Pada tahun 1955 pola interaksi didominasi
petarungan ideologis antara nasionalis, komunis, dan agama (Islam). Keperluan
sejarah (historical nessecity) memberikan spirit proses ideologisasi organisasi.
Eksternalisasi yang muncul adalah kepercayaan dari organisasi untuk “bertarung”
dengan komunitas lain yang mencapai titik kulminasinya pada tahun 1965.
Seiring dengan kreativitas intelektual
para kader HMI yang menjadi ujung tombak pembaruan pemikiran Islam dan
proses transformasi politik bangsa yang membutuhkan suatu perekat serta
ditopang akan kesadaran sebuah tanggung jawab kebangsaan, maka pada Kongres
X HMI di Palembang, tanggal 10 Oktober 1971 terjadilah proses justifikasi
Pancasila dalam mukadimah Anggaran Dasar.
Orientasi aktivitas HMI yang merupakan
penjabaran dari tujuan organisasi menganjurkan terjadinya proses adaptasi
pada zamannya. Keyakinan Pancasila sebagai ideologi negara pada kenyataanya
mengalami proses kebuntuan (stagnasi). Hal ini memberikan tuntutan strategi
baru bagi lahirnya metodologi apliksi Pancasila. Normatisasi Pancasila
dalam setiap kerangka dasar organisasi menjadi suatu keharusan agar mampu
menopang setiap institusi kemasyarakatan dalam mengimplementasikan tata
nilai Pancasila. Konsekuensi yang dilakukan bagi HMI adalah ditetapkannya
Islam sebagai identitas yang menyokong Pancasila sebagai asas pada Kongres
XVI di Padang.
Islam yang senantiasa memberikan energi
perubahan menharuskan para penganutnya untuk melakukan inovasi, internalisasi,
eksternalisasi maupun obvektivitas. Yang paling fundamental peningkatan
gradasi umat diukur dari kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling
dalam, bukan dari pengaruh eksternal. Perubahan bagi HMI merupakan suatu
keharusan, dengan makin meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan
teologis dalam berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, sehingga
pemilihan Islam sebagai asas merupakan pilihan sadar, dan bukan implikasi
dari sebuah dinamika kebangsaan.
Demi tercapainya idealisme ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan, maka HMI bertekad menjadikan Islam sebagai doktrin yang
mengarah kepada peradaban secara integralistik, transedental, humanitas,
dan inklusif. Dengan demikian, kader-kader HMI harus berani menegakkan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip demokrasi, tanpa
melihat perbedaan keyakinan dan mendorong terciptanya penghargaan Islam
sebagai sumber kebenaran yang paling hakiki dan menyerahkan semua rida-Nya.
Billahittaufiq Wal Hidayah,
Wassalamualaikum war. wab.
HMI Cabang MAKASSAR
*) Disadur dari berbagai sumber.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar