al Qur’an (Bandung, Mizan. 1996) hingga karyanya terbarunya yang paling monumental yakni Tafsir Al Mishbah.
1. Kerangka Berfikir
Sebelum masuk pada kerangka berfikir Quraish Shihab maka saya rasa perlu untuk memaparkan sedikit paradigma pemikiran yang mewarnai ranah tafsir di dunia Islam. Pengetahuan tasawwur (konsepsi) hanya merupakan suatu bentuk dari beberapa gagasan sederhana yang di dalamnya belum terdapat penilaian. Sebab itulah belum terdapat nilai benar atau salah. Dan siapapun tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi akan tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin, yakni pengetahuan-pengetahuan tashdiqi agar proses penilaian dapat dilakukan dalam setiap gagasan. Coba telusuri konsep hermeneutic Gadamer yang membuat klasifikasi pengetahuan menjadi dua bagian. Dua bagian itu adalah pengetahuan pra pemahaman dan pemahaman.
Dalam menganalisis tentang suatu masalah, seseorang pasti mempunyai gambaran tentang persoalan terkait. Adapun untuk dapat mengetahui persoalan secara menyeluruh serta memahami persoalan, seseorang harus melalui beberapa proses dalam pengolahan pemahaman. Dalam kancah perdebatan filosofis, ketika para pemikir mencoba merumuskan jawaban atas hal pokok mengenai konsepsi manusia, terbentuklah tiga hal pokok berdasarkan doktrinnya masing-masing. Adapun tiga hal pokok yang akrab disebut dengan kerangka berfikir atau madzhab berpikir tersebut adalah; pertama madzhab metafisika Islam dengan mengusung doktrin aqliyahnya, kedua, madzhab empirisme dengan doktrin empiriknya dan yang ketiga adalah madzhab skriptualisme dengan menyuguhkan doktrin tekstualnya.
Jika kita berkaca pada landasan itu maka Quraish Shihab termasuk dalam wilayah ketiga yakni skriptualisme. Secara tidak langsung kerangka berfikirnya adalah skriptualisme dalam arti dia mengusung doktrin tekstual al-Qur’an. Namun dari sisi kancah pergumulannya di dunia tafsir, dia termasuk mufassir yang memiliki paradigma berfikir tekstual-kontekstual dan bisa dikatakan kelompok tradisionalis yang moderat. Kenapa demikian? Karena dia berpijak pada manuscript al-Qur’an murni sebelum dikontektualisasikan dengan realitas social. Jadi dia meletakkan teks al-Qur’an sebagai referensi utama sebelum dia melihat makna teks untuk dikomparasikan dengan disiplin ilmu lain, antara lain; ilmu-ilmu social kemasyarakatan maupun ilmu politik dan ilmu hukum. Dari situlah kemudian tersaji berbagai penafsiran yang tersaji secara apik dalam tafsir maudhu’i-nya yang membahas tentang tema-tema social kemasyarakatan yang berguna untuk menjawab pelbagai persoalan umat di samping karya besarnya yang cukup monumental. Karya itu kita kenal dengan tafsir al- Mishbah yang terdiri dari beberapa jilid dan mengupas penafsiran ayat demi ayat secara terperinci.
Namun lepas dari semua uaraian di atas, saya memiliki pendapat sendiri bahwa sosok Quraish Shihab lebih condong pada kerangka berfikir yang bersifat eksploratif-deskriptif-analitis-komparatif. Yaitu model pemikiran yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang pernah dilakukan ulama tafsir terdahulu berdasarkan literature tafsir baik yang primer yakni ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan maupun ulama lainnya. Dari data yang diperoleh kemudian dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis memakai pendekatan kategorisasi dan perbandingan.
2. Metode Penafsiran
Secara umum ada bermacam-macam metode dan corak penafsiran al Qur’an. Dr. Abd al- Hay al-Farmawi membagi metode-metode yang dikenal selama ini menjadi empat, yaitu: analisis, komparatif, global dan tematik (penetapan topik). Kemudian dilanjutkan dengan ungkapan Al Farmawi yang mengetengahkan beberapa langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir yang mengambil konsentrasi maudhu’i(tematik). Adapun beberapa langkah tersebut adalah:
§ Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan judul terkait sesuai dengan kronologi urutan turunnya. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang mansukh.
§ Menelusuri asbab al nuzul dari ayat-ayat yang telah dihimpun.
§ Meneliti dengan cermat semua kata dan kosakata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut. Kemudian mengkaji dari beberapa aspek yang berkaitan dengan tema ayat seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabat, pemakaian dhamir dan sebagainya.
§ Mengkaji pemahaman ayat yang berasal dari beberapa aliran pendapat para mufassir baik yang klasik maupun kontemporer.
§ Pengkajian ssemua yang sudah terangkai di atas dilakukan dengan seksama dan menggunakan penalaran objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabarserta didukung oleh fakta dan argument yang berasal dari Al Qur’an, hadis atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan.
Kemudian pembahasan kembali kita arahkan pada kajian tentang metode penafsiran Quraish Shihab. Dari beberapa buku dan karya tulis lainnya yang pernah beredar di masyarakat luas dapat diketahui dengan jelas sesuai dengan aneka ciri yang secara implisit dapat kita cerna bahwa metode penafsiran yang digunakan oleh Quraish Shihab adalah metode maudhu’i atau yang kadang di sebut sebagai metode tematik yaitu dengan penetapan tema dalam penafsirannya kemudian dia mencari beberapa ayat yang memiliki keterkaitan dengan tema yang akan dibahas dan disajikan. Kadang terlihat jelas pula jika bentuk penafsiran Quraish Shihab cenderung ke arah bentuk pemikiran (al-ra’y). Kenapa saya menyebutnya demikian? Karena ketika menafsirkan Al-Quran dia cenderung melakukan tinjauan secara sosiologis, antropologis, historis, maupun sains seperti dalam tafsir al- Manar dan tafsir al- Jawahir.
Untuk lebih memberikan pemahaman kepada pembaca, maka penulis akan mencoba menyajikan contoh penafsiran Quraish Shihab. Karena pembahasan ini dibatasi pada terma metode penafsiran, maka contoh tafsir ke depan akan saya adopsi satu pembahasan dari salah satu karya Quraish Shihab yang booming dan kita kenal dengan Wawasan Al- Qur’an. Karya tersebut memang memiliki spesifikasi pada pembahasan beberapa tema pokok yang berkisar pada persoalan ummat dengan metode maudhu’iy. Adapun tema yang akan kita sajikan kali ini adalah penafsiran tentang Agama. Dalam peta analisis tentang agama ini, Quraish terlebih dahulu menyodorkan sebuah tanya kepada kita tentang relevansi agama pada kehidupan masa kini setelah melihat paradigma yang terjadi di kalangan ilmuwan. Para ilmuwan saat ini cenderung untuk menjauhkan diri dari agama setelah mendapati penemuan-penemuan mereka dianggap bertentangan dengan kitab suci. Kadang ketika kita berfikir secara rasional, maka kita akan mendapatkan jawaban yang mungkin bisa mewakili dinamika yang terjadi pada para ilmuwan tersebut. Bisa saja hal itu disebabkan karena mereka terjebak dalam wilayah nihilisme yang menganggap segala sesuatu adalah benar, sehingga memunculkan antitesis yang menyebutkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak di dunia. Hal ini merupakan salah satu cerminan yang terpancar ketika kita melihat sosok Quraish dalam menafsirkan Al Qur’an. Kemudian disusul lagi dengan pertanyaan, "Apakah manusia dapat melepaskan diri dari dari agama?" Lalu dilanjutkan dengan penyajian terma yang terwakili dengan firman Tuhan yang berbunyi: "Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah".
Lalu secara sistematis Quraish mengurai satu demi satu fakta yang dapat melunakkan pemahaman kita yang masih terlalu dangkal tentang agama. Agama adalah kebutuhan hidup dan oleh karena itu kita tidak bisa melepaskan diri dari agama. Tidak ada alternatif lain yang dapat menggantikan agama. Memang jika ditelisik, manusia terdiri dari akal, jiwa dan jasmani. Tidak semua persoalan dapat diselesaikan oleh akal. Akal ibarat kemampuan yang berenang. Akal berguna saat berenang di sungai atau di laut yang tenang. Akan tetapi jika terjadi gelombang membahana, maka yang pandai berenang maupun tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung. Ketika itulah agama berperan.
Kemudian Quraish mulai menyajikan pokok-pokok pikiran yang memiliki relasi dengan agama, antara lain tentang topik ide dasar perdamaian, kerukunan dan demokrasi serta aplikasi agama Islam dalam kehidupan modern.
3. Kontribusi dalam kancah ilmu pengetahuan
Berbicara tentang kontribusi yang diberikan oleh penafsiran Quraish Shihab, tentulah banyak sekali. Penafsiran ini dapat membuka wacana baru bagi masyarakat awam bahwa memahami al Qur’an adalah sebuah hal yang sangat penting dan harus dilakukan oleh seluruh umat Islam dalam hubungannya dengan pengaplikasian pada kehidupan sehari-hari. Walaupun tema yang disajikan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan tema yang berbeda tersebut.
Apapun bentuk kepurnaan dalam sebuah karya seorang mufassir, namun apa yang ditempuh oleh Quraish Shihab tersebut belumlah menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al Qur’an dapat terpaparkan dalam bentuk yang menyeluruh karena satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat.
III. KESIMPULAN
Pada dasarnya tafsir akan terus berkembang seiring dengan arus laju zaman. Begitupun dengan ranah yang mewarnai dunia penafsiran, akan selalu lahir interpretasi-interpretasi yang dikemas dalam multidimensi. Yang benar saat ini belum tentu akan benar dimasa yang akan datang. Kemudian jika kita jeli dalam mencermati perkembangan tafsir kontemporer, kita akan dapat menemukan isu sentral yang menjadi fokus kajian para mufassir kontemporer. Antara lain dalah ungkapan filologi al Qur’an, tentang al Qur’an yang dikontekstualisasikan dengan sejarah alam maupun al Quran yang dikaitkan dengan permasalahan sehari-hari umat Islam di seluruh belahan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al Qur’an, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, Cet: II, 2000.
Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. XXIX, 2006.
------------------, Wawasan Al Quran, Bandung: Mizan, Cet. XIII, 2003.
Hasil ketetapan konggres HMI XXV di Makassar, NDP,
Kumpulan Beberapa Penulis, Metode Tafsir Kontekstual, Yogjakarta: Tiara Wacana.
Abd-al Hay al Farmawi, Al Bidayah fi al Tafsiri al Maudhu’i, Kairo: Al Hadharah al ‘Arabiyah, 1977, Cet. II.
-----------------,, Al Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’I, Mathba’at al Hadharat al ‘Arabiyah, 1977.
Permasalahan kehidupan di abad modern berbeda jauh dari apa yang dialami oleh generasi terdahulu. Perbedaan tersebut terasa sekali di tengah masyarakat, seperti mobilitas yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain-lain. Realitas kehidupan yang demikian membuat masyarakat, baik individu maupun berkeluarga, bahkan berbangsa dan bernegara menjadi seakan tidak memiliki waktu luang untuk membaca kitab-kitab tafsir yang dianggap berat seperti; Al Kasysyaf karangan Zamakhsyari, Ath Thabari, Jalalain, Durrat al Tanzil wa Ghurrat al Ta’wil, Al Burhan fi Taujih Mutasyabah Al Qur’an dan masih banyak lagi. Untuk menanggulangi permasalahan semacam itulah kemudian para mufassir Al Qr’an dengan metode baru yang disebut dengan metode tematik (maudhu’i).
Dengan lahirnya metode ini, mereka yang menginginkan petunjuk Al-Qur’an dalam suatu masalah tidak perlu menghabiskan waktunya untuk membaca kitab-kitab tafsir yang beser seperti tersebut di atas tetapi cukup dengan membaca tafsir tematik tersebut selama permasalahan yang ingin mereka pecahkan dapat dijumpai dalam tafsir tematik ini.
II. PEMBAHASAN
Sketsa Biografi Yang Mendasari Pemikiran Quraish Shihab.
Quraish Shihab yang bernama lengkap Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang dengan nyantri di Pondok Pesantren Darul Hadis Al- Faqihiyah. Pada tahun 1958 dia berangkat ke Kairo, Mesir. Di sana dia diterima di kelas II Tsanawiyah Al Azhar. Pada tahun 1967 dia meraih gelar Lc yang setara dengan S-1 di Indonesia pada Fakiltas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama dan pada tahun 1969 dia meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Qur’an dengan tesis yang berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’iy li Al-Qur’an Al Karim. Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin, Ujung Pandang. Selain itu ada beberapa jabatan lain yang diamanahkan atasnya, baik di dalam kampus maupun d luar kampus. Seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta wilayah VII Indonesia Bagian Timur dalam lingkup ruang pendidikan dalam kampus maupun sebagai Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam wilayah bimbingan bidang pembinaan mental. Selam tinggal di Ujung Pandang dia juga sempat melakukan berbagai riset; antara lain riset dengan tema ‘ Penerapan Kerukunan Hidup Beragama Di Indonesia Timur"( 1975) dan masalah " Masalah Wakaf Sulawesi Selatan".
Pada tahun 1980 Quraish Shibah kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya terdahulu yakni Al azhar. pada 1982 dia berhasil meraih gelar doktoralnya dengan spesialisasi pada ilmu-ilmu al Qur’an melalu tesis yang berjudul Nadzm al Dhurar li Al- Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat al syaraf al ‘ula). Setelah kembali ke Indonesia pada 1984, Quraish ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Selain itu, di luar kampus dia dipercayakan untuk memangku beberapa jabatan. Antara lain; Ketua Majelis Ulama Indonesia( MUI) Pusat sejak 1984; Anggota Pentashih Al Qur’an Departemen agama sejak 1989; Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989 dan Kerua Lembaga Pengembangan. Selain itu dia juga banyak terlibat dalam breberapa organisasi professional, seperti; Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sedangkan beberapa karyanya dalam dunia tulis menulis antara lain tulisannya di surat kabar "Pelita" pada rubrik "Pelita Hati" yang di publikasikan setiap hari Rabu. Selain itu dia juga mengasuh rubric Tafsir Al Amanah dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama. Dia juga aktif dalam menyunting beberapa buku dan jurnal-jurnal ilmiah.
Hingga kini beberapa bukunya yang sudah diterbitkan antara lain Tafsir Al- Manar, Keitimewaan dan Kelemehannya (Ujung Pandang, IAIN Alaudin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta, Departemen Agama, 1987); Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988); Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan( Bandung, Mizan, 1994), Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung, Mizan, 1992), Wawasan Al Qur’an (Bandung, Mizan. 1996) hingga karyanya terbarunya yang paling monumental yakni Tafsir Al Mishbah.
1. Kerangka Berfikir
Sebelum masuk pada kerangka berfikir Quraish Shihab maka saya rasa perlu untuk memaparkan sedikit paradigma pemikiran yang mewarnai ranah tafsir di dunia Islam. Pengetahuan tasawwur (konsepsi) hanya merupakan suatu bentuk dari beberapa gagasan sederhana yang di dalamnya belum terdapat penilaian. Sebab itulah belum terdapat nilai benar atau salah. Dan siapapun tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi akan tetapi ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin, yakni pengetahuan-pengetahuan tashdiqi agar proses penilaian dapat dilakukan dalam setiap gagasan. Coba telusuri konsep hermeneutic Gadamer yang membuat klasifikasi pengetahuan menjadi dua bagian. Dua bagian itu adalah pengetahuan pra pemahaman dan pemahaman.
Dalam menganalisis tentang suatu masalah, seseorang pasti mempunyai gambaran tentang persoalan terkait. Adapun untuk dapat mengetahui persoalan secara menyeluruh serta memahami persoalan, seseorang harus melalui beberapa proses dalam pengolahan pemahaman. Dalam kancah perdebatan filosofis, ketika para pemikir mencoba merumuskan jawaban atas hal pokok mengenai konsepsi manusia, terbentuklah tiga hal pokok berdasarkan doktrinnya masing-masing. Adapun tiga hal pokok yang akrab disebut dengan kerangka berfikir atau madzhab berpikir tersebut adalah; pertama madzhab metafisika Islam dengan mengusung doktrin aqliyahnya, kedua, madzhab empirisme dengan doktrin empiriknya dan yang ketiga adalah madzhab skriptualisme dengan menyuguhkan doktrin tekstualnya.
Jika kita berkaca pada landasan itu maka Quraish Shihab termasuk dalam wilayah ketiga yakni skriptualisme. Secara tidak langsung kerangka berfikirnya adalah skriptualisme dalam arti dia mengusung doktrin tekstual al-Qur’an. Namun dari sisi kancah pergumulannya di dunia tafsir, dia termasuk mufassir yang memiliki paradigma berfikir tekstual-kontekstual dan bisa dikatakan kelompok tradisionalis yang moderat. Kenapa demikian? Karena dia berpijak pada manuscript al-Qur’an murni sebelum dikontektualisasikan dengan realitas social. Jadi dia meletakkan teks al-Qur’an sebagai referensi utama sebelum dia melihat makna teks untuk dikomparasikan dengan disiplin ilmu lain, antara lain; ilmu-ilmu social kemasyarakatan maupun ilmu politik dan ilmu hukum. Dari situlah kemudian tersaji berbagai penafsiran yang tersaji secara apik dalam tafsir maudhu’i-nya yang membahas tentang tema-tema social kemasyarakatan yang berguna untuk menjawab pelbagai persoalan umat di samping karya besarnya yang cukup monumental. Karya itu kita kenal dengan tafsir al- Mishbah yang terdiri dari beberapa jilid dan mengupas penafsiran ayat demi ayat secara terperinci.
Namun lepas dari semua uaraian di atas, saya memiliki pendapat sendiri bahwa sosok Quraish Shihab lebih condong pada kerangka berfikir yang bersifat eksploratif-deskriptif-analitis-komparatif. Yaitu model pemikiran yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang pernah dilakukan ulama tafsir terdahulu berdasarkan literature tafsir baik yang primer yakni ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan maupun ulama lainnya. Dari data yang diperoleh kemudian dideskripsikan secara lengkap serta dianalisis memakai pendekatan kategorisasi dan perbandingan.
2. Metode Penafsiran
Secara umum ada bermacam-macam metode dan corak penafsiran al Qur’an. Dr. Abd al- Hay al-Farmawi membagi metode-metode yang dikenal selama ini menjadi empat, yaitu: analisis, komparatif, global dan tematik (penetapan topik). Kemudian dilanjutkan dengan ungkapan Al Farmawi yang mengetengahkan beberapa langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir yang mengambil konsentrasi maudhu’i(tematik). Adapun beberapa langkah tersebut adalah:
§ Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan judul terkait sesuai dengan kronologi urutan turunnya. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang mansukh.
§ Menelusuri asbab al nuzul dari ayat-ayat yang telah dihimpun.
§ Meneliti dengan cermat semua kata dan kosakata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut. Kemudian mengkaji dari beberapa aspek yang berkaitan dengan tema ayat seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabat, pemakaian dhamir dan sebagainya.
§ Mengkaji pemahaman ayat yang berasal dari beberapa aliran pendapat para mufassir baik yang klasik maupun kontemporer.
§ Pengkajian ssemua yang sudah terangkai di atas dilakukan dengan seksama dan menggunakan penalaran objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabarserta didukung oleh fakta dan argument yang berasal dari Al Qur’an, hadis atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan.
Kemudian pembahasan kembali kita arahkan pada kajian tentang metode penafsiran Quraish Shihab. Dari beberapa buku dan karya tulis lainnya yang pernah beredar di masyarakat luas dapat diketahui dengan jelas sesuai dengan aneka ciri yang secara implisit dapat kita cerna bahwa metode penafsiran yang digunakan oleh Quraish Shihab adalah metode maudhu’i atau yang kadang di sebut sebagai metode tematik yaitu dengan penetapan tema dalam penafsirannya kemudian dia mencari beberapa ayat yang memiliki keterkaitan dengan tema yang akan dibahas dan disajikan. Kadang terlihat jelas pula jika bentuk penafsiran Quraish Shihab cenderung ke arah bentuk pemikiran (al-ra’y). Kenapa saya menyebutnya demikian? Karena ketika menafsirkan Al-Quran dia cenderung melakukan tinjauan secara sosiologis, antropologis, historis, maupun sains seperti dalam tafsir al- Manar dan tafsir al- Jawahir.
Untuk lebih memberikan pemahaman kepada pembaca, maka penulis akan mencoba menyajikan contoh penafsiran Quraish Shihab. Karena pembahasan ini dibatasi pada terma metode penafsiran, maka contoh tafsir ke depan akan saya adopsi satu pembahasan dari salah satu karya Quraish Shihab yang booming dan kita kenal dengan Wawasan Al- Qur’an. Karya tersebut memang memiliki spesifikasi pada pembahasan beberapa tema pokok yang berkisar pada persoalan ummat dengan metode maudhu’iy. Adapun tema yang akan kita sajikan kali ini adalah penafsiran tentang Agama. Dalam peta analisis tentang agama ini, Quraish terlebih dahulu menyodorkan sebuah tanya kepada kita tentang relevansi agama pada kehidupan masa kini setelah melihat paradigma yang terjadi di kalangan ilmuwan. Para ilmuwan saat ini cenderung untuk menjauhkan diri dari agama setelah mendapati penemuan-penemuan mereka dianggap bertentangan dengan kitab suci. Kadang ketika kita berfikir secara rasional, maka kita akan mendapatkan jawaban yang mungkin bisa mewakili dinamika yang terjadi pada para ilmuwan tersebut. Bisa saja hal itu disebabkan karena mereka terjebak dalam wilayah nihilisme yang menganggap segala sesuatu adalah benar, sehingga memunculkan antitesis yang menyebutkan bahwa tidak ada kebenaran mutlak di dunia. Hal ini merupakan salah satu cerminan yang terpancar ketika kita melihat sosok Quraish dalam menafsirkan Al Qur’an. Kemudian disusul lagi dengan pertanyaan, "Apakah manusia dapat melepaskan diri dari dari agama?" Lalu dilanjutkan dengan penyajian terma yang terwakili dengan firman Tuhan yang berbunyi: "Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah".
Lalu secara sistematis Quraish mengurai satu demi satu fakta yang dapat melunakkan pemahaman kita yang masih terlalu dangkal tentang agama. Agama adalah kebutuhan hidup dan oleh karena itu kita tidak bisa melepaskan diri dari agama. Tidak ada alternatif lain yang dapat menggantikan agama. Memang jika ditelisik, manusia terdiri dari akal, jiwa dan jasmani. Tidak semua persoalan dapat diselesaikan oleh akal. Akal ibarat kemampuan yang berenang. Akal berguna saat berenang di sungai atau di laut yang tenang. Akan tetapi jika terjadi gelombang membahana, maka yang pandai berenang maupun tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung. Ketika itulah agama berperan.
Kemudian Quraish mulai menyajikan pokok-pokok pikiran yang memiliki relasi dengan agama, antara lain tentang topik ide dasar perdamaian, kerukunan dan demokrasi serta aplikasi agama Islam dalam kehidupan modern.
3. Kontribusi dalam kancah ilmu pengetahuan
Berbicara tentang kontribusi yang diberikan oleh penafsiran Quraish Shihab, tentulah banyak sekali. Penafsiran ini dapat membuka wacana baru bagi masyarakat awam bahwa memahami al Qur’an adalah sebuah hal yang sangat penting dan harus dilakukan oleh seluruh umat Islam dalam hubungannya dengan pengaplikasian pada kehidupan sehari-hari. Walaupun tema yang disajikan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan tema yang berbeda tersebut.
Apapun bentuk kepurnaan dalam sebuah karya seorang mufassir, namun apa yang ditempuh oleh Quraish Shihab tersebut belumlah menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al Qur’an dapat terpaparkan dalam bentuk yang menyeluruh karena satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat.
III. KESIMPULAN
Pada dasarnya tafsir akan terus berkembang seiring dengan arus laju zaman. Begitupun dengan ranah yang mewarnai dunia penafsiran, akan selalu lahir interpretasi-interpretasi yang dikemas dalam multidimensi. Yang benar saat ini belum tentu akan benar dimasa yang akan datang. Kemudian jika kita jeli dalam mencermati perkembangan tafsir kontemporer, kita akan dapat menemukan isu sentral yang menjadi fokus kajian para mufassir kontemporer. Antara lain dalah ungkapan filologi al Qur’an, tentang al Qur’an yang dikontekstualisasikan dengan sejarah alam maupun al Quran yang dikaitkan dengan permasalahan sehari-hari umat Islam di seluruh belahan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al Qur’an, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, Cet: II, 2000.
Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. XXIX, 2006.
------------------, Wawasan Al Quran, Bandung: Mizan, Cet. XIII, 2003.
Hasil ketetapan konggres HMI XXV di Makassar, NDP,
Kumpulan Beberapa Penulis, Metode Tafsir Kontekstual, Yogjakarta: Tiara Wacana.
Abd-al Hay al Farmawi, Al Bidayah fi al Tafsiri al Maudhu’i, Kairo: Al Hadharah al ‘Arabiyah, 1977, Cet. II.
-----------------,, Al Bidayah fi al Tafsir al Maudhu’I, Mathba’at al Hadharat al ‘Arabiyah, 1977.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar