Selasa, 27 Desember 2011

Parasit Pembangunan



Indonesia termasuk negeri dengan kekayaan sumber daya alam terbesar di dunia, mulai dari kekayaan laut, hutan, sampai tambang mineral. Namun, rakyatnya masih banyak yang miskin.
Ekonom Anne Booth menyebut Indonesia mengidap ”a history of missed opportunities” (Booth, 1998).
Pernyataan tersebut memberi cermin sekaligus tamparan bahwa Indonesia dipenuhi sejarah ketidakberuntungan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi dirinya sendiri. Harapan atas hidup berkeadilan, cukup kebutuhan dasar, sampai rasa kebanggaan sebagai negeri yang besar di hadapan bangsa lain sering pupus.
Ketidakberuntungan ini tentu saja bukan karena sudah digariskan. Ada sebab-sebab fundamental yang bisa dilacak dari bagaimana kekuasaan menjalankan titah pembangunan dari rakyat karena pada dasarnya pembangunan nasional adalah usaha kekuasaan.
Usaha kekuasaan
Kekuasaan dalam sistem demokrasi direpresentasikan oleh trias politika; lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan demikian, para politisi DPR, presiden dan jajaran kabinetnya, serta lembaga-lembaga penegak hukum merupakan lembaga- lembaga negara yang menjalankan usaha kekuasaan. Jika lembaga kekuasaan bekerja secara ideal dan patuh pada konstitusi negara, seharusnya pembangunan mampu membawa rakyat pada kemakmuran dan kesejahteraan.
Kerja ideal bisa dibayangkan dalam bentuk aktivitas konstruktif oleh mereka yang dititahi kekuasaan oleh rakyat. Para politisi di Senayan aktif melegislasi perundangan yang melindungi hajat hidup rakyat. Presiden dan kabinetnya menciptakan dan melaksanakan kebijakan pembangunan yang konsisten dan independen. Serta para pemimpin lembaga- lembaga hukum konsisten menegakkan peraturan.
Namun, usaha kekuasaan dengan kerja ideal belum tercapai. Lebih dari 11 juta anak putus sekolah bahkan para politisi Senayan sibuk menghabiskan uang negara untuk studi banding yang tak penting. Mereka juga lebih mementingkan diri sendiri dengan rencana gedung baru DPR yang mewah daripada merekomendasikan jumlah dana yang sama, Rp 1,6 triliun, untuk meningkatkan kesehatan para ibu hamil yang miskin.
Di kelembagaan hukum pun, seperti kepolisian dan kejaksaan, tidak jauh beda. Banyak pemimpinnya yang lebih suka bekerja sama dengan mafia hukum untuk membajak sistem hukum.
Sementara itu, kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai detik ini belum menunjukkan improvisasi kinerja kekuasaan. Sektor pertanian lesu, infrastruktur tak kunjung membaik, ibu kota Jakarta selalu banjir, pelayanan kesehatan masih saja buruk, bahkan olahraga nasional pun melempem.
Membersihkan parasit
Menggunakan cara pandang sosiologi humanis (Scimecca, 2007), kerja ideal dan optimal lembaga-lembaga kekuasaan dipengaruhi oleh interaksi konstruktif para elite di dalamnya dengan konstitusi negara sebagai sistem. Artinya, para elite kekuasaan (seharusnya) rajin mereproduksi tindakan yang secara sadar didedikasikan untuk mengoptimalkan nilai dan tujuan dalam konstitusi negara. Namun, dalam dunia sosial, interaksi konstruktif individu dan sistem tidak selalu bisa diciptakan. Selalu ada saja yang mencari keuntungan sendiri dalam setiap aksi yang mereka bangun.
Individu yang mencari keuntungan semata dari sistem yang ada adalah parasit yang tidak memberi kebaikan. Ia hanya mengisap dan mencuri sehingga yang terjadi adalah interaksi destruktif terhadap sistem dan kepentingan umum. Begitu juga interaksi elite kekuasaan dengan konstitusi yang tidak bersih dari parasit.
Parasit dalam kekuasaan demokrasi tampaknya merata di semua lembaga trias politika Indonesia. Mereka ada di Senayan, di lembaga hukum, di tubuh birokrasi, dan bukan tidak mungkin di dalam kabinet. Parasit kekuasaan tidak pernah bersedia membangun interaksi konstruktif dengan konstitusi negara. Perilaku dan kebijakan mereka sama sekali tidak mencerminkan filosofi dasar tentang cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Parasit kekuasaan beraksi mencuri uang negara, menciptakan kebijakan-kebijakan yang tidak membela rakyat miskin, dan bermalas-malasan kerja sambil hidup mewah dengan biaya pajak rakyat. Pantaslah jika kekuasaan demokrasi Indonesia hingga kini tidak pernah bisa bekerja ideal.
Golongan parasit dalam kekuasaan demokrasi harus dibersihkan. Pencetusan ”reformasi gelombang II” oleh Presiden dalam Pidato Hari Kemerdekaan harus dimaknai sebagai gerakan membersihkan parasit dari kekuasaan demokrasi. Presiden melalui wewenangnya tidak boleh lembek dan kompromis, tetapi melalui wewenang eksekutifnya ia bisa membersihkan parasit.
Demikian pula politisi Senayan yang jujur dan konsisten pada konstitusi tidak boleh gentar berkonflik dengan politisi parasit. Selesaikan skandal-skandal kekuasaan yang merugikan cita- cita konstitusi dan legislasi perundangan pro-perlindungan rakyat miskin, dari buruh, tani, hingga perempuan.
Jika parasit pembangunan pada kekuasaan demokrasi telah dibersihkan, bisa dipastikan bangsa ini akan keluar dari ”a history of missed opportunities”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar