Senin, 28 Mei 2012

DINASTI DAN MITOS POLITIK DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Pemilihan presiden selalu diwarnai dan diawali oleh strategi pencitraan dan pendekatan-pendekatan sosio-kultural baik secara organisasi sosial kemasyarakatan, institusi atau lembaga non pemerintah, pendekatan budaya yang tersebar dan terdinamika serta terdistribusi hampir disemua daerah nusantara hingga akhirnya berlabuh pada partai politik sebagai nahkoda untuk menuju pulau impian PILPRES 2014.
Oleh sang bakal kandidat, demikian juga halnya dengan pilpres 2014 sudah pasti akan semakin seru karena baru saja SBY terpilih sebagai presiden RI untuk kedua kalinya (periode kedua) sudah bermunculan estimasi estimasi dan analisis politik pasca periodesasi kepemimpinan SBY nantinya.
Sejak awal analisis tersebut bukan didasarkan pada banyaknya kandidat calon presiden yang akan bertanding di 2014 nanti namun justru sebaliknya karena kurangnya tokoh nasional yang memiliki integritas dan kapasitas untuk maju sebagai calon presiden.

Misal PDIP, sebagai partai besar dan pernah sebagai pemenang pemilu 2004 tetap belum memiliki figure pengganti Megawati dan begitu juga dengan demokrat sebagai pemenang pemilu 2009 ternyata mengalami kesulitan dalam mencari figure setara SBY untuk mampu diusung menyaingi figure-figure dari partai lain seperti Abu Rizal Bakri dari Golkar dan Prabowo Subianto dari Gerindra. Sementara partai partai islam yang sering bermanuver dengan membentuk poros tengah masih kesulitan mencari figure yang tepat.
Kondisi saat ini menuju 2014 memang bisa disebut krisis kepemimpinan.

Dalam perspektif politik, krisis kepemimpinan berarti langkanya atau pun tidak adanya kepemimpinan politik yang bisa memenuhi harapan banyak orang. Dalam hal visi dan komitmen pada visi itu dalam mewujudkan cita- cita bangsa, kompetensi, manajerial, organisasi, memberi inspirasi dan motivasi, pengetahuan dan kemampuan intelektual pada umumnya, integritas, kepribadian dan gaya hidup, termasuk keterbukaan, kesederhanaan, kejujuran, kemampuan dan kesediaan untuk mendengarkan dan jika perlu menerima kritik dan pendapat orang lain, kesediaan dan kemampuan untuk belajar terus-menerus.

Krisis kepemimpinan juga berarti sulitnya rakyat menentukan pilihan atas seorang pemimpin. Ini bisa disebabkan tidak hanya langkanya tokoh pemimpin, tetapi juga karena faktor rakyat sendiri yang kesulitan dan tidak cermat memilih pemimpin. Mungkin masih segar diingatan kita ketika kita rame- rame memilih SBY karena kekuatan figure SBY yang dianggap mampu membawa perubahan besar terhadap kepemimpinan dan ketauladanan kepemimpinan di Indonesia namun semua itu terus memudar ketika harapan besar itu tidak mampu diwujudkan oleh SBY ketika menjadi sang presiden di negeri ini.

PERSPEKTIF SEJARAH

Sejarah kepemimpinan di Indonesia ternyata tidak bisa serta merta kita lepaskan dari sejarah itu sendiri yang terkadang bisa membelenggu kaderisasi bagi generasi akan datang (sehingga sulit munculnya rising star dari kaum muda), contoh kepemimpinan partai partai di Indonesia sampai saat ini tetap dipimpin oleh mereka- mereka yang memiliki kaitan erat dengan sejarah keturunan dan dinasti para leluhurnya bahkan ada sedikit unsur mitos di dalamnya.

Artinya sebuah partai akan bisa besar dan bertahan kuat sepanjang masa adalah partai yang dipimpin oleh orang- orang yang berasal dari keluarga besar dalam penilaian sejarah bangsa ini. Sehingga hal ini menjadi mitos politik yang secara tidak langsung sudah disepakati secara bersama- sama pula.
Dinasti politik yang pernah tumbuh di Indonesia ternyata juga memiliki kendala dalam hal menentukan calon presiden 2014 karena sejarah mencatat bahwa dari 6 presiden RI terdahulu adalah mereka yang sudah berumur di atas 50 tahun.

Sementara mereka yang memiliki dinasti politik tidak memiliki generasi penerus belum cukup umur untuk menjadi presiden, sebut saja generasi soekarno pasca Megawati menuju Puan Maharani sangat timpang bila dilihat dari segi umur dan begitu juga dari dinasti Gus Dur juga ada ketimpangan umur dari Gus Dur menuju Leni Wahid dan selanjutnya dari dinasti SBY sekalipun semakin jauh ketimpanganya menuju Edi Baskoro sementara dinasti Soeharto yang pernah memimpin selama 32 tahun dianggap belum saatnya untuk berkiprah dalam perpolitikan tanah air untuk saat ini.

Pertanyaan kita, jika dinasti di atas tidak mampu melahirkan calon Presiden 2014 dari perspektif umur menurut sejarah kepemimpinan di Indonesia, maka haruskah muncul dari luar dinasti politik yang ada?. Penulis berkesimpulan tidak karena sejarah memiliki peran yang lebih besar dalam melirik dan menetapkan calon yang akan diusung oleh parpol pengusung nantinya, ini artinya bahwa para calon presiden 2014 akan tetap berasal dari dinasti- dinasti politik yang pernah ada dan bisa kita sebut dinasti itu silih berganti untuk tumbuh dan patah bahkan untuk maju dan mundur, kalau kita mencermati tentang pencalonan SBY adalah disokong oleh Dinasti Sarwo Edhie dimana posisi SBY sebagai mantu Sarwo Edhie sangat besar bila dilihat dari karir militernya.

Tentu ketika dinasti SBY belum siap untuk melanjutkan kepemimpinan SBY di 2014 nantinya maka dinasti Sarwo Edhie sudah pasti akan lebih siap menerimanya, apakah yang akan muncul nantinya Ani Yudoyono (Ibu Negara saat ini) atau saudara kandung dari Ani Yudoyono seperti Pramono Edhie Wibowo (pangkostrad).
MITOS POLITIK
Lain sejarah, lain dinasti dan lain pula mitos. Dalam politik juga ada mitos, seperti adanya Satrio Paningit yang selalu dan akan muncul setiap masa pencalonan presiden di republic ini.

Tidak hanya tokoh paranormal dan masyarakat adat yang mempercayai hal ini namun para pegamat nasional juga sangat meyakini tentang satrio paningit misal Pakar Komunikasi Fisip Universitas Indonesia, Profesor Ibnu Hamad mengungkapkan ini dalam diskusi dan launching buku Yuddy Chrisnandi, Minggu, 24 Oktober 2010. Ibnu menjadi salah satu pembedah buku berjudul, Strategi Kebangsaan Satrio Piningit 2014.

Mengapa tergantung mitos? Ibnu mengatakan pada dua pemilihan presiden terakhir, pemenangnya sangat ditentukan mitos yang muncul saat itu. Pada Pilpres 2014, katanya, mitos yang muncul adalah mitos dizalimi.
Ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono dan HM Jusuf Kalla muncul sebagai pasangan capres/cawapres yang sempat dizalimi. Keduanya mengaku dizalimi saat menjabat menteri di era Presiden Megawati Sokarnoputri. Pasangan SBY-JK pun mengalahkan Megawati. Pada 2009, mitosnya lain lagi. Kali ini yang muncul adalah mitos keberhasilan dan citra.

Pemerintahan SBY dicitrakan sukses oleh media. Hasilnya, dia bertahan di kursinya dengan kemenangan yang fantastis, urainya.
Berdasarkan dua pengalaman itu, katanya, maka pemenang Pilpres 2014 juga bakal ditentukan oleh mitos yang muncul saat itu. Namun, apa mitosnya, itu belum bisa diketahui sekarang.

Selain Ibnu Hamad, diskusi itu juga menghadirkan beberapa pembicara lain. Mereka adalah Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari, Ketua Kadin Sandiaga S Uno, Pakar Komunikasi Politik UI Efendi Ghozali, Dirut LKBN Antara Akhmad Mukhlis Yusuf, dan dipandu moderator Indra J Piliang. Hajriyanto Thohari membahas asal-usul Satrio Piningit. Menurutnya, jika berdasarkan kesusasteraan Jawa, maka yang akan menjadi pemimpin pada 2014 adalah Satrio Pinandito. Namun, siapa sosok satrio itu, belum bisa ditebak sekarang. Ini artinya mitos politik sama saja memitoskan calon presiden akan selalu dari suku jawa.

Bagi sebagian kalangan masyarakat, mitos ini telah memasung kesadaran dan menumpulkan rasionalitas politik. Dalam perspektif antropologis, mitos presiden suku Jawa jelas bersifat etnosentris yang menganggap orang Jawa lebih unggul dibandingkan suku-suku lain di Indonesia. Keyakinan mitologis ini diperkuat oleh tiga fakta sosial:

(1) struktur demografi Indonesia mayoritas beretnik Jawa sehingga potensial menentukan keterpilihan seseorang menjadi presiden;

(2) dominasi suku Jawa di pentas politik nasional dan di dalam struktur kekuasaan negara; dan

(3) pengaruh kebudayaan Jawa yang sangat kuat dalam kehidupan politik kenegaraan. Kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa secara simbolis tercermin pada arsitektur bangunan, penggunaan nama untuk gedung bersejarah, pemakaian idiom bahasa, etiket berperilaku, dan berbagai ritus budaya yang lain.

Penulis beranggapan bahwa adanya mitos politik hanya sebagai dinamika dari politik itu sendiri yang muncul karena politik telah mampu menembus keberagaman budaya bangsa dan hal ini ditandai dengan banyaknya partai politik yang memiliki idiologi terbuka bagi semua kalangan tanpa membedakan adat, budaya, agama, golongan dan suku bangsa. Dengan demikian pertimbangan sejarah dan faktor dinasti politik akan terus lebih dominan mewarnai munculnya calon presiden 2014 sampai pada sengitnya persaingan menuju RI 1 nantinya!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar