Rabu, 23 Mei 2012

DINAMIKA POLITIK PEMILUKADA SULAWESI SELATAN

Dalam beberapa waktu belakangan ini, wacana politik dalam menghadapi   Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel 2013 semakin hangat didiskusikan. Terutama di saat para kandidat yang siap maju untuk bertarung di pentas politik lokal tersebut secara intensif terus menggalang kekuatan massa pendukung, khususnya yang ada di daerah.

Oleh sebab itu, wajar apabila ada kandidat yang secara terbuka menebar keberhasilan yang dicapainya selama ini dengan mengacu pada sejumlah fakta empirik di lapangan. Sementara di sisi lain, ada juga calon yang tetap merasa optimistis dan siap membangun seluruh potensi Sulsel untuk rentang waktu lima tahun jika terpilih dalam Pilgub 2013. Tentu saja, fenomena seperti ini sudah biasa dalam kompetisi politik, sekelas pemilukada.  

Masalah pemilihan kepala daerah memang merupakan salah satu isu yang selalu menarik untuk dibicarakan. Pasalnya, siapapun pejabat publik yang terpilih dan memegang kendali kekuasaan akan sangat berpengaruh terhadap proses   pemerintahan serta arah pembangunan di daerah.

Meski begitu, tentu persoalan lain yang juga sangat penting untuk diperhatikan adalah bahwa setiap calon yang ikut bersaing sebaiknya mengikuti aturan main yang jelas sehingga mekanisme pemilihan dapat berlangsung dalam suasana yang damai, legitimate dan mendapat dukungan kuat dari semua komponen masyarakat.

Demikian pula halnya dengan partai politik yang menjadi kendaraan politik sang calon idealnya harus berfungsi selain sebagai sarana pendidikan, perekrutan dan komunikasi politik juga parpol sangat diharapkan selalu berada dalam koridor politik yang absah dalam mengagregasi (menghimpun) serta mengartikulasi (menyalurkan) aspirasi dan kepentingan masyarakat.                                  

Itulah sebabnya, mengapa misalnya seringkali parpol dianggap memiliki posisi yang cukup sentral dalam menjaring politikus yang dinilai andal, kompeten, akuntabel serta kredibel untuk menduduki jabatan kepala daerah. Dan untuk mendukung proses rekrutmen politik ini, maka partai politik dituntut juga senantiasa melakukan reformasi politik dengan cara menjaring elite politik melalui seleksi yang ketat berdasarkan pada asas prestasi dan bukan askripsi, asas akseptabilitas dan kapabilitas yang menjadi kriteria utama mekanisme penyaringan kader partai.

Hanya saja, seiring terjadinya berbagai perubahan dalam konstelasi politik nasional sebagai konsekuensi logis dari kian meningkatnya tingkat pendidikan politik masyarakat, maka tak jarang terpolarisasi pula kepentingan di kalangan elite politik dalam memperebutkan sumber daya politik yang ada. Dampaknya kemudian adalah mencuatnya rivalitas politik yang tidak sehat dan acap kali tidak dapat dihindari yang bermuara pada terjadinya gesekan, benturan dan bahkan perang politik di antara elite politik.

Bahkan lebih parah lagi,apabila massa di tingkat arus bawah pun ikut terseret dalam pusaran konflik kepentingan elite politik. Lantas, jika gejala seperti ini terus menerus berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi disintegrasi politik baik dalam dimensi yang bersifat vertikal (antara pejabat pemerintah dengan masyarakat) maupun di level yang bersifat horisontal (di antara kelompok/massa pendukung dalam masyarakat).

Padahal pada tataran konsep, keberadaan partai politik dalam sistem politik juga memainkan peran yang cukup signifikan dalam mendorong terciptanya iklim dan tertib politik yang kondusif yang mana ini dapat dilakukan melalui dialog, bargaining serta komunikasi politik yang intensif di kalangan elite partai dengan tujuan untuk meredam konflik politik.                 

Apalagi, nuansa demokrasi yang ingin dibangun dalam sebuah pentas politik seperti pilkada adalah tidak hanya terbatas pada aspek yang bersifat normatif  belaka, namun yang jauh lebih penting dari itu terletak pada bagaimana nilai demokrasi tersebut dapat diaktualisasikan dalam mengelola proses pemerintahan serta pembangunan di daerah.

Karena itu, untuk mencapai tujuan ini, tentu hal yang penting untuk dilakukan adalah perlunya memberdayakan semua komponen masyarakat yang memberi kontribusi bagi suksesnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah umpamanya mulai dari calon kepala daerah, partai politik pengusung, lembaga pengawas dan penyelenggara pilkada hingga massa pendukung masing-masing calon.

Selain itu, melalui proses pemberdayaan politik masyarakat di tingkat lokal ini diharapkan agar tiap elemen masyarakat mendapat ruang yang lebih luas dan setara dalam mengeskpresikan hak politik mereka tanpa menganggu kelompok lain serta tidak melakukan tindakan yang bersifat kontra produktif terhadap nilai demokrasi.

Soalnya, jika kita belajar dari berbagai pengalaman sebelumnya tentang dinamika politik masyarakat kita khususnya dalam menghadapi suatu pesta demokrasi seperti pilkada yang mana hal ini menunjukkan pada kita semua tentang betapa rumit dan sulitnya menumbuhkan suatu sikap dan disiplin sosial yang tinggi ketika kita berada ditengah euforia demokrasi yang implikasinya seringkali melahirkan tingkah laku politik yang cenderung bebas dengan melampui ambang batas yang wajar. Lihatlah misalnya begitu banyaknya kasus kerusuhan politik yang terjadi baik pada masa sebelum maupun pascapilkada.                   

Akibatnya, keragaman sosial budaya tidak lagi menjadi faktor pendorong ke arah terbentuknya perilaku politik yang demokratis dan terintegratif tapi malah dapat membuka peluang bagi lahirnya suatu kebijakan dan praktik politik yang berbau diskriminatif bagi konstituen.

Di samping itu,persoalan lain yang kerapkali menjadi pemicu menajamnya konflik dikalangan elite politik adalah lantaran terfragmentasinya kepentingan di antara elite partai yang ikut bersaing dan ini telanjur menyebar di tengah masyarakat sehingga para konstituenpun terpaksa terpecah ke dalam kelompok yang saling berhadapan satu sama lain dan dikendalikan oleh fanatisme golongan yang sempit serta sifat kedaerahan yang berlebihan.

Maka dari itu, tampaknya sudah merupakan suatu keharusan bagi semua pihak untuk mengendalikan diri dan menyadari bahwa pilkada tidak sekadar menjadi sebuah ajang kompetisi politik dalam merebut simpati publik guna mengangkat dan meneruskan roda pemerintahan, namun proses politik ini juga sekaligus berperan sebagai wadah untuk menegakkan kedaulatan rakyat, menjamin terjadinya rotasi kepemimpinan secara damai dan konstitusional di daerah atau dapat pula justru sebaliknya mengukuhkan pejabat publik yang lama untuk masa jabatan berikutnya, melakukan pendidikan politik bagi rakyat dalam mengontrol kinerja elite politik serta membangun suatu etika dan budaya politik yang mendukung stabilitas politik dan pembangunan di daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar