“ Blending invention into the logical language of strategy
is an art, the art
of strategic conversation. “
K. Van Der
Heijden, Scenarios, 1996
I. PRAWACANA
Setelah dua puluh bulan pemerintah Gusdur, Indonesia
belum juga kembali ke alam yang penuh kedamaian. Reformasi yang telah berjalan
tiga tahun belum juga menghasilkan tatanan pemerintah dan kemasyarakatan yang
sesuai dengan tata nilai sosial budaya yang penuh adab. Bahkan akhir-akhir ini
bertambah tidak menentu, menunjukkan kekacauan berfikir dan bertindak
disebagian wilayah Indonesia. Penyebab utamanya masih tetap : “Tersumbatnya
arus komunikasi politik”. Komunikasi antar elite politik, antar politisi,
antara rakyat dengan pemimpinnya, antara sesama rakyat yang berbeda kelompok
politiknya, antara rakyat dalam satu daerah namun berbeda etnis/keturunan dan
antara sesama pejabat namun berbeda interestnya.
Perbedaan demi perbedaan
makin diperuncing oleh interest kelompok yang tidak pernah berpihak kepada
kepentingan bersama, kesadaran berbangsa dan bernegara dalam keanekaragaman –
kebhinnekaan. Kita semua melupakan mengapa “founding father“
bangsa Indonesia memiliki niat yang luhur membangun bangsa yang penuh
kebhinnekaan atas dasar persamaan visi dan tujuan nasional. Kita lupa bahwa
selama ini mengaku bangsa yang beradab, bangsa yang berbudaya, dan bangsa yang
religius. Namun kelakuannya ambivalen, mendua dan bahkan hipokrit. Akankah
Indonesia luluh berantakan bersama keserakahan lahir dan batin ?. Semoga tidak !!!.
II.
LATAR
BELAKANG
A. KRISIS AKHLAK DAN MORAL
Dari awal reformasi tiga tahun yang
lalu kita ikuti pemberitaan media massa, bahkan mungkin kita alami sendiri,
ataupun melihat dengan mata kepala sendiri. Bahwa reformasi menghasilkan dampak
ikutan yang negatif pada kelakuan sebagian warga; terjadinya pembakaran,
penjarahan, pembunuhan, pemerkosaan, pengrusakan/penghancuran asset negara
maupun milik perorangan dan swasta. Dampak negatif ini dipicu oleh perlakuan tidak
adil selama tiga dekade oleh penguasa, penegakan hukum yang tidak berpihak
kepada rakyat kecil, pelanggaran disiplin dan hukum makin meningkat baik oleh
masyarakat maupun aparat. Sejalan dengan penegakan hukum, law enforcement oleh
aparat cenderung melanggar HAM. Masyarakat juga menjebak aparat untuk melakukan
pelanggaran HAM dengan mencari dukungan penegak hukum yang korup dengan
berkolusi, dll. Kesemuanya berlangsung tanpa kesadaran bahwa masing-masing
telah melanggar moral dan etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Penyebab krisis ini antara lain juga terhambatnya komunikasi antara rakyat
dengan pemerintah, melalui desiminasi informasi yang dilakukan oleh aparat dan
media massa, membuat rakyat semakin tahu hak dan kewajibannya sebagai warga negara,
namun sebaliknya aparat sebagai abdi negara, abdi masyarakat dan pelayan
masyarakat justru semakin berubah menjadi PANGREH PRAJA dari pada PAMONG
PRAJA. Disini terjadi distorsi yang berakibat miskomunikasi, karena
masing-masing memposisikan diri dalam kepentingan yang berbeda. Sejalan dengan
itu pula pembangunan di bidang pendidikan umum maupun pendidikan agama, hanya
dianggap sukses dengan ukuran kuantitatif fisik (berapa buah gedung sekolah,
gereja, mesjid, pura dan kuil yang dibagun), tidak berdasarkan kualitas berapa
manusia yang berpendidikan umum dan bermoral baik secara nasional yang
dihasilkan.
B. KONFLIK HORIZONTAL DAN VERTIKAL
Demikian pula ekses reformasi terhadap
sosial kemasyarakatan dan pemerintahan. Masyarakat mulai berani secara terbuka
menyatakan gagasan kepada pemerintah, penegak keadilan maupun penjaga
ketertiban yang selama ini dinilai hanya berpihak kepada penguasa, pengusaha
dan orang kaya. Pertentangan antara
daerah dengan pusat tentang pembagian hasil penggalian kekayaan daerah, yang
dirasakan tidak adil. Kesenjangan sosial ekonomi antara pendatang dan penduduk
asli, antara WNI keturunan dengan putera daerah, juga dapat memicu konflik
horizontal. Demikian pula ketidakadilan perlakuan pengusaha terhadap buruhnya
(mengenai upah, kesejahteraan, jabatan maupun rekrutmen pekerja). Kesemuanya
memiliki dampak negatif ; meningkatnya para pengungsi dari daerah konflik
(Aceh, Sambas, Sampit, Palangkaraya, Poso, Halmahera, Ambon, Atambua dll).
Menimbulkan kelompok pro dan kontra penindakan/penanganan daerah konflik, yang
satu menghendaki jalan dialog, sebagian penindakan sesuai jalur hukum. Bagaikan
gayung bersambut penanganan pro-kontra dan penyelesaian konflik itu, berkaitan
pula pada perlawanan masyarakat terhadap POLRI – TNI.
C.
ADANYA GEJALA PENGARUH ASING
Situasi konflik di negara
kita, selain dipicu oleh isu strategi dalam negeri, juga tidak luput
kemungkinan pengaruh asing, utamanya negara adidaya yang menginginkan menjadi
polisi dunia. Kehadiran negara adidaya itu bagaikan pisau bermata dua, menancap
di negeri yang di intervensi secara halus. Berbagai informasi melalui media
massa dapat dideteksi bahwa insiden di Halmahera dipicu oleh pemancar gelap
yang dikendalikan oleh warga negara Belanda, peristiwa Poso yang memicu perang
agama di lokasi yang selama ini aman damai, dikendalikan oleh alat komunikasi
canggih yang dimotori oleh warga negara Jerman. Karena negara kita tidak
memiliki alat kontrol yang canggih (maklum masih underdeveloping country –
versi KTT G-15 Jakarta), maka warga Jerman yang sudah mempunyai kader
provokator lokal itupun dilepas oleh yang berwajib. Bukan tidak mungkin di
Ambon, Aceh, NTT bahkan beberapa kota di Jatim. Sejarah membuktikan bahwa PRRI
dan Permesta yang diawali konfliknya dengan pemerintah pusat melalui isu
ketidakadilan ekonomi, ternyata juga diintervensi oleh negara adidaya (AS,
ingat dropping senjata di Sumbar dan tertembak jatuhnya pilot AS. Allan Pope).
III.
POTENSI
KONFLIK
A.
KETIDAK PERCAYAAN PADA INSTITUSI FORMAL
Institusi formal
khususnya lembaga pemerintah, TNI dan Polisi, lembaga legislatif maupun
yudikatif, saat ini menjadi tumpuan harapan untuk menjaga jalannya reformasi
total menegakkan keadilan, supremasi hukum dan proses demokratisasi. Yang
terjadi justru lemahnya proses pencarian keadilan, demokratisasi sedang kemaruk
kebebasan mengemukakan pendapat, melalui dialog yang beralih menjadi debat
seru, tanpa diikuti oleh bahasa logik dan percakapan stratejik. Apakah hal ini
disebabkan oleh pendidikan masyarakat yang masih rendah (SDM kita peringkat 109
dunia) belum jelas. Perguruan Tinggi belum memadai jumlah dan fasilitasnya
dibandingkan dengan penduduk usia sekolah di Perguruan Tinggi. Pola kerja SDM
di bidang industri maju yang dapat berbeda dengan pola kerja petani, yang
senantiasa tergantung iklim dan alam. Sedangkan industri maju memerlukan SDM
yang terampil dan penuh disiplin. Frekuensi unjukrasa di berbagai daerah dengan
berbagai tuntutan, maka dari kenaikan upah, kesejahteraan sampai perlakuan
tidak manusiawi dari manajemen perusahaan. Guna antisipasi konflik yang lebih
transparan dikerahkanlah aparat keamanan, yang dikonsentrasikan di suatu
wilayah tertentu.
B.
FAKTOR SOSIAL
1. Potensi
konflik yang disebabkan oleh faktor sosial ditandai antara lain: Komposisi
penduduk berdasarkan agama, etnis, ras, budaya maupun kelompok kepentingan
tertentu di masyarakat, adanya kelompok pemuda (yang juga terfragmentasi dalam
agama, politik, etnis, sosial dll)
2. Kelompok-kelompok
penduduk berdasarkan mata pencaharian, seperti ; pedagang, buruh, tani,
nelayan, PNS TNI, Polri yang selain berdasarkan profesi juga terfragmentasi
lagi dalam sub kelompok usia, jender, agama, suku dll. Hal ini menandakan sub
kultur, sub kelompok, sub sistem sosial kemasyarakatan kita memang unik
3. Kelompok
pemukiman penduduk juga menjadi potensi konflik seperti: daerah kumuh, urban,
sub urban, rural, perumahan mewah, campuran (ruko dan rukan) dll
4. Kondisi
masyarakat yang bersifat primordial, juga mengandung potensi konflik yang harus
diwaspadai oleh setiap penyelenggara negara bersama masyarakat.
Perlukah
potensi konflik diredam ? sudah pasti tidak, karena potensi konflik akan selalu
ada di setiap strata dan lini lingkungan kehidupan. Potensi konflik tidak harus
diredam. Ingat selama tiga dasawarsa pemerintah mampu menekan potensi konflik.
Namun bagaikan teori “pompa”, makin ditekan makin besar perlawanan, manakala
ada peluang dan celah untuk meledak. Jadi yang diperlukan adalah membangun
saluran/kanolisasi konflik, dan diubah menjadi energi kreatif-kompetitif.
C. MASALAH
EKONOMI
Dibidang ekonomi bukanlah
tempat yang kecil potensi konfliknya, melainkan dapat meledak sewaktu-waktu
disebabkan isu yang sepele. Potensi konflik yang terpendam dalam masalah
ekonomi, antara lain :
1. Jumlah
industri dan jenis produk maupun bahannya juga menjadi potensi konflik
berkepanjangan (seperti Freeport, TPL, dulu Busang dll). Limbah industri, daya
serap atau segmen pemasaran produk, transparansi dan prasarana jalan yang dapat
mengganggu ketenangan masyarakat.
2. Pertanahan.
Masalah ini sangat rumit, mengingat hak atas tanah yang menjadi tanah ulayat,
misalnya telah memicu para ahli waris tanah bermasalah akibat pengalihan haknya
dilakukan secara intimidatif di masa lalu oleh penguasa yang pengusaha atau
pengusaha yang memanfaatkan penguasa, kini mulai digugat. Bahkan diduduki
secara paksa dengan membabat lahan perkebunan, menduduki ruas jalan tol,
menduduki dengan mendirikan bedeng sementara dll, hal ini jika penanganannya
tidak arif akan menimbulkan korban jiwa yang tak perlu terjadi.
3. Perburuhan.
Kesenjangan perlakukan berbagai masalah ketenagakerjaan antara buruh dengan
majikan, juga terjadi antara TKI dengan penyedia TKI yang sebagian ternyata
menipu TKI. Penyantunan hak TKI dan TKW di luar negeri yang bermasalah, juga
kurang memperoleh fasilitas, advokasi maupun perlindungan hukum saat ini dengan
retifikasi Konvensi Jenewa mengenai perburuhan,TKI semakin gencar
memperjuangkan haknya tanpa peduli akibat ulah unjuk rasa terhadap masyarakat
luas, terhadap nasib dirinya maupun nasib perusahaan tempatnya bekerja. Saat ini
secara teoritis jumlah pengangguran dengan berbagai sebab (PHK, likuidasi,
relokasi pabrik, bencana alam dll) adalah sebanding dengan kenaikan nilai tukar
dollar US. Jika di tahun 90-an nilai tukar dollar Rp.2.500,- dengan
pengangguran 27 juta jiwa maka kini dengan dollar US Rp.10.000,- berarti 4 x 27
juta. Realita menurut pakar ekonomi Pande Raja Silalahi meliputi 40 juta orang
(RCTI, 06 Juni 2001).
IV.
UPAYA MENJUJU INDONESIA DAMAI
A. REKONSILIASI
Rujuk nasional dalam arti
seluas-luasnya untuk membawa kembali bangsa Indonesia menuju aman damai
sejahtera adalah pendekatan psikologis yang menyentuh hati nurani
setiap warga negara Indonesia. Upaya itu harus mampu menyadarkan setiap insan
Indonesia bahwa konflik sekecil apapun dapat merugikan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Upaya ini dikenal dengan “KAMPANYE INDONESIA DAMAI”,
melalui “PROGRAM KOMUNIKASI”.
B. DAMAI
ITU INDAH
Damai selain bebas dari
peperangan, pertikaian dengan angkat senjata antara kedua belah pihak yang
bertikai memperebutkan kebenaran versi masing-masing, juga berarti :
1. Keadaan
dan perasaan aman
2. Nyaman
(pleasant), bersahabat (friendly) tanpa perselisihan.
3. Mencegah
dan menghindari perkelahian fisik
4. Tidak
menghujat dan mencari kesalahan pihak lain
5. Menghargai
kepeloporan dan kepahlawanan
6. Menghargai
pandangan yang berbeda, perbedaan adalah Rakhmat Illahi.
7. Mendorong
tercapainya perselisihan melalui dialog komunikatif = komunikasi dialogis.
Keadaan yang diinginkan
untuk mencapai suasana DAMAI, yang bebas dari prasangka buruk, bebas dari kecemasan
akibat perbuatan jahat pihak lain dan bebas dari peperangan antar kepentingan
yang mengabaikan adab, adat dan kaidah agama.
C. MANAJEMEN KONFLIK
1.
Penyelesaian konflik antara dua kubu yang
bertikai, menuntut kedua belah pihak mampu memahami tidak hanya sudut pandang
pihak lain, tetapi juga kebutuhan dan ketaatan mereka. Inilah
rasa empati yang menurut pengamatan Kelman, membuat kedua belah pihak: “lebih
mampu mempengaruhi pihak lain demi keuntungan mereka sendiri dengan tanggap
terhadap kebutuhan-kebutuhan dengan pihak lain, dengan kata lain :
mencari jalan agar kedua belah pihak dapat sama-sama menang (win-win solution).
2.
Upaya yang dilakukan : merundingkan dan
menyelesaikan ketidaksepakatan (pertikaian) dengan :
a.
Menangani pihak-pihak yang sulit dan situasi
tegang dengan diplomasi dan taktik.
b.
Menidentifikasi hal-hal yang menjadi potensi
konflik, menyelesaikan perbedaan pendapat secar terbuka, dan membantu
mendinginkan situasi.
c.
Menganjurkan debat, diskusi dan dialog secara
terbuka.
d.
Mengantar ke solusi menang-menang.
Kunci keberhasilan
mengelola konflik ini, sangat tergantung kepada niat baik dan partisispasi
pihak-pihak yang berselisih. Partisipasi itu berupa kesediaan mendengarkan dan
berbicara secara terbuka. James K.Van Fleet, menafsirkan dalam bukunya : “Conversational
Power The Key to Success With People”, 1996 dengan salah satu bagian
karyanya : “KEPALA TIDAK MENDENGAR SEBELUM HATI MEMASANG TELINGA”.
V.
P E N U T U P
Muara dari segala upaya
damai adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang madani, maju dan mandiri
(civil society). Dengan kondisi damai yang diprakarsai oleh kesadaran semua
pihak (negarawan, politisi, pengusaha, penguasa, warga masyarakat dengan status
apapun) akan menciptakan keadaan dan perasaan aman, nyaman, tenteram, tanpa
perselisihan fisik. Dengan demikian segenap potensi bangsa dapat menjalankan
tugas dan fungsinya secara optimal. Hasil akhir upaya ini berpengaruh bagi terwujudnya : “INDONESIA
SEJAHTERA”.
Demikian pokok-pokok
upaya mencapai Indonesia Damai, “sudah barang tentu diperlukan perencanaan
operasional kampanye Indonesia Damai”, dengan strategi, pendekatan, kebijakan,
sosialisasi upaya penggalangan kesepakatan serta program aksi melalui media
komunikasi yang tepat dengan dukungan dana dan partisipasi masyarakat luas.
Semoga Indonesia Damai Sejahtera.
Makassar, 28 Desember 2011
Alamat :
Ratulangi, Gank 1 Sudianto Aditya (ijho)
Makassar Pemerhati Komunikasi Publik
E-mail :
ijho_anto@yahoo.co.id Dan Irama Kehidupan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar