Indonesia termasuk negeri dengan
kekayaan sumber daya alam terbesar di dunia, mulai dari kekayaan laut, hutan,
sampai tambang mineral. Namun, rakyatnya masih banyak yang miskin.
Ekonom Anne Booth menyebut Indonesia
mengidap ”a history of missed opportunities” (Booth, 1998).
Pernyataan tersebut memberi cermin
sekaligus tamparan bahwa Indonesia dipenuhi sejarah ketidakberuntungan dalam
menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi dirinya sendiri. Harapan atas
hidup berkeadilan, cukup kebutuhan dasar, sampai rasa kebanggaan sebagai negeri
yang besar di hadapan bangsa lain sering pupus.
Ketidakberuntungan ini tentu saja
bukan karena sudah digariskan. Ada sebab-sebab fundamental yang bisa dilacak
dari bagaimana kekuasaan menjalankan titah pembangunan dari rakyat karena pada
dasarnya pembangunan nasional adalah usaha kekuasaan.
Usaha kekuasaan
Kekuasaan dalam sistem demokrasi
direpresentasikan oleh trias politika; lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Dengan demikian, para politisi DPR, presiden dan jajaran kabinetnya,
serta lembaga-lembaga penegak hukum merupakan lembaga- lembaga negara yang
menjalankan usaha kekuasaan. Jika lembaga kekuasaan bekerja secara ideal dan
patuh pada konstitusi negara, seharusnya pembangunan mampu membawa rakyat pada
kemakmuran dan kesejahteraan.
Kerja ideal bisa dibayangkan dalam
bentuk aktivitas konstruktif oleh mereka yang dititahi kekuasaan oleh rakyat.
Para politisi di Senayan aktif melegislasi perundangan yang melindungi hajat
hidup rakyat. Presiden dan kabinetnya menciptakan dan melaksanakan kebijakan
pembangunan yang konsisten dan independen. Serta para pemimpin lembaga- lembaga
hukum konsisten menegakkan peraturan.
Namun, usaha kekuasaan dengan kerja
ideal belum tercapai. Lebih dari 11 juta anak putus sekolah bahkan para
politisi Senayan sibuk menghabiskan uang negara untuk studi banding yang tak
penting. Mereka juga lebih mementingkan diri sendiri dengan rencana gedung baru
DPR yang mewah daripada merekomendasikan jumlah dana yang sama, Rp 1,6 triliun,
untuk meningkatkan kesehatan para ibu hamil yang miskin.
Di kelembagaan hukum pun, seperti
kepolisian dan kejaksaan, tidak jauh beda. Banyak pemimpinnya yang lebih suka
bekerja sama dengan mafia hukum untuk membajak sistem hukum.
Sementara itu, kabinet Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sampai detik ini belum menunjukkan improvisasi kinerja
kekuasaan. Sektor pertanian lesu, infrastruktur tak kunjung membaik, ibu kota
Jakarta selalu banjir, pelayanan kesehatan masih saja buruk, bahkan olahraga
nasional pun melempem.
Membersihkan parasit
Menggunakan cara pandang sosiologi
humanis (Scimecca, 2007), kerja ideal dan optimal lembaga-lembaga kekuasaan
dipengaruhi oleh interaksi konstruktif para elite di dalamnya dengan konstitusi
negara sebagai sistem. Artinya, para elite kekuasaan (seharusnya) rajin
mereproduksi tindakan yang secara sadar didedikasikan untuk mengoptimalkan
nilai dan tujuan dalam konstitusi negara. Namun, dalam dunia sosial, interaksi
konstruktif individu dan sistem tidak selalu bisa diciptakan. Selalu ada saja
yang mencari keuntungan sendiri dalam setiap aksi yang mereka bangun.
Individu yang mencari keuntungan
semata dari sistem yang ada adalah parasit yang tidak memberi kebaikan. Ia
hanya mengisap dan mencuri sehingga yang terjadi adalah interaksi destruktif
terhadap sistem dan kepentingan umum. Begitu juga interaksi elite kekuasaan
dengan konstitusi yang tidak bersih dari parasit.
Parasit dalam kekuasaan demokrasi
tampaknya merata di semua lembaga trias politika Indonesia. Mereka ada di
Senayan, di lembaga hukum, di tubuh birokrasi, dan bukan tidak mungkin di dalam
kabinet. Parasit kekuasaan tidak pernah bersedia membangun interaksi
konstruktif dengan konstitusi negara. Perilaku dan kebijakan mereka sama sekali
tidak mencerminkan filosofi dasar tentang cita-cita kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
Parasit kekuasaan beraksi mencuri
uang negara, menciptakan kebijakan-kebijakan yang tidak membela rakyat miskin,
dan bermalas-malasan kerja sambil hidup mewah dengan biaya pajak rakyat.
Pantaslah jika kekuasaan demokrasi Indonesia hingga kini tidak pernah bisa
bekerja ideal.
Golongan parasit dalam kekuasaan
demokrasi harus dibersihkan. Pencetusan ”reformasi gelombang II” oleh Presiden
dalam Pidato Hari Kemerdekaan harus dimaknai sebagai gerakan membersihkan
parasit dari kekuasaan demokrasi. Presiden melalui wewenangnya tidak boleh
lembek dan kompromis, tetapi melalui wewenang eksekutifnya ia bisa membersihkan
parasit.
Demikian pula politisi Senayan yang
jujur dan konsisten pada konstitusi tidak boleh gentar berkonflik dengan
politisi parasit. Selesaikan skandal-skandal kekuasaan yang merugikan cita-
cita konstitusi dan legislasi perundangan pro-perlindungan rakyat miskin, dari
buruh, tani, hingga perempuan.
Jika parasit pembangunan pada
kekuasaan demokrasi telah dibersihkan, bisa dipastikan bangsa ini akan keluar
dari ”a history of missed opportunities”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar