KATA PENGANTAR
Puji Serta Syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan Berkah Rahmat serta Inayah-Nyalah sehingga kita masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan Makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Dalam pembuatan Makalah ini, penulis hanya mengambil referensi baik dari buku-buku yang ada maupun dari Internet. Oleh sebab itu, Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam Makalah ini sehingga Saran dan kritikan yang sifatnya Konstruktif senantiasa penulis harapkan dalam perbaikan Makalah selanjutnya.
Akhirnya tiada kata yang patut penulis ucapkan selain ucapan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh senior serta teman-teman dalam hal motivasi yang telah diberikan hingga pada akhirnya Makalah ini terselesaikan tepat pada waktunya.
YAKUSA…!!!
Makassar, Oktober 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas, ia dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan norma” serta “pran”. Dengan demikian, istilah yang lebih lengkap mestinya adalah “perubahan sosial-kebudayaan” karena memang antara manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan itu sendiri. Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai lingkungan dan budaya bangsa yang diikuti dengan kecenderungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang sifatnya universal, nampaknya studi tentang kaum muda dalam dinamika perubahan sosial menjadi sangat penting dan mendapatkan perhatian yang sangat luas terhadap kaum muda-mudi sebagai suatu tonggak penerus bangsa. Dengan sisi internal dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya yang ada dilingkungan muda-mudi itu sendiri, sedangkan sisi eksternal yang dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya yang ada diluar lingkungannya itu sendiri.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa nilai-nilai dan sistem budaya yang berkembang begitu pesat cenderung mengalami dampak serta efek yang begitu fundamental hingga menjadi tantangan bagi kaum Muda sebagai generasi penerus bangsa karena perubahan sudah berhasil membonsai daya fikir dan kreatifitas kaum muda karena kehilangan daya dinamikanya yang menjadi mandeg, sehingga tidak mampu mewujudkan peran dan fungsinya sebagai Rahmatan lil-alamin. Dimana nilai-nilai sistem budaya dilingkungan pemuda umumnya telah didominasi oleh nilai-nilai dan sistem budaya modern, dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologinya yang semakin canggih serta sifatnya yang sekuler telah mengalami perkembangan yang cepat dan tanpa batas serta menyentuh tujuan-tujuan yang hakiki. Sebagai konsekuensinya, nilai-nilai dan sistem budaya modern tersebut telah menimbulkan ancaman terhadap kelestarian kehidupan kelestarian umat manusia dan alam sekitarnya serta kehidupan semesta ini. Inilah tantangan pemuda bahkan seluruh umat manusia.
Era globalisasi dan informasi merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak dan pemuda menghadapi tantangan yang tak terelakkan. Nilai-nilai dan sistem budaya modern yang bersifat sekuler dengan bebas memasuki lingkungan kehidupan kaum muda yang akan menyingkirkan nilai-nilai dan kehidupan budaya umat yang statis dan mandeg. Konsekuensinya adalah pemuda serta umat manusia yang kehilangan daya solutif dan kreatifitasnya. Namun disisi lain, era modern dan informasi memberikan kesempatan yang luas untuk mewujudkan misi pemuda atau Islam sebagai rahmatan lil-alamin. Dengan nilai-nilai dasarnya yang bersifat universal dan dengan sistem budaya yang sifatnya memiliki dinamika yang begitu kompleks, maka seharusnya kaum muda harus begitu jeli dalam mengambil serta memilih sesuatunya agar jauh dari bias perkembangan sosial yang begitu modern dan mutakhir, disinilah letak urgensi dan hakikat ilmu pengetahuan dalam hal perubahan dinamika sosial dan budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran pemuda dalam dinamika perubahan sosial di era mutakhir?
2. Bagaimana partisipasi pemuda dalam dinamika perubahan sosial di era mutakhir?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui secara Universal tentang peran dan partisipasi pemuda dalam dinamika perubahan sosial di era mutakhir.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengetahui peran dan partisipasi pemuda dalam dinamika perubahan sosial di era mutakhir.
b. Untuk mengetahui aspek-aspek yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu perubahan sosial.
c. Mengetahui efek serta dampak yang ditimbulkan perubahan sosial di era mutakhir.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Teoritis
William F. Ogburn berpendapat, ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik yang material ataupun yang bukan material. Unsur-unsur material itu berpengaruh besar atas bukan-material. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial ialah perubahan dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, dengan timbulnya organisasi buruh dalama masyarakat kapitalis, terjadi perubahan-perubahan hubungan antara buruh dengan majikan, selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan politik.
Mac Iver mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan hubungan-hubungan sosial atau perubahan keseimbangan hubungan sosial. Gillin dan Gillin memandang perubahan sosial sebagai penyimpangan cara hidup yang telah diterima, disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya digusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Selanjutnya Samuel Koeing mengartikan perubahan sosial sebagai modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, disebabkan oleh perkara-perkara intren atau ekstern.
Modernitas memang mengurangi risiko pada bidang-bidang dan pada cara hidup tertentu, tetapi juga membawa parameter risiko baru yang tidak dikenal pada era-era sebelumnya. Untuk itu maka diperlukan ketangguhan, baik mental maupun fisik. Tidak semua orang berani, dapat atau mampu mengambil jalan yang penuh risiko. Sifat-sifat itu ada dalam diri pemuda, karena tugas itu sesuai buat pemuda. Anoraga (1992) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang agar dengan penuh pengertian, kesadaran, dan senang hati bersedia kehendak pemimpinnya. Kepemimpinan bisa berada di muka, bisa di tengah, dan bisa di belakang, seperti ungkapan “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani”. Tidak semua orang juga bisa menjadi pemimpin. Pemimpin juga tidak dibatasi oleh usia, bahkan dengan tambah usia makin banyak pengalaman, makin arif kepemimpinan.
Menurut Terry (1960) fungsi pemimpin dalam organisasi dikelompokkan menjadi empat yaitu : (1) perencanaan; (2) pengorganisasia; (3) pengerakkan; (4) pengendalian. Pada lapisan pemimpin-pemimpin muda itulah kita harapkan memperoleh sumber dinamika. Sumber dinamika yang dapat mengembangkan kreativitas, melahirkan gagasan baru, mendobrak hambatan-hambatan, mencari pemecahan masalah, kalau perlu dengan menembus sekat-sekat berpikir konvensional. Oleh karena itu, menjadi tugas kita sekarang, terutama tugas dari para pemimpin pemuda untuk membangun semangat, kemampuan, dan pengamalan kepeloporan dan kepemimpinan. Membangun semangat adalah membangun sikap, karena itu terkait erat dengan pembangunan budaya. Pendidikan merupakan wahana yang paling penting dan mendasar, di samping upaya lain untuk merangsang inisiatif dan membangkitkan motivasi. Keteladanan adalah pendekatan lain untuk membangkitkan semangat. Dorongan masyarakat, atau tantangan dari masyarakat, juga merangsang bangkitnya semangat.
Ada yang berpendapat, terjadinya perubahan sosial ialah karena timbulnya perubahan pada unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, misalnya perubahan pada unsur geografi, biologi, ekonomi atau kebudayaan.
Ada pula teori yang menyatakan bahwa perubahan sosial ada yang bersifat berkala dan tidak berkala. Selanjutnya ada teori yang menyimpulkan, bahwa perubahan sosial terjadi karena kondisi-kondisi sosial primer, misalnya kondisi ekonomi, teknologi, geografi atau biologi. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Pendapat selanjutnya ialah, semua kondisi tersebut sama pentingnya, baik salah: situ ataupun kesemuanya memungkinkan terjadinya perubahan social.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Definisi Perubahan
Dalam menghadapi perubahan sosial budaya tentu masalah utama yang perlu diselesaikan ialah pembatasan pengertian atau definisi perubahan sosial (dan perubahan kebudayaan) itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan antropologi telah banyak membicarakannya.
William F. Ogburn berpendapat, ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik yang material ataupun yang bukan material. Unsur-unsur material itu berpengaruh besar atas bukan-material. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial ialah perubahan dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, dengan timbulnya organisasi buruh dalam masyarakat kapitalis, terjadi perubahan-perubahan hubungan antara buruh dengan majikan, selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan politik2.
Mac Iver mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan hubungan-hubungan sosial atau perubahan keseimbangan hubungan sosial. Gillin dan Gillin memandang perubahan sosial sebagai penyimpangan cara hidup yang telah diterima, disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya digusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Selanjutnya Samuel Koeing mengartikan perubahan sosial sebagai modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, disebabkan oleh perkara-perkara intren atau ekstern.
Akhirnya dikutip definisi Selo Soemardjan yang akan dijadikan pegangan dalam pembicaraan selanjutnya. “Perubahan –perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang Mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola per-kelakukan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Definisi ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya mempengaruhi segi-segi lain struktur masyarakat. Lembaga sosial ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup untuk mencapai tata tertib melalui norma. Perubahan masyarakat yang berlangsung dalam abad pertama Islam tiada tara bandingannya dalam sejarah dunia Kesuksesan Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam merombak masyarakat jahiliyah Arab, membentuk dan membinanya menjadi suatu masyarakat Islam, masyarakat persaudaraan, masyarakat demokratis, masyarakat dinamis dan progresif, masyarakat terpelajar, masyarakat berdisiplin, masyarakat industri, masyarakat sederhana, masyarakat sejahtera adalah tuntunan yang sangat sempurna dan wahyu ilahi. Allah berfirman, yang artinya : “Kitab ini tidak ada keraguan atasnya bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. 2 :2).
Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling sukses diantara para pemimpin agama, mendapat pengakuan dunia. Ajaran Islam yang dibawanya berhasil dan kuasa membasmi kejahatan yang sudah berurat berakar, penyembahan berhala, minuman keras, pembunuhan dan saling bermusuhan sampai tidak berbekas sama sekali, dan Muhammad berhasil membina di atasnya suatu bangsa yang berhasil menyalakan ilmu pengetahuan yang terkemuka, bahkan menjadi sumber kebangunan Eropa.
Proses perubahan masyarakat yang digerakkan oleh Muhammad adalah proses evolusi. Proses itu berlangsung dengan mekanisme interaksi dan komunikasi sosial, dengan imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Strategi perubahan kebudayaan yang dicanangkannya adalah strategi yang sesuai dengan fitrah, naluri, bakat, azas atau tabiat-tabiat universal kemanusiaan. Stratagi dan dikumandangkannya strategi mencapai salam, mewujudkan perdamaian, mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera, persaudaraan, dan ciri-ciri masyarakat Islam yang dibicarakan di atas tadi.
Walaupun demikian Muhammad harus mempersiapkan bala tentara untuk mempertahankan diri dan untuk mengembangkan dakwahnya, adalah karena tantangan yang diterima dari kaum Quraish dan penantang-penantang jahiliyah lainnya untuk menghapuskan eksistensi Muhammad dan pengikutnya. Justru karena tantangan itu, kaum muslimin kemudian bertumbuh dengan cepat dan mengembangkan masyarakat dan kebudayaan dengan sempurna.
Dalam situasi yang demikian, kita perlu merenungkan mengapa Muhammad SAW, junjungan kita, panutan kita, mampu membuat perubahan suatu masyarakat bodoh, terkebelakang, kejam, menjadi suatu masyarakat sejahtera, terpelajar, dinamis dan pogresif dalam waktu yang begitu singkat. Strategi kebudayaan yang dibandingkan Muhammad itu perlu kita kaji kembali Metode perjuangannya perlu kita analisa. Semua itu harus mampu membenkan anda suatu pisau analisa untuk kemudian menytrsttn suatu strategi kebudayaan untuk masa kini, untuk membangun kembali umat Islam dari keadaannya yang sekarang ini. Suatu hipotesa patut diketengahkan, Muhammad pada dasarnya membawa suatu sistem teologi yang sangat berlainan dengan sistem teologi jahiliyah Arab.
B. Teori Perubahan Masyarakat
Karena perubahan masyarakat merupakan fakta, tidak heranlah kita kenapa filosof-filosof tertarik untuk merumuskan prinsip-prinsipnya dan kenapa ilmuwan-ilmuwan berusaha menemukan hukum-hukumnya. Banyak diantara mereka berpendapat bahwa kecenderungan kepada perubahan sosial adalah gejala yang wajar, timbul dari pergaulan hidup manusia.
Ada yang berpendapat, terjadinya perubahan sosial ialah karena timbulnya perubahan pada unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, misalnya perubahan pada unsur geografi, biologi, ekonomi atau kebudayaan. Ada pula teori yang menyatakan bahwa perubahan sosial ada yang bersifat berkala dan tidak berkala. Selanjutnya ada teori yang menyimpulkan, bahwa perubahan sosial terjadi karena kondisi-kondisi sosial primer, misalnya kondisi ekonomi, teknologi, geografi atau biologi. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Pendapat selanjutnya ialah, semua kondisi tersebut sama pentingnya, baik salah: situ ataupun kesemuanya memungkinkan terjadinya perubahan sosial. Karena masyarakat itu bersifat dinamik, adalah masyarakat Muslim sebagai salah satu masyarakat manusia tentu mengalami perubahan-perubahan pula. Kajian sejarah umat Islam membuktikan bahwa telah terjadi perubahan demi perubahan dalam perjalanan hidup umat. Sejarah adalah kisah tentang perkembangan masyarakat. Kalau masyarakat itu berubah, seperti batu atau gunung, barulah ia tidak bersejarah.
Tetapi betapapun perubahan itu jadi gejala umum, seolah-olah dinafikan oleh ulama tradisional. Efek dari paham taklid terjadi pembekuan pemikiran. Mereka hanya bersedia menerima fatwa gurunya. Si guru itu menerima dari gurunya pula. Guru dari guru menerima dari gurunya pula, demikianlah selanjutnya. Sikap ini tidak terbatas pada perkara-perkara di bidang agama, tapi juga di bidang sosiobudaya. Urusan sosiobudaya diatur oleh adat. Adat mewariskan dan mengawal peraturan, nilai, kepercayaan, sikap dan pandangan nenek-moyang dari generasi ke generasi.
Pendukungan adat hanya taat kepada adat. Perkara-perkara yang diluar adat, apalagi yang berlawanan, mestilah ditolak. Seperti pula orang taklid yang hanya bersedia menerima fatwa gurunya. Fatwa yang bukan dari pada guru, apalagi yang berlawanan, mestilah ditolak. Maka tertutuplah kemungkinan untuk menerima fatwa baru dalam bidang agama (baru dalam pengertian bukan fatwa lama yang turun menurun, atau fatwa yang dirumuskan oleh tafsiran dan pandangan baru), dan tertutup pula kemungkinan menerima perkara baru dalam sosiobudaya. Dengan demikian tersekatlah perubahan. Orang mempertahankan apa yang selama ini ada.
Apa yang ada itu berasal dari masa lalu. Tanpa perubahan pembaharuan tidak mungkin timbul. Masyarakat menjadi statik (lawan dari pada dinamik), mereka dekat oleh tradisi, menjadi tradisional. Suatu teori perubahan yang baik juga disinggung disini ialah prinsip perubahan imanen (dari dalam) yang dibicarakan oleh Sokorin dalam bukunya Social and Cultural Dynamics. Suatu sistem sosiobudaya semenjak ujudnya tidak hentihentinya bekerja dan bertindak. Dalam menghadapi lingkungan tertentu sistem itu menimbulkan perubahan, disamping dirinya sendiri juga ikut mengalami perubahan. Karena telah mengalami perubahan, maka dalam menghadapi lingkungan yang sama dengan yang sebelumnya, is memberikan reaksi yang berbeda dari pada reaksinya yang pertama. Jadi lingkungan tetap sama, tapi sistem itu dan reaksinya berubah.
Demikianlah selanjutnya, reaksi yang ketiga terhadap lingkungan yang sama mengalami pula perubahan. Perubahan tidak hanya pada sistem dan reaksinya tapi juga pada lingkungan itu sendiri.
Bagaimana dengan perubahan sosial budaya? Apakah perubahan-perubahan yang sudah berlangsung tidak tentu arah, ataukah bergerak kepada suatu tujuan?
Apakah perubahan-perubahan itu digerakkan atau ditentukan oleh manusia sendiri, ataukah ditentukan oleh kekuasaan di luar manusia?
Pertanyaan-pertanyaan itu membawa kita kepada perdebatan filsafat serba tentu dan tak serba tentu yang tidak habis-habisnya.
C. Faktor Penyebab Perubahan
a. Bertambahnya atau Berkurangnya Penduduk
Seperti telah diuraikan bertambahnya penduduk yang cepat menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat yang diikuti pula dengan perubahan pola kebudayaan masyarakat (pola sikap, pola perilaku dan pola sarana fisik), nyata terjadi misalnya, perubahan dalam sistem hak milik atas tanah; orang mengenal hak milik individual atas tanah, sewa tanah, gadai tanah, bagi hasil dan seterusnya, yang sebelumnya tidak dikenal orang.
Berkurangnya penduduk dapat disebabkan oleh hal-hal yang alamiah (wabah, bencana alam dan sebagainya); tetapi dapat pula karena berpindahnya sebagian penduduk dari desa ke kota atau dari suatu daerah (pulau) ke daerah (pulau) lain. Gejala pertama yang kini banyak kita temui di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dikenal dengan gejala urbanisasi (gejala ini meningkat pada negara-negara dimana industri berkembang). Dalam hal yang kedua, perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke Pulau lainnya (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya) dan dikenal dengan transmigrasi. Perpindahan penduduk tersebut mungkin mengakibatkan kekosongan, misalnya nampak pada gejala stratifikasi sosial atau lembagian kerja dan lain-lain yang akan mempengaruhi lembaga-lembaga lainnya.
Perpindahan penduduk atau imigrasi itu (antar negara dikenal sebagai emigrasi dan bagi negara yang menerimanya dikenal sebagai imigrasi) telah berkembang beratus-ratus ribu tahun lamanya di dunia ini. Hal ini sejajar pula dengan meningkatnya jumlah penduduk di dunia itu. Pada masyarakat-masyarakat yang mata pencahariannya yang utama, berburu, perpindahan selalu dilakukan, karena kehidupan mereka khususnya dalam hal persediaan hewan-hewan perburuan, sangat “tergantung” dari alam (dikenal sebagai masyarakat “nomaden”). Apabila hewan-hewan tersebut habis, mereka akan berpindah ke tempat-tempat lain.
b. Penemuan-penemuan Baru atau invention
Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak lama, disebut “inovasi” (innovation). Proses tersebut bermula pada suatu penemuan baru, dikenal sebagai suatu “Discovery”. Jalannya penyebaran dan penerimaan unsur baru itu dalam masyarakat yang sering kali menyebabkan berkembangnya hal-hal baru pula yang mendukung penemuan (discovery) tersebut dikenal sebagai proses “invention”. Hal baru yang ditemukan itu bisa berupa unsur-unsur kebudayaan (nilai, norma, cita-cita, yang mengarahkan pola bersikap, atau pola perilaku atau pola sarana fisik), atau bisa berupa unsur struktur masyarakat (hubungan, status atau organisasi baru).
c. Pertentangan (Conflic)
Pertentangan dalam masyarakat dapat pula menjadi sebab dari pada terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Pertimbangan itu bisa terjadi antara orang perorangan dengan kelompoknya atau pertentangan antar kelompok.
Pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya misalnya terjadi pada masyarakat tradisionil di Indonesia, yang mempunyai ciri kehidupan kolektif. Segala kegiatan didasarkan pada kepentingan individu dengan kelompoknya yang menyebabkan mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya yang menyebabkan perubahan. Misalnya, pada masyarakat yang patrilineal seperti masyarakat Batak terdapat suatu kekuasaan/adat, bahwa apabila suami meninggal maka keturunannya berada di bawah kekuasaan kerabat suami.
Dengan terjadinya proses individualisasi, terutama pada orang-orang Batak yang pergi merantau, kemudian terjadi penyimpangan, yaitu bahwa anak-anak tetap tinggal dengan ibunya, walaupun hubungan antara si ibu dengan keluarga almarhum suaminya telah putus, karena meninggalnya suami. Keadaan tersebut membawa perubahan besar pada peranan keluarga batih dan juga pada kedudukan wanita, yang selama ini dianggap tidak mempunyai hak apa-apa apabila dibandingkan dengan laki-laki.
Pertentangan antara kelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan generasi muda, khususnya pada masyarakat berkembang yang mengalami perubahan masyarakat tradisionil ke tahap masyarakat modern. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya, lebih mudah untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing (misalnya kebudayaan Barat) yang dalam beberapa hal mempunyai taraf lebih lanjut, sehingga menimbulkan perubahan tertentu (contoh : pergaulan bebas antara pria dan wanita karena kedudukan kedua jenis kelamin setaraf).
d. Terjadinya Pemberontakan (Revolusi) dalam Masyarakat itu Sendiri
Suatu revolusi dalam masyarakat seperti, revolusi pada bulan Oktober 1917 di Rusia, atau tanggal 17 Agustus 1945 di Indonesia, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan besar, baik struktural maupun dalam pola kebudayaan masyarakat. Seperti sudah diuraikan pada BAB X, lazimnya suatu revolusi merupakan perubahan yang cepat dan mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan masyarakat.
Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri seperti berikut ini.
‘
e. Sebab Perubahan Berasal dari Lingkungan Alam Fisik yang Ada disekitar Manusia
Terjadinya gempa bumi, taufan, banjir besar dan lain-lain dapat menyebabkan, bahwa masyarakat yang mendiami daerah-daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya. Di tempat yang baru mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru tersbeut, hal mana dapat merubah kehidupan mereka (contoh : jika biasanya di tempat yang lama suatu pencaharian adalah berburu, kemudian di tempat yang baru adalah harus bertani, maka timbullah suatu lembaga baru yaitu pertanian).
Kadang-kadang sebab perubahan yang bersumber pada lingkungan alam fisik, dapat disebabkan oleh tindakan-tindakan dari warga masyarakat itu sendiri (contoh : penebangan hutan, penggalian tanah secara melampaui batas). Hal ini jelas akan mengakibatkan perubahan, dimana warga itu karenanya harus meninggalkan tempat tinggalnya.
f. Peperangan
Peperangan dengan negara lain dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan, karena biasanya negara yang memang akan memaksakan negara yang takluk untuk menerima kebudayaannya yang dianggap sebagai kebudayaan yang lebih tinggi tarafnya. Negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia Ketiga seperti Jerman dan Jepang, mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam masyarakatnya. Jerman, misalnya mengalami perubahan yang menyangkut bidang kenegaraan, dimana negara tersebut akhirnya dipecah menjadi dua negara yaitu Jerman Barat (Republik Federasi Jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokrat Jerman), yang masing-masing berorientasi pada Blok Barat dan Blok Timur.
D. Arah Perubahan (Direction of Change)
Apabila seseorang mempelajari perubahan masyarakat, perlu pula diketahui ke arah mana perubahan dalam masyarakat itu bergerak. Yang jelas, perubahan bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu, mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang sama sekali baru, namun mungkin pula bergerak ke arah suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau. Usaha-usaha masyarakat Indonesia bergerak ke arah modernisasi dalam pemerintahan, angkatan bersenjata, pendidikan dan industrialisasi yang disertai dengan usaha untuk menemukan kembali kepribadian Indonesia, merupakan contoh dari kedua arah yang berlangsung pada waktu yang sama dalam masyarakat kita.
Guna memperoleh gambaran jelas mengenai arah perubahan termaksud, akan diberikan suatu contoh yang diambil dari Social Changes in Yogyakarta. Jauh sebelum orang Belanda datang ke Indonesia, orang Jawa telah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan tradisionalnya. Dalam cerita-cerita wayang, sering diceritakan bahwa guru yang bijaksana, mengumpulkan kaum muda sebagai cantriknya ke tempat kediamannya serta mengajarkan kepada mereka bagaimana caranya untuk dapat hidup sebagai warga masyarakat yang baik. Cantrik-cantrik tersebut hidup bersama-sama dengan guru mereka dalam pondok-pondok, dimana mereka bekerja untuk kelangsungan hidupnya dan kehidupan gurunya, sambil menerima ajaran-ajaran sang guru di sela-sela pekerjaan sehari-hari. Sistem tersebut berlangsung berabad-abad lamanya, baik waktu pengaruh Hindu, Budha maupun Islam masuk, hingga kini. Dengan masuknya pengaruh Islam para guru dinamakan kiai, sedangkan pondok-pondok tersebut dinamakan pesantren yang artinya adalah tempat para santri (yaitu orang-orang yang mendalami ajaran-ajaran agama Islam). Banyak yang berguru pada para kiai tersebut untuk mempelajari dan memperdalam ajaran agama Islam. Oleh karena kiai hanya mempunyai satu atau beberapa keahlian saja, maka banyak murid-murid yang belajar pada beberapa orang kiai, agar mendapatkan pengetahuan yang lebih luas. Tidak ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak belajar pada pesantren tersebut, kecuali bahwa dia sungguh-sungguh ingin belajar dan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan oleh hukum agama. Kehidupan di pesantren diatur sebagai satu keluarga yang dipimpin oleh kiai. Di luar pesantren, para muda mudi dapat pula memperoleh pendidikan keagamaan, misalnya di masjid-masjid.
Akhir-akhir ini, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh lembaga-lembaga agama Islam dimana para siswa juga mendapatkan pelajaran mengenai hal-hal yang berhubungan dengan soal keduniawian (sekuler). Sekolah-sekolah tersebut dinamakan madrasah. Sistem pendidikan yang demikian di daerah Istimewa Yogyakarta tidak mengalami perubahan-perubahan yang mencolok, kecuali para santri kemudian diperkenankan mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah-sekolah biasa di pagi hari. Sesudah revolusi fisik, kecenderungan yang mengarah ke sekulerisasi sebagai pandangan hidup masyarakat Yogyakarta, semakin nyata.
Persoalan-persoalan individual maupun sosial, lebih ditafsirkan dalam pengertian-pengertian yang sekuler dan rasional. Kecenderungan tersebut tampak pula pada madrasah-madrasah dimana para siswa meminta agar diajarkan lebih banyak hal-hal yang menyangkut soal-soal keduniawian, seperti sejarah, ilmu bumi, ilmu pasti dan sebagainya, supaya menyamai pelajaran-pelajaran yang diberikan pada sekolah-sekolah biasa. Pemerintah dalam hal ini tampak memberikan bantuan dan semakin banyak pula siswa-siswa madrasah yang mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah biasa.
Dari gejala tersebut di atas, tidaklah dapat disimpulkan bahwa madrasah dan pesantren-pesantren tersebut sebagai lembaga pendidikan akan terdesak oleh lembaga-lembaga pendidikan yang sekuler. Akan tetapi keinginan-keinginan yang kuat untuk mendapat pendidikan yang sekuler rupa-rupanya lebih kuat pada generasi muda. Pendidikan di Indonesia dianggap sebagai alat utama untuk mengadakan perbaikan-perbaikan, dahulu pusat perhatian adalah kebahagiaan di dunia akhirat, tetapi dewasa ini pusat perhatian lebih ditujukan pada kehidupan di dunia ini.
Pendidikan keagamaan seyogyanya disesuaikan dengan aspirasi generasi muda sejak proklamasi kemerdekaan. Sebagaimana telah dikatakan, suatu perubahan bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Salah satu jenis perubahan dapat dilakukan dengan mengadakan modernisasi.
BAB IV
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Melihat kondisi kekinian sesuai dengan realitas objektif yang terjadi ditengah-tengah perkembangan zaman yang ditandai dengan semakin mutakhirnya teknologi dan ilmu pengetahuan yang pada hakikatnya bertujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya, teknologi serta ilmu pengetahuan dalam perkembangan zaman yang semakin sekuler menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan manusia khususnya bagi kaum muda. Begitu juga kemajuan ilmu dan teknologi yang semula untuk memudahkan urusan manusia, ketika urusan itu semakin mudah, maka muncul “kesepian” dan “keterasingan baru”, yakni lunturnya rasa solidaritas, kebersamaan dan silaturrahim. Contohnya, penemuan televisi, komputer, dan handphone telah mengakibatkan kita terlena dengan dunia layar. Layar kemudian menjadi teman setia, bahkan kita lebih memperhatikan layar dibandingkan keluarga dan sanak saudara kita. Ternyata, teknologi layar mampu membius manusia untuk tunduk pada layar dan mengabaikan yang lain. Oleh karena itu, jika manusia dalam terutama kaum Muda tidak sadar akan hal ini, maka dia akan kesepian dan sesuatu yang amat penting dalam dirinya, yakni kebersamaan, hubungan kekeluargaan dan sosial yang hangat akan semakin memudar bahkan hilang.
Krisis kemanusiaan akibat perkembangan sosial menimbulkan krisis kemanusiaan tidak hanya terjadi akibat teknologi maju, tetapi juga akibat kecenderungan, ideologi, serta gagasan yang tidak utuh. Sebagai contoh, ide dan gerakan emansipasi yang dikumandangkan oleh para penggerak feminisme, agar wanita diberi kesempatan yang sama di area publik dengan laki-laki. Kesempatan ini kemudian nyata dimanfaatkan oleh perusahaan padat karya dengan merekrut perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki dengan alasan perempuan lebih rapi, lebih rendah gaji, lebih mudah diatur dan tidak merepotkan perusahaan. Akibatnya, kaum laki-laki susah mendapatkan pekerjaan dan implikasi lebih lanjut rumah tangga menjadi berantakan karena perempuan merasa lebih hebat daripada laki-laki. Di sisi lain, laki-laki yang nganggur akan berbuat apa saja untuk mendapatkan uang, seperti merampok dan mencuri sehingga angka kriminalitas meningkat. Tanpa kita sadari, teknologi dan perkembangan zaman atau sosial budaya telah memenjarakan manusia khususnya kaum muda. Artinya, penjara manusia tidak berkurang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman yang semakin mutakhir yang ditandai dengan kemajuan teknologi yang sangat mutakhir. Dalam konteks inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi dimana implikasi terbesarnya adalah sifat dan perilaku umat manusia khususnya kaum muda yang menjadi tonggak generasi penerus bangsa.
B. Saran
1. Pemuda selaku aset serta sebagai generasi penerus bangsa harus mampu bersikap lebih matang dalam menanggapi segala persoalan-persoalan yang terjadi di dalam perubahan sosial kemasyarakatan agar nilai-nilai luhur budaya bangsa tidak terkontaminasi dengan budaya asing yang dapat meninggalkan substansi asli budaya Indonesia itu sendiri.
2. Selaku pemuda yang baik dan berintelektualitas, seharusnya mampu berperan aktif di dalam perubahan social di masyarakat demi kemandirian bangsa, yang tidak hanya melihat sesuatu serta terdogma hanya dengan satu objek yang dapat mengakibatkan pola pikir menjadi mandeg.
3. Peran pemuda sebagai generasi bangsa agar lebih aktif untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya bangsa yang nantinya menjadi tolok ukur dalam menyikapi segala problematika yang terjadi dalam kemasyarakatan agar nilai-nilai luhur bangsa tidak dicampur-baurkan dengan budaya asing yang begitu sekuler.
Makalah Intermediate Training In DEPOK
DAFTAR PUSTAKA
Ali A. Mukti, “ Manusia, Islam dan Kebudayaan” IAIN Sunan Kalijaga
Yoyakarta, 1980
Faisal Ismail, “Paradigma Kebudayaan Islam”, Penerbit Titian Ilahi Press,
Yogyarakata, 1996
Ufford, Philip Quarles van. Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program. Jakarta : PT. Gramedia, 1988
Tribon. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT. Suka Buku, 2010
Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Jakarta : PT. Refika Aditama, Edi. 2009
Gazalba, Sidi, “Modernisasi dalam Persoalan, Bagaimana Sikap Islam”, Penerbit
Bulan Bintang, Jakarta, 1973
Judistira K. Gorna, “Teori-teori Perubahan Sosial”, Penerbit Program Pascasarjana
UNPAD, 1993
Pitirim A. Sarokin, “Social and Cultural Dynamics”, Bastom : Sargent, 1957
Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 944-1946. Ithaca: Cornell Universit Press, B.R.O’G. 1972
Kahin, George McTurnan. (terj). RefleksiPergumulan Lahirnya Republik. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: UNS Press, 1995
Puji Serta Syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan Berkah Rahmat serta Inayah-Nyalah sehingga kita masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan Makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Dalam pembuatan Makalah ini, penulis hanya mengambil referensi baik dari buku-buku yang ada maupun dari Internet. Oleh sebab itu, Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam Makalah ini sehingga Saran dan kritikan yang sifatnya Konstruktif senantiasa penulis harapkan dalam perbaikan Makalah selanjutnya.
Akhirnya tiada kata yang patut penulis ucapkan selain ucapan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh senior serta teman-teman dalam hal motivasi yang telah diberikan hingga pada akhirnya Makalah ini terselesaikan tepat pada waktunya.
YAKUSA…!!!
Makassar, Oktober 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas, ia dapat menyangkut “struktur sosial” atau “pola nilai dan norma” serta “pran”. Dengan demikian, istilah yang lebih lengkap mestinya adalah “perubahan sosial-kebudayaan” karena memang antara manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan itu sendiri. Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai lingkungan dan budaya bangsa yang diikuti dengan kecenderungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang sifatnya universal, nampaknya studi tentang kaum muda dalam dinamika perubahan sosial menjadi sangat penting dan mendapatkan perhatian yang sangat luas terhadap kaum muda-mudi sebagai suatu tonggak penerus bangsa. Dengan sisi internal dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya yang ada dilingkungan muda-mudi itu sendiri, sedangkan sisi eksternal yang dimaksudkan adalah nilai-nilai dan sistem budaya yang ada diluar lingkungannya itu sendiri.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa nilai-nilai dan sistem budaya yang berkembang begitu pesat cenderung mengalami dampak serta efek yang begitu fundamental hingga menjadi tantangan bagi kaum Muda sebagai generasi penerus bangsa karena perubahan sudah berhasil membonsai daya fikir dan kreatifitas kaum muda karena kehilangan daya dinamikanya yang menjadi mandeg, sehingga tidak mampu mewujudkan peran dan fungsinya sebagai Rahmatan lil-alamin. Dimana nilai-nilai sistem budaya dilingkungan pemuda umumnya telah didominasi oleh nilai-nilai dan sistem budaya modern, dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologinya yang semakin canggih serta sifatnya yang sekuler telah mengalami perkembangan yang cepat dan tanpa batas serta menyentuh tujuan-tujuan yang hakiki. Sebagai konsekuensinya, nilai-nilai dan sistem budaya modern tersebut telah menimbulkan ancaman terhadap kelestarian kehidupan kelestarian umat manusia dan alam sekitarnya serta kehidupan semesta ini. Inilah tantangan pemuda bahkan seluruh umat manusia.
Era globalisasi dan informasi merupakan kenyataan yang tak dapat ditolak dan pemuda menghadapi tantangan yang tak terelakkan. Nilai-nilai dan sistem budaya modern yang bersifat sekuler dengan bebas memasuki lingkungan kehidupan kaum muda yang akan menyingkirkan nilai-nilai dan kehidupan budaya umat yang statis dan mandeg. Konsekuensinya adalah pemuda serta umat manusia yang kehilangan daya solutif dan kreatifitasnya. Namun disisi lain, era modern dan informasi memberikan kesempatan yang luas untuk mewujudkan misi pemuda atau Islam sebagai rahmatan lil-alamin. Dengan nilai-nilai dasarnya yang bersifat universal dan dengan sistem budaya yang sifatnya memiliki dinamika yang begitu kompleks, maka seharusnya kaum muda harus begitu jeli dalam mengambil serta memilih sesuatunya agar jauh dari bias perkembangan sosial yang begitu modern dan mutakhir, disinilah letak urgensi dan hakikat ilmu pengetahuan dalam hal perubahan dinamika sosial dan budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran pemuda dalam dinamika perubahan sosial di era mutakhir?
2. Bagaimana partisipasi pemuda dalam dinamika perubahan sosial di era mutakhir?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui secara Universal tentang peran dan partisipasi pemuda dalam dinamika perubahan sosial di era mutakhir.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengetahui peran dan partisipasi pemuda dalam dinamika perubahan sosial di era mutakhir.
b. Untuk mengetahui aspek-aspek yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu perubahan sosial.
c. Mengetahui efek serta dampak yang ditimbulkan perubahan sosial di era mutakhir.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Teoritis
William F. Ogburn berpendapat, ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik yang material ataupun yang bukan material. Unsur-unsur material itu berpengaruh besar atas bukan-material. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial ialah perubahan dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, dengan timbulnya organisasi buruh dalama masyarakat kapitalis, terjadi perubahan-perubahan hubungan antara buruh dengan majikan, selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan politik.
Mac Iver mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan hubungan-hubungan sosial atau perubahan keseimbangan hubungan sosial. Gillin dan Gillin memandang perubahan sosial sebagai penyimpangan cara hidup yang telah diterima, disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya digusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Selanjutnya Samuel Koeing mengartikan perubahan sosial sebagai modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, disebabkan oleh perkara-perkara intren atau ekstern.
Modernitas memang mengurangi risiko pada bidang-bidang dan pada cara hidup tertentu, tetapi juga membawa parameter risiko baru yang tidak dikenal pada era-era sebelumnya. Untuk itu maka diperlukan ketangguhan, baik mental maupun fisik. Tidak semua orang berani, dapat atau mampu mengambil jalan yang penuh risiko. Sifat-sifat itu ada dalam diri pemuda, karena tugas itu sesuai buat pemuda. Anoraga (1992) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang agar dengan penuh pengertian, kesadaran, dan senang hati bersedia kehendak pemimpinnya. Kepemimpinan bisa berada di muka, bisa di tengah, dan bisa di belakang, seperti ungkapan “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani”. Tidak semua orang juga bisa menjadi pemimpin. Pemimpin juga tidak dibatasi oleh usia, bahkan dengan tambah usia makin banyak pengalaman, makin arif kepemimpinan.
Menurut Terry (1960) fungsi pemimpin dalam organisasi dikelompokkan menjadi empat yaitu : (1) perencanaan; (2) pengorganisasia; (3) pengerakkan; (4) pengendalian. Pada lapisan pemimpin-pemimpin muda itulah kita harapkan memperoleh sumber dinamika. Sumber dinamika yang dapat mengembangkan kreativitas, melahirkan gagasan baru, mendobrak hambatan-hambatan, mencari pemecahan masalah, kalau perlu dengan menembus sekat-sekat berpikir konvensional. Oleh karena itu, menjadi tugas kita sekarang, terutama tugas dari para pemimpin pemuda untuk membangun semangat, kemampuan, dan pengamalan kepeloporan dan kepemimpinan. Membangun semangat adalah membangun sikap, karena itu terkait erat dengan pembangunan budaya. Pendidikan merupakan wahana yang paling penting dan mendasar, di samping upaya lain untuk merangsang inisiatif dan membangkitkan motivasi. Keteladanan adalah pendekatan lain untuk membangkitkan semangat. Dorongan masyarakat, atau tantangan dari masyarakat, juga merangsang bangkitnya semangat.
Ada yang berpendapat, terjadinya perubahan sosial ialah karena timbulnya perubahan pada unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, misalnya perubahan pada unsur geografi, biologi, ekonomi atau kebudayaan.
Ada pula teori yang menyatakan bahwa perubahan sosial ada yang bersifat berkala dan tidak berkala. Selanjutnya ada teori yang menyimpulkan, bahwa perubahan sosial terjadi karena kondisi-kondisi sosial primer, misalnya kondisi ekonomi, teknologi, geografi atau biologi. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Pendapat selanjutnya ialah, semua kondisi tersebut sama pentingnya, baik salah: situ ataupun kesemuanya memungkinkan terjadinya perubahan social.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Definisi Perubahan
Dalam menghadapi perubahan sosial budaya tentu masalah utama yang perlu diselesaikan ialah pembatasan pengertian atau definisi perubahan sosial (dan perubahan kebudayaan) itu sendiri. Ahli-ahli sosiologi dan antropologi telah banyak membicarakannya.
William F. Ogburn berpendapat, ruang lingkup perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan, baik yang material ataupun yang bukan material. Unsur-unsur material itu berpengaruh besar atas bukan-material. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial ialah perubahan dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, dengan timbulnya organisasi buruh dalam masyarakat kapitalis, terjadi perubahan-perubahan hubungan antara buruh dengan majikan, selanjutnya perubahan-perubahan organisasi ekonomi dan politik2.
Mac Iver mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan hubungan-hubungan sosial atau perubahan keseimbangan hubungan sosial. Gillin dan Gillin memandang perubahan sosial sebagai penyimpangan cara hidup yang telah diterima, disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya digusi atau penemuan baru dalam masyarakat. Selanjutnya Samuel Koeing mengartikan perubahan sosial sebagai modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia, disebabkan oleh perkara-perkara intren atau ekstern.
Akhirnya dikutip definisi Selo Soemardjan yang akan dijadikan pegangan dalam pembicaraan selanjutnya. “Perubahan –perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang Mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola per-kelakukan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Definisi ini menekankan perubahan lembaga sosial, yang selanjutnya mempengaruhi segi-segi lain struktur masyarakat. Lembaga sosial ialah unsur yang mengatur pergaulan hidup untuk mencapai tata tertib melalui norma. Perubahan masyarakat yang berlangsung dalam abad pertama Islam tiada tara bandingannya dalam sejarah dunia Kesuksesan Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam merombak masyarakat jahiliyah Arab, membentuk dan membinanya menjadi suatu masyarakat Islam, masyarakat persaudaraan, masyarakat demokratis, masyarakat dinamis dan progresif, masyarakat terpelajar, masyarakat berdisiplin, masyarakat industri, masyarakat sederhana, masyarakat sejahtera adalah tuntunan yang sangat sempurna dan wahyu ilahi. Allah berfirman, yang artinya : “Kitab ini tidak ada keraguan atasnya bagi orang-orang yang bertakwa” (Q.S. 2 :2).
Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling sukses diantara para pemimpin agama, mendapat pengakuan dunia. Ajaran Islam yang dibawanya berhasil dan kuasa membasmi kejahatan yang sudah berurat berakar, penyembahan berhala, minuman keras, pembunuhan dan saling bermusuhan sampai tidak berbekas sama sekali, dan Muhammad berhasil membina di atasnya suatu bangsa yang berhasil menyalakan ilmu pengetahuan yang terkemuka, bahkan menjadi sumber kebangunan Eropa.
Proses perubahan masyarakat yang digerakkan oleh Muhammad adalah proses evolusi. Proses itu berlangsung dengan mekanisme interaksi dan komunikasi sosial, dengan imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Strategi perubahan kebudayaan yang dicanangkannya adalah strategi yang sesuai dengan fitrah, naluri, bakat, azas atau tabiat-tabiat universal kemanusiaan. Stratagi dan dikumandangkannya strategi mencapai salam, mewujudkan perdamaian, mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera, persaudaraan, dan ciri-ciri masyarakat Islam yang dibicarakan di atas tadi.
Walaupun demikian Muhammad harus mempersiapkan bala tentara untuk mempertahankan diri dan untuk mengembangkan dakwahnya, adalah karena tantangan yang diterima dari kaum Quraish dan penantang-penantang jahiliyah lainnya untuk menghapuskan eksistensi Muhammad dan pengikutnya. Justru karena tantangan itu, kaum muslimin kemudian bertumbuh dengan cepat dan mengembangkan masyarakat dan kebudayaan dengan sempurna.
Dalam situasi yang demikian, kita perlu merenungkan mengapa Muhammad SAW, junjungan kita, panutan kita, mampu membuat perubahan suatu masyarakat bodoh, terkebelakang, kejam, menjadi suatu masyarakat sejahtera, terpelajar, dinamis dan pogresif dalam waktu yang begitu singkat. Strategi kebudayaan yang dibandingkan Muhammad itu perlu kita kaji kembali Metode perjuangannya perlu kita analisa. Semua itu harus mampu membenkan anda suatu pisau analisa untuk kemudian menytrsttn suatu strategi kebudayaan untuk masa kini, untuk membangun kembali umat Islam dari keadaannya yang sekarang ini. Suatu hipotesa patut diketengahkan, Muhammad pada dasarnya membawa suatu sistem teologi yang sangat berlainan dengan sistem teologi jahiliyah Arab.
B. Teori Perubahan Masyarakat
Karena perubahan masyarakat merupakan fakta, tidak heranlah kita kenapa filosof-filosof tertarik untuk merumuskan prinsip-prinsipnya dan kenapa ilmuwan-ilmuwan berusaha menemukan hukum-hukumnya. Banyak diantara mereka berpendapat bahwa kecenderungan kepada perubahan sosial adalah gejala yang wajar, timbul dari pergaulan hidup manusia.
Ada yang berpendapat, terjadinya perubahan sosial ialah karena timbulnya perubahan pada unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, misalnya perubahan pada unsur geografi, biologi, ekonomi atau kebudayaan. Ada pula teori yang menyatakan bahwa perubahan sosial ada yang bersifat berkala dan tidak berkala. Selanjutnya ada teori yang menyimpulkan, bahwa perubahan sosial terjadi karena kondisi-kondisi sosial primer, misalnya kondisi ekonomi, teknologi, geografi atau biologi. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Pendapat selanjutnya ialah, semua kondisi tersebut sama pentingnya, baik salah: situ ataupun kesemuanya memungkinkan terjadinya perubahan sosial. Karena masyarakat itu bersifat dinamik, adalah masyarakat Muslim sebagai salah satu masyarakat manusia tentu mengalami perubahan-perubahan pula. Kajian sejarah umat Islam membuktikan bahwa telah terjadi perubahan demi perubahan dalam perjalanan hidup umat. Sejarah adalah kisah tentang perkembangan masyarakat. Kalau masyarakat itu berubah, seperti batu atau gunung, barulah ia tidak bersejarah.
Tetapi betapapun perubahan itu jadi gejala umum, seolah-olah dinafikan oleh ulama tradisional. Efek dari paham taklid terjadi pembekuan pemikiran. Mereka hanya bersedia menerima fatwa gurunya. Si guru itu menerima dari gurunya pula. Guru dari guru menerima dari gurunya pula, demikianlah selanjutnya. Sikap ini tidak terbatas pada perkara-perkara di bidang agama, tapi juga di bidang sosiobudaya. Urusan sosiobudaya diatur oleh adat. Adat mewariskan dan mengawal peraturan, nilai, kepercayaan, sikap dan pandangan nenek-moyang dari generasi ke generasi.
Pendukungan adat hanya taat kepada adat. Perkara-perkara yang diluar adat, apalagi yang berlawanan, mestilah ditolak. Seperti pula orang taklid yang hanya bersedia menerima fatwa gurunya. Fatwa yang bukan dari pada guru, apalagi yang berlawanan, mestilah ditolak. Maka tertutuplah kemungkinan untuk menerima fatwa baru dalam bidang agama (baru dalam pengertian bukan fatwa lama yang turun menurun, atau fatwa yang dirumuskan oleh tafsiran dan pandangan baru), dan tertutup pula kemungkinan menerima perkara baru dalam sosiobudaya. Dengan demikian tersekatlah perubahan. Orang mempertahankan apa yang selama ini ada.
Apa yang ada itu berasal dari masa lalu. Tanpa perubahan pembaharuan tidak mungkin timbul. Masyarakat menjadi statik (lawan dari pada dinamik), mereka dekat oleh tradisi, menjadi tradisional. Suatu teori perubahan yang baik juga disinggung disini ialah prinsip perubahan imanen (dari dalam) yang dibicarakan oleh Sokorin dalam bukunya Social and Cultural Dynamics. Suatu sistem sosiobudaya semenjak ujudnya tidak hentihentinya bekerja dan bertindak. Dalam menghadapi lingkungan tertentu sistem itu menimbulkan perubahan, disamping dirinya sendiri juga ikut mengalami perubahan. Karena telah mengalami perubahan, maka dalam menghadapi lingkungan yang sama dengan yang sebelumnya, is memberikan reaksi yang berbeda dari pada reaksinya yang pertama. Jadi lingkungan tetap sama, tapi sistem itu dan reaksinya berubah.
Demikianlah selanjutnya, reaksi yang ketiga terhadap lingkungan yang sama mengalami pula perubahan. Perubahan tidak hanya pada sistem dan reaksinya tapi juga pada lingkungan itu sendiri.
Bagaimana dengan perubahan sosial budaya? Apakah perubahan-perubahan yang sudah berlangsung tidak tentu arah, ataukah bergerak kepada suatu tujuan?
Apakah perubahan-perubahan itu digerakkan atau ditentukan oleh manusia sendiri, ataukah ditentukan oleh kekuasaan di luar manusia?
Pertanyaan-pertanyaan itu membawa kita kepada perdebatan filsafat serba tentu dan tak serba tentu yang tidak habis-habisnya.
C. Faktor Penyebab Perubahan
a. Bertambahnya atau Berkurangnya Penduduk
Seperti telah diuraikan bertambahnya penduduk yang cepat menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat yang diikuti pula dengan perubahan pola kebudayaan masyarakat (pola sikap, pola perilaku dan pola sarana fisik), nyata terjadi misalnya, perubahan dalam sistem hak milik atas tanah; orang mengenal hak milik individual atas tanah, sewa tanah, gadai tanah, bagi hasil dan seterusnya, yang sebelumnya tidak dikenal orang.
Berkurangnya penduduk dapat disebabkan oleh hal-hal yang alamiah (wabah, bencana alam dan sebagainya); tetapi dapat pula karena berpindahnya sebagian penduduk dari desa ke kota atau dari suatu daerah (pulau) ke daerah (pulau) lain. Gejala pertama yang kini banyak kita temui di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dikenal dengan gejala urbanisasi (gejala ini meningkat pada negara-negara dimana industri berkembang). Dalam hal yang kedua, perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke Pulau lainnya (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya) dan dikenal dengan transmigrasi. Perpindahan penduduk tersebut mungkin mengakibatkan kekosongan, misalnya nampak pada gejala stratifikasi sosial atau lembagian kerja dan lain-lain yang akan mempengaruhi lembaga-lembaga lainnya.
Perpindahan penduduk atau imigrasi itu (antar negara dikenal sebagai emigrasi dan bagi negara yang menerimanya dikenal sebagai imigrasi) telah berkembang beratus-ratus ribu tahun lamanya di dunia ini. Hal ini sejajar pula dengan meningkatnya jumlah penduduk di dunia itu. Pada masyarakat-masyarakat yang mata pencahariannya yang utama, berburu, perpindahan selalu dilakukan, karena kehidupan mereka khususnya dalam hal persediaan hewan-hewan perburuan, sangat “tergantung” dari alam (dikenal sebagai masyarakat “nomaden”). Apabila hewan-hewan tersebut habis, mereka akan berpindah ke tempat-tempat lain.
b. Penemuan-penemuan Baru atau invention
Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak lama, disebut “inovasi” (innovation). Proses tersebut bermula pada suatu penemuan baru, dikenal sebagai suatu “Discovery”. Jalannya penyebaran dan penerimaan unsur baru itu dalam masyarakat yang sering kali menyebabkan berkembangnya hal-hal baru pula yang mendukung penemuan (discovery) tersebut dikenal sebagai proses “invention”. Hal baru yang ditemukan itu bisa berupa unsur-unsur kebudayaan (nilai, norma, cita-cita, yang mengarahkan pola bersikap, atau pola perilaku atau pola sarana fisik), atau bisa berupa unsur struktur masyarakat (hubungan, status atau organisasi baru).
c. Pertentangan (Conflic)
Pertentangan dalam masyarakat dapat pula menjadi sebab dari pada terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Pertimbangan itu bisa terjadi antara orang perorangan dengan kelompoknya atau pertentangan antar kelompok.
Pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya misalnya terjadi pada masyarakat tradisionil di Indonesia, yang mempunyai ciri kehidupan kolektif. Segala kegiatan didasarkan pada kepentingan individu dengan kelompoknya yang menyebabkan mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan individu dengan kelompoknya yang menyebabkan perubahan. Misalnya, pada masyarakat yang patrilineal seperti masyarakat Batak terdapat suatu kekuasaan/adat, bahwa apabila suami meninggal maka keturunannya berada di bawah kekuasaan kerabat suami.
Dengan terjadinya proses individualisasi, terutama pada orang-orang Batak yang pergi merantau, kemudian terjadi penyimpangan, yaitu bahwa anak-anak tetap tinggal dengan ibunya, walaupun hubungan antara si ibu dengan keluarga almarhum suaminya telah putus, karena meninggalnya suami. Keadaan tersebut membawa perubahan besar pada peranan keluarga batih dan juga pada kedudukan wanita, yang selama ini dianggap tidak mempunyai hak apa-apa apabila dibandingkan dengan laki-laki.
Pertentangan antara kelompok mungkin terjadi antara generasi tua dengan generasi muda, khususnya pada masyarakat berkembang yang mengalami perubahan masyarakat tradisionil ke tahap masyarakat modern. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya, lebih mudah untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing (misalnya kebudayaan Barat) yang dalam beberapa hal mempunyai taraf lebih lanjut, sehingga menimbulkan perubahan tertentu (contoh : pergaulan bebas antara pria dan wanita karena kedudukan kedua jenis kelamin setaraf).
d. Terjadinya Pemberontakan (Revolusi) dalam Masyarakat itu Sendiri
Suatu revolusi dalam masyarakat seperti, revolusi pada bulan Oktober 1917 di Rusia, atau tanggal 17 Agustus 1945 di Indonesia, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan besar, baik struktural maupun dalam pola kebudayaan masyarakat. Seperti sudah diuraikan pada BAB X, lazimnya suatu revolusi merupakan perubahan yang cepat dan mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan masyarakat.
Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri seperti berikut ini.
‘
e. Sebab Perubahan Berasal dari Lingkungan Alam Fisik yang Ada disekitar Manusia
Terjadinya gempa bumi, taufan, banjir besar dan lain-lain dapat menyebabkan, bahwa masyarakat yang mendiami daerah-daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya. Di tempat yang baru mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru tersbeut, hal mana dapat merubah kehidupan mereka (contoh : jika biasanya di tempat yang lama suatu pencaharian adalah berburu, kemudian di tempat yang baru adalah harus bertani, maka timbullah suatu lembaga baru yaitu pertanian).
Kadang-kadang sebab perubahan yang bersumber pada lingkungan alam fisik, dapat disebabkan oleh tindakan-tindakan dari warga masyarakat itu sendiri (contoh : penebangan hutan, penggalian tanah secara melampaui batas). Hal ini jelas akan mengakibatkan perubahan, dimana warga itu karenanya harus meninggalkan tempat tinggalnya.
f. Peperangan
Peperangan dengan negara lain dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan, karena biasanya negara yang memang akan memaksakan negara yang takluk untuk menerima kebudayaannya yang dianggap sebagai kebudayaan yang lebih tinggi tarafnya. Negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia Ketiga seperti Jerman dan Jepang, mengalami perubahan-perubahan yang besar dalam masyarakatnya. Jerman, misalnya mengalami perubahan yang menyangkut bidang kenegaraan, dimana negara tersebut akhirnya dipecah menjadi dua negara yaitu Jerman Barat (Republik Federasi Jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokrat Jerman), yang masing-masing berorientasi pada Blok Barat dan Blok Timur.
D. Arah Perubahan (Direction of Change)
Apabila seseorang mempelajari perubahan masyarakat, perlu pula diketahui ke arah mana perubahan dalam masyarakat itu bergerak. Yang jelas, perubahan bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu, mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang sama sekali baru, namun mungkin pula bergerak ke arah suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau. Usaha-usaha masyarakat Indonesia bergerak ke arah modernisasi dalam pemerintahan, angkatan bersenjata, pendidikan dan industrialisasi yang disertai dengan usaha untuk menemukan kembali kepribadian Indonesia, merupakan contoh dari kedua arah yang berlangsung pada waktu yang sama dalam masyarakat kita.
Guna memperoleh gambaran jelas mengenai arah perubahan termaksud, akan diberikan suatu contoh yang diambil dari Social Changes in Yogyakarta. Jauh sebelum orang Belanda datang ke Indonesia, orang Jawa telah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan tradisionalnya. Dalam cerita-cerita wayang, sering diceritakan bahwa guru yang bijaksana, mengumpulkan kaum muda sebagai cantriknya ke tempat kediamannya serta mengajarkan kepada mereka bagaimana caranya untuk dapat hidup sebagai warga masyarakat yang baik. Cantrik-cantrik tersebut hidup bersama-sama dengan guru mereka dalam pondok-pondok, dimana mereka bekerja untuk kelangsungan hidupnya dan kehidupan gurunya, sambil menerima ajaran-ajaran sang guru di sela-sela pekerjaan sehari-hari. Sistem tersebut berlangsung berabad-abad lamanya, baik waktu pengaruh Hindu, Budha maupun Islam masuk, hingga kini. Dengan masuknya pengaruh Islam para guru dinamakan kiai, sedangkan pondok-pondok tersebut dinamakan pesantren yang artinya adalah tempat para santri (yaitu orang-orang yang mendalami ajaran-ajaran agama Islam). Banyak yang berguru pada para kiai tersebut untuk mempelajari dan memperdalam ajaran agama Islam. Oleh karena kiai hanya mempunyai satu atau beberapa keahlian saja, maka banyak murid-murid yang belajar pada beberapa orang kiai, agar mendapatkan pengetahuan yang lebih luas. Tidak ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang yang hendak belajar pada pesantren tersebut, kecuali bahwa dia sungguh-sungguh ingin belajar dan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan oleh hukum agama. Kehidupan di pesantren diatur sebagai satu keluarga yang dipimpin oleh kiai. Di luar pesantren, para muda mudi dapat pula memperoleh pendidikan keagamaan, misalnya di masjid-masjid.
Akhir-akhir ini, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh lembaga-lembaga agama Islam dimana para siswa juga mendapatkan pelajaran mengenai hal-hal yang berhubungan dengan soal keduniawian (sekuler). Sekolah-sekolah tersebut dinamakan madrasah. Sistem pendidikan yang demikian di daerah Istimewa Yogyakarta tidak mengalami perubahan-perubahan yang mencolok, kecuali para santri kemudian diperkenankan mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah-sekolah biasa di pagi hari. Sesudah revolusi fisik, kecenderungan yang mengarah ke sekulerisasi sebagai pandangan hidup masyarakat Yogyakarta, semakin nyata.
Persoalan-persoalan individual maupun sosial, lebih ditafsirkan dalam pengertian-pengertian yang sekuler dan rasional. Kecenderungan tersebut tampak pula pada madrasah-madrasah dimana para siswa meminta agar diajarkan lebih banyak hal-hal yang menyangkut soal-soal keduniawian, seperti sejarah, ilmu bumi, ilmu pasti dan sebagainya, supaya menyamai pelajaran-pelajaran yang diberikan pada sekolah-sekolah biasa. Pemerintah dalam hal ini tampak memberikan bantuan dan semakin banyak pula siswa-siswa madrasah yang mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah biasa.
Dari gejala tersebut di atas, tidaklah dapat disimpulkan bahwa madrasah dan pesantren-pesantren tersebut sebagai lembaga pendidikan akan terdesak oleh lembaga-lembaga pendidikan yang sekuler. Akan tetapi keinginan-keinginan yang kuat untuk mendapat pendidikan yang sekuler rupa-rupanya lebih kuat pada generasi muda. Pendidikan di Indonesia dianggap sebagai alat utama untuk mengadakan perbaikan-perbaikan, dahulu pusat perhatian adalah kebahagiaan di dunia akhirat, tetapi dewasa ini pusat perhatian lebih ditujukan pada kehidupan di dunia ini.
Pendidikan keagamaan seyogyanya disesuaikan dengan aspirasi generasi muda sejak proklamasi kemerdekaan. Sebagaimana telah dikatakan, suatu perubahan bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Salah satu jenis perubahan dapat dilakukan dengan mengadakan modernisasi.
BAB IV
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Melihat kondisi kekinian sesuai dengan realitas objektif yang terjadi ditengah-tengah perkembangan zaman yang ditandai dengan semakin mutakhirnya teknologi dan ilmu pengetahuan yang pada hakikatnya bertujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia, tetapi kenyataannya, teknologi serta ilmu pengetahuan dalam perkembangan zaman yang semakin sekuler menimbulkan keresahan dan ketakutan baru bagi kehidupan manusia khususnya bagi kaum muda. Begitu juga kemajuan ilmu dan teknologi yang semula untuk memudahkan urusan manusia, ketika urusan itu semakin mudah, maka muncul “kesepian” dan “keterasingan baru”, yakni lunturnya rasa solidaritas, kebersamaan dan silaturrahim. Contohnya, penemuan televisi, komputer, dan handphone telah mengakibatkan kita terlena dengan dunia layar. Layar kemudian menjadi teman setia, bahkan kita lebih memperhatikan layar dibandingkan keluarga dan sanak saudara kita. Ternyata, teknologi layar mampu membius manusia untuk tunduk pada layar dan mengabaikan yang lain. Oleh karena itu, jika manusia dalam terutama kaum Muda tidak sadar akan hal ini, maka dia akan kesepian dan sesuatu yang amat penting dalam dirinya, yakni kebersamaan, hubungan kekeluargaan dan sosial yang hangat akan semakin memudar bahkan hilang.
Krisis kemanusiaan akibat perkembangan sosial menimbulkan krisis kemanusiaan tidak hanya terjadi akibat teknologi maju, tetapi juga akibat kecenderungan, ideologi, serta gagasan yang tidak utuh. Sebagai contoh, ide dan gerakan emansipasi yang dikumandangkan oleh para penggerak feminisme, agar wanita diberi kesempatan yang sama di area publik dengan laki-laki. Kesempatan ini kemudian nyata dimanfaatkan oleh perusahaan padat karya dengan merekrut perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki dengan alasan perempuan lebih rapi, lebih rendah gaji, lebih mudah diatur dan tidak merepotkan perusahaan. Akibatnya, kaum laki-laki susah mendapatkan pekerjaan dan implikasi lebih lanjut rumah tangga menjadi berantakan karena perempuan merasa lebih hebat daripada laki-laki. Di sisi lain, laki-laki yang nganggur akan berbuat apa saja untuk mendapatkan uang, seperti merampok dan mencuri sehingga angka kriminalitas meningkat. Tanpa kita sadari, teknologi dan perkembangan zaman atau sosial budaya telah memenjarakan manusia khususnya kaum muda. Artinya, penjara manusia tidak berkurang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman yang semakin mutakhir yang ditandai dengan kemajuan teknologi yang sangat mutakhir. Dalam konteks inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang bernama teknologi dimana implikasi terbesarnya adalah sifat dan perilaku umat manusia khususnya kaum muda yang menjadi tonggak generasi penerus bangsa.
B. Saran
1. Pemuda selaku aset serta sebagai generasi penerus bangsa harus mampu bersikap lebih matang dalam menanggapi segala persoalan-persoalan yang terjadi di dalam perubahan sosial kemasyarakatan agar nilai-nilai luhur budaya bangsa tidak terkontaminasi dengan budaya asing yang dapat meninggalkan substansi asli budaya Indonesia itu sendiri.
2. Selaku pemuda yang baik dan berintelektualitas, seharusnya mampu berperan aktif di dalam perubahan social di masyarakat demi kemandirian bangsa, yang tidak hanya melihat sesuatu serta terdogma hanya dengan satu objek yang dapat mengakibatkan pola pikir menjadi mandeg.
3. Peran pemuda sebagai generasi bangsa agar lebih aktif untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya bangsa yang nantinya menjadi tolok ukur dalam menyikapi segala problematika yang terjadi dalam kemasyarakatan agar nilai-nilai luhur bangsa tidak dicampur-baurkan dengan budaya asing yang begitu sekuler.
Makalah Intermediate Training In DEPOK
DAFTAR PUSTAKA
Ali A. Mukti, “ Manusia, Islam dan Kebudayaan” IAIN Sunan Kalijaga
Yoyakarta, 1980
Faisal Ismail, “Paradigma Kebudayaan Islam”, Penerbit Titian Ilahi Press,
Yogyarakata, 1996
Ufford, Philip Quarles van. Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program. Jakarta : PT. Gramedia, 1988
Tribon. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT. Suka Buku, 2010
Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Jakarta : PT. Refika Aditama, Edi. 2009
Gazalba, Sidi, “Modernisasi dalam Persoalan, Bagaimana Sikap Islam”, Penerbit
Bulan Bintang, Jakarta, 1973
Judistira K. Gorna, “Teori-teori Perubahan Sosial”, Penerbit Program Pascasarjana
UNPAD, 1993
Pitirim A. Sarokin, “Social and Cultural Dynamics”, Bastom : Sargent, 1957
Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 944-1946. Ithaca: Cornell Universit Press, B.R.O’G. 1972
Kahin, George McTurnan. (terj). RefleksiPergumulan Lahirnya Republik. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: UNS Press, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar