Sehat adalah sebuah investasi, asset, dan harta yang paling berharga bagi setiap individu. Health is not everything but, without health everything is nothing, menjadi sebuah penyempurna jika sehat merupakan starting point untuk
pembangunan. Menurut, WHO, sehat bukan hanya keadaan yang bebas dari
penyakit melainkan juga keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun
social. Sebuah definisi yang sangat merefleksikan betapa kesehatan
sebagai sesuatu yang bersifat kompleks.
Sebagai sebuah investasi, asset, maupun harta, kesehatan sangat
strategis perannya dalam menentukan pembangunan suatu Negara. Kelompok
individu yang dinamakan penduduk sebagai salah satu unsur dari
berdirinya Negara, mempunyai suatu hak akan kesehatan (UUD 1945 pasal 28
H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3) sehingga pembangunan negaranya dapat
berjalan dengan baik.
Menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan BAB IV pasal 9, ”Pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat“ adalah sebuah patokan bagi pemerintah dalam menyelenggarakan upaya-upaya kesehatan seperti yang tertuang pada UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan BAB IV pasal 7 bahwa pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Oleh sebab itu, pemerintah mencanangkan banyak program sebagai suatu langkah menuju masyarakat Indonesia yang sehat yang merupakan starting point bagi terwujudnya pembangunan negara. Salah satu program yang cukup menarik perhatian banyak kalangan adalah Indonesia Sehat 2010. Mengapa dikatakan menarik perhatian? Mari kita cermati visi Indonesia Sehat 2010.
Visi Indonesia Sehat 2010
Menurut rumusan pemerintah, visi Indonesia Sehat 2010 dijabarkan sebagai berikut : “Dalam Indonesia sehat 2010, lingkungan yang diharapkan adalah yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa.
Perilaku masyarakat Indonesia Sehat 2010 yang diharapkan adalah yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Selanjutnya kemampuan masyarakat yang diharapkan pada masa depan adalah yang mampu menjangkau pelayang kesehatan yang bermutu tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi, maupun non ekonomi. Pelayanan kesehatan bermutu yang dimaksudkan disini adalah pelayanan kesehatan yang memuaskan pemakai jasa pelayanan serta yang diselenggarakan sesuai dengan standar dan etika pelayanan profesi. Diharapkan dengan terwujudnya lingkungan dan perilaku sehat serta meningkatnya kemampuan masyarakat tersebut diatas, derajat kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat dapat ditingkatkan secara optimal.”
Dalam visi tersebut telah ditetapkan tak kurang dari 50 indikator. Salah satu indikator yang menjadi fokus utama pemerintah adalah MMR dan IMR. Kesehatan ibu dan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, mengingat Indonesia merupakan negara dengan tingkat MMR dan IMR masih tergolong sangat tinggi.
Adanya indikator seharusnya “menurut teori” akan memudahkan pelaksanaanya. Karena adanya indikator dan target merupakan upaya yang dilakukan oleh para perumus program agar visi yang menjadi tujuan program tersebut dapat dilaksanakan secara terarah dan tepat sasaran. Namun apa yang terjadi seringkali tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pelaksanaan sebuah program tentu melibatkan subyek, yaitu pihak pelaksana program serta obyek, yaitu pihak yang menjadi sasaran dari pelaksanaan program tersebut.
Dalam Indonesia Sehat 2010, subyek sekaligus obyek program adalah seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga selain menjadi sasaran, masyarakat juga harus ikut berperan aktif dalam rangka menyehatkan seluruh bangsa Indonesia. Tidak cukup dengan mengandalkan kegiatan yang ditawarkan pemerintah dimana harus melewati banyak meja birokrasi yang cenderung membuat program tidak segera berjalan bahkan ada yang cenderung menghambat pelaksaan program (meskipun tidak semua birokrasi seperti itu). Sehingga peran aktif masyarakat menjadi faktor penentu tercapainya visi program.
Visi dan Realita Masyarakat
Jika kita tinjau kembali mengenai visi Indonesia Sehat 2010, ada 3 pilar utama yang dijadikan patokan untuk mencapai program tersebut, yakni penduduk hidup dalam perilaku dan lingkungan yang sehat, penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal tersebut merupakan patokan yang bisa dibilang sangat qualified, namun masih terkesan eksklusif bagi masyarakat Indonesia yang masih jauh dari kata sehat, dalam hal ini sehat menurut WHO.
Misalnya, mengenai lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat. Hal tersebut memang visi yang sangat baik, namun saat melihat realita, banyak penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Pemikiran umum masyarakat yang terjadi adalah “Kalau untuk makan dan sekolah saja susah, mengapa masih harus memikirkan lingkungan yang sehat?” Dengan demikian kemiskinan masih menjadi permasalahan dalam mewujudkan lingkungan yang kondusif.
Kembali ke budaya masyarakat kita yang belum bisa berpikir lebih maju. Saat hidup serba kekurangan sehingga aspek kesehatan dinomorduakan, dengan alasan tak punya dana lebih untuk membeli makanan bergizi, ataupun tinggal di lingkungan yang bersih. Namun setelah hidup serba berkecukupan, pola makan masih tidak terarah dan aspek kesehatan tetap dinomorduakan. Mereka lebih mendahulukan upaya pengobatan daripada pencegahan penyakit. Paradigma pemikiran klasik masyarakat tersebut hendaknya dihilangkan agar setiap pelaksanaan program kesehatan dapat berjalan dengan lancar.
Pencapaian Indonesia Sehat
Dalam skala makro, memang terlihat beberapa kemajuan di bidang kesehatan, contohnya angka IMR, MMR, dan gizi kurang menurun.
Tabel Pencapaian Status Kesehatan menurut Rakerkesnas 2009 di Surabaya
*) = Riskesdas 2007
Dari tabel tersebut baik dari indikator IMR, MMR, maupun gizi kurang balita menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Namun, jika kita lihat dalam skala mikro, masih banyak daerah di Indonesia yang menunjukkan angka pencapaian status kesehatan yang dinilai buruk.
Menurut paparan Dirjen Rakerkesnas (Rapat Kerja Kesehatan Nasional) 2009, untuk AKB/ IMR 2007 (rata-rata nasional 26,9) masih sangat tinggi di dua daerah yakni NTB (72) dan Sulbar (74). Di samping itu, untuk gizi buruk/ gizi kurang tahun 2007 (rata-rata nasional 18,4) masih sangat tinggi di NTT (33,6).
Tabel Pencapaian Sasaran dan Disparsitas menurut Propinsi tahun 2007
Masih tingginya AKB, AKI, dan gizi buruk akan mempengaruhi HDI (Human Development Index) masyarakat Indonesia. Rendahnya HDI masyarakat menunjukkan masih rendahnya pula derajat kesehatan masyarakat.
Akankah Indonesia Sehat terwujud di tahun 2010? Sedangkan saat memasuki tahun ke 8 (2007) masih saja ada daerah-daerah yang belum dapat memenuhi indikator, bahkan masih jauh di bawah rata-rata nasional. Belum cukupkah waktu 10 tahun untuk mencapai satu program sederhana berdampak besar yakni Indonesia Sehat 2010?
Saat ini kita sudah memasuki tahun evaluasi. Mengapa? Karena memasuki awal tahun 2010 ini, banyak program dalam Indonesia Sehat 2010 yang harus diupayakan sungguh-sungguh dari semua pihak, khususnya pemerintah sebagai penyelenggara utama pelayanan kesehatan terhadap masyarakat sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap status kesehatan masyarakat.
Hambatan Pelaksanaan Program
Pencapaian Indonesia Sehat saat ini belum terwujud 100%, masih banyak program yang belum terlaksana dengan baik. Apalagi sumber daya dan dana yang terbatas serta belum menerapkan prinsip adil dan merata dalam aplikasinya menjadi hambatan yang paling besar dalam melaksanakan suatu program.
Jika dilihat dari sumber daya yang ada, jumlah tenaga kesehatan yang diperlukan, baik yang bergerak di bidang promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif masih banyak yang terpusat di kota-kota besar saja. Meskipun jumlah tenaga kesehatan sudah mencukupi, namun persebarannya kurang merata.
Menurut penuturan Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, dalam sebuah surat kabar nasional, “Penyebaran tenaga-tenaga kesehatan local harus dioptimalkan, khususnya ke daerah-daerah terpencil. Optimalisasi tenaga kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan kualitas tenaga kesehatan, terutama di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK).”
Di sisi lain, dana yang dianggarkan pemerintah untuk kesehatan tak lebih dari 2,3% dari APBN per tahun. Mengalami sedikit peningkatan di tahun 2009 sebesar 2,8% dari total APBN, meskipun begitu dana tersebut masih jauh dari anggaran yang disarankan oleh WHO yakni sebesar 5% dari total APBN. Sehingga diperlukan partisipasi yang lebih besar dari masing-masing pemerintah daerah. Di samping itu, efektifitas dana kesehatan sangat penting untuk diperhatikan. Dana kesehatan yang tidak begitu besar jumlahnya, penggunaannya haruslah lebih berorientasi pada upaya promotif dan preventif, bukan upaya kuratif yang terkesan seperti membuang uang negara karena dari awal kita sudah sepakat bahwa kesehatan adalah asset. Sebuah asset harus dijaga agar dapat bermanfaat, bukannya dibiarkan dan nantinya kita justru harus menanggung kerugian, sedangkan asset tersebut pasti sudah berkurang mutunya.
Pendanaan di bidang promotif dan preventif selain menjaga asset negara berupa kesehatan masyarakat, sekaligus juga dapat melatih masyarakat untuk berperilaku sehat. Mengapa? Dengan adanya dana dari pemerintah, masyarakat akan lebih bersemangat untuk berperilaku ataupun melakukan kegiatan yang dapat menghindarkan mereka dari penyakit. Masyarakat akan berlomba-lomba untuk menjaga kesehatan diri dan lingkungan, karena dukungan dari pemerintah merupakan faktor penguat dari perubahan yang dilakukan masyarakat. Lain halnya jika pemerintah menganggarkan dana yang lebih besar untuk upaya kuratif (pengobatan). Masyarakat bukan berlomba-lomba untuk berperilaku sehat, melainkan akan bersikap seenaknya.
Begitu pentingnya dukungan pemerintah serta partisipasi aktif dari masyarakat dalam menyukseskan Indonesia Sehat 2010. Meskipun masih banyak keterbatasan dalam upaya pencapaiannya, namun jangan sampai dijadikan sebagai tembok penghalang bagi rencana strategis visi Indonesia Sehat tersebut.
Menurut penuturan salah satu dosen FKM, Dr. Laksmono Widagdo, SKM, MHPED, bahwa Indonesia sehat merupakan niat yang baik dari pemerintah. Jadi, meskipun belum terlihat keberhasilannya, namun sebagai masyarakat kita sebaiknya menghargai visi program dengan terus mendukung program-program pemerintah yang pro rakyat. Jangan hanya berkata bahwa itu hanya jargon atau upaya mencari sensasi, tetapi mari kita buktikan bersama – sama bahwa masyarakat mampu meningkatkan derajat kesehatannya secara mandiri...
By: Berbagai Sumber
Sudianto Aditya_Ijho FKM Epidemiologi UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR Makassar (UIT)
Menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan BAB IV pasal 9, ”Pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat“ adalah sebuah patokan bagi pemerintah dalam menyelenggarakan upaya-upaya kesehatan seperti yang tertuang pada UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan BAB IV pasal 7 bahwa pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Oleh sebab itu, pemerintah mencanangkan banyak program sebagai suatu langkah menuju masyarakat Indonesia yang sehat yang merupakan starting point bagi terwujudnya pembangunan negara. Salah satu program yang cukup menarik perhatian banyak kalangan adalah Indonesia Sehat 2010. Mengapa dikatakan menarik perhatian? Mari kita cermati visi Indonesia Sehat 2010.
Visi Indonesia Sehat 2010
Menurut rumusan pemerintah, visi Indonesia Sehat 2010 dijabarkan sebagai berikut : “Dalam Indonesia sehat 2010, lingkungan yang diharapkan adalah yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa.
Perilaku masyarakat Indonesia Sehat 2010 yang diharapkan adalah yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Selanjutnya kemampuan masyarakat yang diharapkan pada masa depan adalah yang mampu menjangkau pelayang kesehatan yang bermutu tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi, maupun non ekonomi. Pelayanan kesehatan bermutu yang dimaksudkan disini adalah pelayanan kesehatan yang memuaskan pemakai jasa pelayanan serta yang diselenggarakan sesuai dengan standar dan etika pelayanan profesi. Diharapkan dengan terwujudnya lingkungan dan perilaku sehat serta meningkatnya kemampuan masyarakat tersebut diatas, derajat kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat dapat ditingkatkan secara optimal.”
Dalam visi tersebut telah ditetapkan tak kurang dari 50 indikator. Salah satu indikator yang menjadi fokus utama pemerintah adalah MMR dan IMR. Kesehatan ibu dan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, mengingat Indonesia merupakan negara dengan tingkat MMR dan IMR masih tergolong sangat tinggi.
Adanya indikator seharusnya “menurut teori” akan memudahkan pelaksanaanya. Karena adanya indikator dan target merupakan upaya yang dilakukan oleh para perumus program agar visi yang menjadi tujuan program tersebut dapat dilaksanakan secara terarah dan tepat sasaran. Namun apa yang terjadi seringkali tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pelaksanaan sebuah program tentu melibatkan subyek, yaitu pihak pelaksana program serta obyek, yaitu pihak yang menjadi sasaran dari pelaksanaan program tersebut.
Dalam Indonesia Sehat 2010, subyek sekaligus obyek program adalah seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga selain menjadi sasaran, masyarakat juga harus ikut berperan aktif dalam rangka menyehatkan seluruh bangsa Indonesia. Tidak cukup dengan mengandalkan kegiatan yang ditawarkan pemerintah dimana harus melewati banyak meja birokrasi yang cenderung membuat program tidak segera berjalan bahkan ada yang cenderung menghambat pelaksaan program (meskipun tidak semua birokrasi seperti itu). Sehingga peran aktif masyarakat menjadi faktor penentu tercapainya visi program.
Visi dan Realita Masyarakat
Jika kita tinjau kembali mengenai visi Indonesia Sehat 2010, ada 3 pilar utama yang dijadikan patokan untuk mencapai program tersebut, yakni penduduk hidup dalam perilaku dan lingkungan yang sehat, penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal tersebut merupakan patokan yang bisa dibilang sangat qualified, namun masih terkesan eksklusif bagi masyarakat Indonesia yang masih jauh dari kata sehat, dalam hal ini sehat menurut WHO.
Misalnya, mengenai lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat. Hal tersebut memang visi yang sangat baik, namun saat melihat realita, banyak penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Pemikiran umum masyarakat yang terjadi adalah “Kalau untuk makan dan sekolah saja susah, mengapa masih harus memikirkan lingkungan yang sehat?” Dengan demikian kemiskinan masih menjadi permasalahan dalam mewujudkan lingkungan yang kondusif.
Kembali ke budaya masyarakat kita yang belum bisa berpikir lebih maju. Saat hidup serba kekurangan sehingga aspek kesehatan dinomorduakan, dengan alasan tak punya dana lebih untuk membeli makanan bergizi, ataupun tinggal di lingkungan yang bersih. Namun setelah hidup serba berkecukupan, pola makan masih tidak terarah dan aspek kesehatan tetap dinomorduakan. Mereka lebih mendahulukan upaya pengobatan daripada pencegahan penyakit. Paradigma pemikiran klasik masyarakat tersebut hendaknya dihilangkan agar setiap pelaksanaan program kesehatan dapat berjalan dengan lancar.
Pencapaian Indonesia Sehat
Dalam skala makro, memang terlihat beberapa kemajuan di bidang kesehatan, contohnya angka IMR, MMR, dan gizi kurang menurun.
Tabel Pencapaian Status Kesehatan menurut Rakerkesnas 2009 di Surabaya
Indikator | Pencapaian | Sasaran | |||
2004 | 2005 | 2006 | 2007 | 2009 | |
IMR ( Per 1000 LH ) | 35 | 32 | 30,8 | 26,9 | 26 |
MMR ( Per 1000 LH ) | 307 | 262 | 253 | 228 | 226 |
GIZI KURANG BALITA | 25,8 | 24,7 | 23,6 | 18,4 *) | 20 |
UHH ( TAHUN ) | 66,2 | 67,8 | 69,4 | 70,5 | 70,6 |
Dari tabel tersebut baik dari indikator IMR, MMR, maupun gizi kurang balita menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Namun, jika kita lihat dalam skala mikro, masih banyak daerah di Indonesia yang menunjukkan angka pencapaian status kesehatan yang dinilai buruk.
Menurut paparan Dirjen Rakerkesnas (Rapat Kerja Kesehatan Nasional) 2009, untuk AKB/ IMR 2007 (rata-rata nasional 26,9) masih sangat tinggi di dua daerah yakni NTB (72) dan Sulbar (74). Di samping itu, untuk gizi buruk/ gizi kurang tahun 2007 (rata-rata nasional 18,4) masih sangat tinggi di NTT (33,6).
Tabel Pencapaian Sasaran dan Disparsitas menurut Propinsi tahun 2007
Indikator | Rata – rata Nasional | Terendah | Tertinggi |
AKB | 26,9 | DIY (19); JATENG (28) | NTB (72); SULBAR (74) |
AKI | 228 | ||
TFR | 2,6 | DIY (1,8) | NTT (4,2) |
GIZI KURANG | 18,4 | DIY (10,9) | NTT (33,6) |
Akankah Indonesia Sehat terwujud di tahun 2010? Sedangkan saat memasuki tahun ke 8 (2007) masih saja ada daerah-daerah yang belum dapat memenuhi indikator, bahkan masih jauh di bawah rata-rata nasional. Belum cukupkah waktu 10 tahun untuk mencapai satu program sederhana berdampak besar yakni Indonesia Sehat 2010?
Saat ini kita sudah memasuki tahun evaluasi. Mengapa? Karena memasuki awal tahun 2010 ini, banyak program dalam Indonesia Sehat 2010 yang harus diupayakan sungguh-sungguh dari semua pihak, khususnya pemerintah sebagai penyelenggara utama pelayanan kesehatan terhadap masyarakat sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap status kesehatan masyarakat.
Hambatan Pelaksanaan Program
Pencapaian Indonesia Sehat saat ini belum terwujud 100%, masih banyak program yang belum terlaksana dengan baik. Apalagi sumber daya dan dana yang terbatas serta belum menerapkan prinsip adil dan merata dalam aplikasinya menjadi hambatan yang paling besar dalam melaksanakan suatu program.
Jika dilihat dari sumber daya yang ada, jumlah tenaga kesehatan yang diperlukan, baik yang bergerak di bidang promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif masih banyak yang terpusat di kota-kota besar saja. Meskipun jumlah tenaga kesehatan sudah mencukupi, namun persebarannya kurang merata.
Menurut penuturan Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, dalam sebuah surat kabar nasional, “Penyebaran tenaga-tenaga kesehatan local harus dioptimalkan, khususnya ke daerah-daerah terpencil. Optimalisasi tenaga kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan kualitas tenaga kesehatan, terutama di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK).”
Di sisi lain, dana yang dianggarkan pemerintah untuk kesehatan tak lebih dari 2,3% dari APBN per tahun. Mengalami sedikit peningkatan di tahun 2009 sebesar 2,8% dari total APBN, meskipun begitu dana tersebut masih jauh dari anggaran yang disarankan oleh WHO yakni sebesar 5% dari total APBN. Sehingga diperlukan partisipasi yang lebih besar dari masing-masing pemerintah daerah. Di samping itu, efektifitas dana kesehatan sangat penting untuk diperhatikan. Dana kesehatan yang tidak begitu besar jumlahnya, penggunaannya haruslah lebih berorientasi pada upaya promotif dan preventif, bukan upaya kuratif yang terkesan seperti membuang uang negara karena dari awal kita sudah sepakat bahwa kesehatan adalah asset. Sebuah asset harus dijaga agar dapat bermanfaat, bukannya dibiarkan dan nantinya kita justru harus menanggung kerugian, sedangkan asset tersebut pasti sudah berkurang mutunya.
Pendanaan di bidang promotif dan preventif selain menjaga asset negara berupa kesehatan masyarakat, sekaligus juga dapat melatih masyarakat untuk berperilaku sehat. Mengapa? Dengan adanya dana dari pemerintah, masyarakat akan lebih bersemangat untuk berperilaku ataupun melakukan kegiatan yang dapat menghindarkan mereka dari penyakit. Masyarakat akan berlomba-lomba untuk menjaga kesehatan diri dan lingkungan, karena dukungan dari pemerintah merupakan faktor penguat dari perubahan yang dilakukan masyarakat. Lain halnya jika pemerintah menganggarkan dana yang lebih besar untuk upaya kuratif (pengobatan). Masyarakat bukan berlomba-lomba untuk berperilaku sehat, melainkan akan bersikap seenaknya.
Begitu pentingnya dukungan pemerintah serta partisipasi aktif dari masyarakat dalam menyukseskan Indonesia Sehat 2010. Meskipun masih banyak keterbatasan dalam upaya pencapaiannya, namun jangan sampai dijadikan sebagai tembok penghalang bagi rencana strategis visi Indonesia Sehat tersebut.
Menurut penuturan salah satu dosen FKM, Dr. Laksmono Widagdo, SKM, MHPED, bahwa Indonesia sehat merupakan niat yang baik dari pemerintah. Jadi, meskipun belum terlihat keberhasilannya, namun sebagai masyarakat kita sebaiknya menghargai visi program dengan terus mendukung program-program pemerintah yang pro rakyat. Jangan hanya berkata bahwa itu hanya jargon atau upaya mencari sensasi, tetapi mari kita buktikan bersama – sama bahwa masyarakat mampu meningkatkan derajat kesehatannya secara mandiri...
By: Berbagai Sumber
Sudianto Aditya_Ijho FKM Epidemiologi UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR Makassar (UIT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar