Di
penghujung abad lalu, Indonesia
mengalami perubahan yang amat besar yaitu proses reformasi ekonomi dan
demokratisasi dalam bidang politik. Seluruh sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara turut berubah dengan adanya reformasi dan demokratisasi tersebut,
sehingga UUD 1945 yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia juga
mengalami amandemen. Tidak begitu lama kemudian, tepatnya pada tahun 2000, para
pemimpin dunia bertemu di New York
dan menandatangani “Deklarasi Milennium” yang berisi komitmen untuk mempercepat
pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Hal ini menjadi dasar dari
tersusunnya pencapaian tingkat kesejahteraan umat manusia pada seribu tahun
yang akan datang. Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan
target yang dikenal sebagai Millennium
Development Goals (MDGs). Pencapaian sasaran MDGs menjadi salah satu
prioritas utama bangsa Indonesia.
Pencapaian tujuan dan target tersebut bukanlah semata-mata tugas pemerintah
tetapi merupakan tugas seluruh komponen bangsa. Sehingga, pencapaian tujuan dan
target MDGs harus menjadi pembahasan seluruh masyarakat. Untuk membantu
terlaksananya proses ini, artikel pencapaian MDGs versi pendek ini ditulis agar
dapat dipahami secara lebih mudah. Meskipun pendek dan hanya menyentuh secara
singkat tujuan dan target MDGs, diharapkan para pembaca dan khususnya pejabat
pemerintah daerah dapat lebih mampu berperan serta mampu mendapatkan gambaran mengenai tantangan yang
dihadapi Indonesia
dalam sasaran MDGs. Diharapkan, artikel ini dapat membantu dalam memperkuat komitmen dan menentukan
prioritas di antara seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja bersama mencapai
MDGs, baik di tingkat lokal maupun nasional .
PENDAHULUAN
Di
negara yang sangat luas dan beragam seperti Indonesia, pengumpulan data merupakan
pekerjaan yang sulit dilakukan. Meskipun data yang ditampilkan dalam artikel
ini dapat menggambarkan pencapaian di tingkat nasional, dan dalam beberapa
aspek mencapai juga di tingkat provinsi, namun belum menggambarkan capaian pada
tingkat kabupaten. Padahal, banyak dari keputusan terpenting yang dapat
mempengaruhi kemajuan pencapaian MDGs diambil pada tingkat kabupaten. Karena
itu, artikel ini diharapkan bisa membantu memperkenalkan latar belakang MDGs
kepada pembaca yang lebih luas, terutama para pengambil keputusan di tingkat
daerah.
Untuk
beberapa tujuan, di antaranya kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan
perlindungan terhadap lingkungan, Indonesia bersama negara-negara
lainnya, menetapkan target-target yang ambisius tetapi sangat mungkin untuk dicapai.
Kebanyakan dari target tersebut mesti dicapai pada 2015. Oleh karena itu, tahun
2010 menjadi penting, karena tahun ini adalah pertengahan dari target 2015.
Melihat pencapaian sampai saat ini, Indonesia sepatutnya berbangga
hati.
Pemerintah
telah berusaha mengurangi kemiskinan, dan hampir semua anak laki-laki dan
perempuan dapat masuk ke sekolah dasar. Namun, masih menuntut kerja keras dalam
bidang yang lain. Tingginya angka kematian ibu melahirkan dan belum cukupnya
usaha untuk melindungi lingkungan merupakan pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan secara sungguh-sungguh. Walaupun sudah mencapai banyak kemajuan
tetapi masih diperlukan kerja keras untuk mencapai semua sasaran MDGs.
Millenium
Development Goals (MDGs) atau tujuan pembangunan milenium
adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen
bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan
pembangunan, yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan
dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,
menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi
penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian
lingkungan hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan.
Sebagai salah satu
anggota PBB, Indonesia
memiliki dan ikut melaksanakan komitmen tersebut dalam upaya untuk
mensejahterakan masyarakat. Pemerintah Daerah sebagai bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga ikut serta mendukung komitmen
pemerintah tersebut, dengan melaksanakan program dan kegiatan yang bertujuan
untuk mencapai target MDG’s.
Penanggulangan
kemiskinan di Pemerintah Daerah (Pemda) selaras dengan “Grand Strategy” dilaksanakan melalui 5 (lima) pilar yaitu :
1. Perluasan
kesempatan, ditujukan menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan
sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan dalam
pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan.
2. Pemberdayaan
masyarakat, dilakukan untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi,
dan budaya masyarakat dan memperluas partisipasi masyarakat miskin dalam
pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin kehormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak-hak dasar.
3. Peningkatan
kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha
masyarakat miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan.
4. Perlindungan
sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok
rentan (perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak
terlantar, kemampuan berbeda (penyandang cacat) dan masyarakat miskin, baik
laki-laki maupun perempuan, yang disebabkan antara lain oleh bencana alam,
dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial.
5. Kemitraan
regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan kerjasama
lokal, regional, nasional dan internasional guna mendukung pelaksanaan keempat
strategi di atas.
Strategi penanggulangan
kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan masyarakat,
peningkatan kapasitas kelembagaan, perlindungan sosial serta kemitraan regional
dan antar daerah telah menjadi agenda dan prioritas utama pembangunan serta
telah dilaksanakan dalam kurun waktu yang panjang.
Pembangunan bidang
pendidikan di daerah selama ini telah dilakukan melalui upaya pengembangan dan
relevansi pendidikan sesuai dengan tuntutan perkembangan Ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) dan kebutuhan pasar kerja, dengan memerhatikan sistem
pendidikan nasional yang berjalan dan juga sasaran komitmen-komitmen internasional
di bidang pendidikan seperti Sasaran Pembangunan Milenium (MDG’s).
Angka kematian bayi
mendapat perhatian secara khusus melalui berbagai program dan kegiatan untuk
menekan terjadinya gizi buruk pada balita, beberapa indikator keberhasilan
bidang kesehatan ditunjukkan dengan indikator mortalitas yaitu Angka Kematian
Bayi (AKB).
Sedangkan meningkatnya
angka kesehatan ibu ditandai dengan semakin turunnya angka kematian ibu karena
proses persalinan serta masih tetap dilaksanakannya program keluarga berencana,
hal tersebut tercermin dengan menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI).
Berbagai upaya untuk
memerangi merebaknya HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya terus dilaksanakan,
antara lain dengan mengoptimalkan peran dan fungsi Komisi Penanggulangan AIDS
(KPA) dengan mengintegrasikan lintas sektor dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Peduli AIDS, mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS
(ODHA), mempercepat pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pada kelompok resiko
tertular, ibu dan anak, memudahkan ODHA untuk memperoleh obat Anti Retroviral
(ARV) melalui pelayanan di Klinik Voluntary
Counseling and Testing (VCT) dan perawatan, dukungan serta pengobatan (Care, Support and Treatment), baik di rumah
sakit maupun di komunitas.
Kerjasama sinergis pengelolaan
potensi merupakan tantangan pembangunan perwilayahan ke depan yang secara
konsisten terus dilaksanakan, hal tersebut mengingat semakin terbatasnya sumber
daya alam dan adanya arus perdagangan bebas yang semakin kuat sehingga kawasan
strategis perlu didorong dan diperkuat eksistensinya.
PEMBAHASAN
Posisi Eksisting Status Pencapaian
MDGs Indonesia
INDIKATOR
|
1990
|
SAAT INI
|
TARGET
|
STATUS
|
TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN
|
Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya Proporsi Penduduk dengan
Tingkat Pendapatan Kurang dari US$ 1 perhari
|
1
|
Kemiskinan (1$ per-hari)
|
20,6%
|
7,5%
|
10%
|
Telah tercapai
|
☻
|
1.1a
|
Kemiskinan (Nasional)
|
15,1
%
|
15,4%
|
7,5%
|
Perlu kerja
keras
|
▼
|
1.1b
|
Kemiskinan (2$ per-hari)
|
|
49,0%
|
|
Tinggi
|
|
1.2
|
Indeks kedalaman kemiskinan
|
2,7%
|
2,77%
|
|
Stagnan
|
|
1.2a
|
Indeks keparahan kemiskinan
|
|
0,76%
|
|
Stagnan
|
|
1.3
|
Proporsi konsumsi penduduk termiskin
|
9,3%
|
9,7%
|
|
Stagnan
|
|
Target 1B: Meneydiakan seutuhnya Pekerjaan yang produktif dan layak,
terutama untuk perempuan dan kaum muda
|
1.4
|
Pertumbuhan PDB per proporsi jumlah pekerja
|
|
4,3%
|
|
|
|
1.5
|
Rasio pekerja terhadap populasi
|
|
67,3%
|
|
|
|
1.6
|
Proporsi pekerja yang hidup dengan kurang dari $1
per-hari
|
|
8,2%
|
|
|
|
1.7
|
Proporsi Pekerja yang memiliki rekening pribadi
dan anggota keluarga bekerja terhadap jumlah pekerja total
|
|
62%
|
|
Perlu kerja keras
|
|
Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya Proporsi Penduduk yang
Menderita Kelaparan
|
1.8
|
Malnutrisi Anak
|
35,5%
|
28,7%
|
18%
|
Perlu kerja keras
|
|
1.9
|
Kecukupan konsumsi kalori
|
9%
|
6%
|
5%
|
Sesuai Target
|
▼
|
TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA
|
Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak dimanapun, laki-laki maupun
perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar
|
2.1
|
Partisipasi ditingkat SD (APM)
|
88,7%
|
94,7%
|
100%
|
Sesuai Target
|
►
|
2.1a
|
Partisipasi ditingkat SMP (APM)
|
41,9%
|
66,5%
|
100%
|
Sesuai Target
|
►
|
2.2
|
Proporsi Murid yang bersekolah hingga kelas 5
|
75,6%
|
75,6%
|
100%
|
Sesuai Target
|
►
|
2.2a
|
Proporsi Murid yang tamat SD
|
62,0%
|
74,7%
|
100%
|
Sesuai Target
|
►
|
2.3
|
Melek Huruf Usia 15-24
|
96,6%
|
99,4%
|
100%
|
Sesuai Target
|
►
|
TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
|
Target 3A: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan
dasar dan lanjutan tahun 2005, dan disemua jenjang sebelum 2015
|
3.1a
|
Rasio Anak perempuan di Sekolah Dasar
|
100,6%
|
100,0%
|
100%
|
Telah tercapai
|
☻
|
3.1b
|
Rasio Anak perempuan di Sekolah Menengah Pertama
|
101,3%
|
99,4%
|
100%
|
Sesuai Target
|
►
|
3.1c
|
Rasio Anak perempuan di Sekolah Menengah Atas
|
98,0%
|
100,0%
|
100%
|
Telah tercapai
|
☻
|
3.1d
|
Rasio Anak perempuan di Perguruan Tinggi
|
85,1%
|
102,5%
|
102,5%
|
Telah tercapai
|
☻
|
3.2
|
Rasio melek huruf Perempuan usia 15-24 Thn
|
97,9%
|
99,9%
|
100%
|
Sesuai Target
|
►
|
3.2
|
Kontribusi Perempuan dalam Pekerjaan Upahan
|
29,2%
|
33%
|
50%
|
Perlu kerja keras
|
▼
|
3.3
|
Perempuan di DPR
|
12,5%
|
12,5%
|
|
|
|
TUJUAN 4: MENGURANGI KEMATIAN ANAK
|
Target 4.A: Menurunkan Angka Kematian Balita sebesar dua-per-tiganya
antara 1990 dan 2015
|
4.1
|
Tingkat Kematian Anak (1-5 tahun)/per 1,000
|
81
|
44
|
44
|
Sesuai Target
|
|
4.2
|
Tingkat Kematian Bayi (per 1,000)
|
57
|
57
|
19
|
Sesuai Target
|
|
4.3
|
Tingkat Imunisasi Campak - Usia 12 Bulan
|
44,5%
|
44,5%
|
|
|
|
4.3a
|
Tingkat Imunisasi Campak - Usia 12 - 23 Bulan
|
57,5%
|
76,4%
|
|
|
|
TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU
|
Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu sebesar tiga-per-empatnya
antara 1990 dan 2015
|
5.1
|
Tingkat Kematian Ibu (Per 100.000)
|
390
|
307
|
307
|
Perlu Kerja keras
|
▼
|
5.2
|
Kelahiran yang dibantu tenaga terlatih
|
40,7%
|
40,7%
|
|
|
|
INDIKATOR
|
1990
|
SAAT INI
|
TARGET
|
STATUS
|
Target 5B: Mencapai dan menyediakan akses kesehatan reproduksi untuk
semua pada 2015
|
5.3
|
Wanita menikah usia 15-49 yang menggunakan Alat
KB
|
50,5%
|
61,0%
|
|
|
|
5.4
|
Tingkat Kelahiran Usia Muda (per 1000 perempuan
usia 15-19)
|
|
|
|
|
|
|
setidaknya satu kali berkunjung ke fasilitas
kesehatan
|
|
93,3%
|
|
|
|
|
setidaknya empat kali berkunjung ke fasilitas
kesehatan
|
|
|
|
|
|
5.6
|
Kebutuhan KB yang tidak terpenuhi
|
|
9,1%
|
|
|
|
TUJUAN 6: MEMERANGI HIV/AIDS DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA
|
Target 6A: Mengendalikan Penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunkan
kasus baru pada 2015
|
6.1
|
Prevalensi HIV dan AIDS (per 100.000)
|
|
5,6
|
Melawan
penyebaran
|
Perlu Kerja keras
|
▼
|
6.2
|
Penggunaan Kondom pada Hubungan Seks Resiko
Tinggi
|
|
59,7%
|
|
|
|
6.2a
|
Penggunaan Kondom sebagai alat Kontrasepsi
|
1,3%
|
1,3%
|
|
|
|
6.3a
|
Persentase Populasi usia 12-24 Tahun yang
memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS
|
|
|
|
|
|
|
Laki-laki
|
|
67,3%
|
|
|
|
|
Perempuan
|
|
66,0%
|
|
|
|
6.4
|
Rasio murid yatim
dan/atau piatu terhadap non yatim/piatu berusia 10-14 tahun
|
|
|
|
|
|
Target 6B: Terseianya akses universal untuk perawatn terhadap HIV/AIDS
bagi yang memerlukan, pada 2010
|
6.5
|
Proporsi populasi dengan tingkat penyebaran HIV
tinggi terhadap akses dengan obat antiretroviral
|
|
|
|
|
▼
|
Target 6C: Mengendalikan Penyakit Malaria dan muali menurunnya kasus
Malria dan Penyakit lainnya tahun 2015
|
6.6
|
Kasus Malaria (Per 1,000)
|
8,5
|
|
|
|
|
6.6a
|
Jawa dan Bali
(Per 1,000)
|
28,06
|
18,9
|
|
|
|
6.6b
|
Luar Jawa dan Bali
(Per 1,000)
|
0,21
|
0,15
|
|
|
|
6.9
|
Prevalensi TBC (Per 100,000)
|
786
|
262
|
|
|
|
6.10a
|
Angka Penemuan Kasus
|
|
76%
|
|
|
|
6.10b
|
Kesembuhan dengan DOTS
|
90%
|
91%
|
|
|
|
TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
|
Target 7A: Memadukan Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan
kebijakan program nasional serta mengembalikan sumberdaya yang hilang
|
Target 7B: Mengurangi laju hilangnya keragaman hayati, dan mencapai
pengurangan yang signi[1]kan pada 2010
|
7.1
|
Kawasan tertutup hutan
|
60,0%
|
49,9%
|
|
|
|
7.2
|
Emisi CO2
|
2.536
kg/kapita
|
1.34 metric ton/ Kapita
|
Mengurangi
|
|
|
|
Rasio Penggunaan Energi terhadap PDB
|
1,5
|
95,3 kg minyak -eq/ 1,000 $
|
|
|
|
7.3
|
Konsumsi CFC - Pengurangan Ozon
|
7.815
|
6.544
|
Mengurangi
|
|
|
7.4
|
Proporsi Persediaan Ikan dalam batasan biologis
yang aman
|
|
|
|
|
|
7.5
|
Proporsi dari Sumberdaya Perairan yang digunakan
|
|
|
|
|
|
7.6a
|
Kawasan Perlindungan Daratan
|
26,4%
|
29,5%
|
|
|
|
7.6b
|
Kawasan Perlindungan Laut
|
|
11%
|
|
|
|
7.7
|
Proporsi jumlah spesies yang terancam punah
|
|
|
|
|
|
Target 7C: Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses
terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas
sanitasi dasar pada 2015
|
7.8
|
Proporsi Penduduk terhadap Air Bersih
|
38,2%
|
57,2%
|
67%
|
Sesuai Target
|
►
|
7.8a
|
Air Minum Perpipaan Kota
|
|
30,8%
|
67,7%
|
Perlu usaha keras
|
▼
|
7.8b
|
Air Minum Perpipaan Desa
|
|
9,0%
|
52,8%
|
Perlu usaha keras
|
▼
|
7.8c
|
Sumber Air terlindungi - Perkotaan
|
|
87,6%
|
76,1%
|
Telah tercapai
|
☻
|
7.8d
|
Sumber Air terlindungi - Perdesaan
|
|
52,1%
|
65,5%
|
Sesuai Target
|
►
|
7.9
|
Sanitasi yang baik
|
30,9%
|
69,3%
|
65,5%
|
Telah tercapai
|
☻
|
7.9a
|
Rumah Tangga di Perkotaan
|
|
81,8%
|
78,8%
|
Telah tercapai
|
☻
|
7.9b
|
Rumah Tangga di Perdesaan
|
|
60,0%
|
59,6%
|
Telah tercapai
|
☻
|
INDIKATOR
|
1990
|
SAAT INI
|
TARGET
|
STATUS
|
Target 7D: Memperbaiki kehidupan penduduk miskin yang hidup di
pemukiman kumuh pada 2020
|
7.10
|
Proporsi Masyarakat Urban yang tinggal di kawasan
Kumuh
|
|
|
|
|
|
7.10a
|
Proporsi kepastian kepemilikan lahan
|
87,7%
|
84,0%
|
|
Sesuai Target
|
►
|
TUJUAN 8 – MENGEMBANGKAN KEMITRAAN GLOBAL
|
Target 8A. Mengembagnkan sistem perdanganan dan keuangan yang terbuka,
berdasar pada peraturan, dapat diperkirakan dan non-diskriminatif - termasuk
komitmen terhadap sistem pemerintahan yang baik, dan penanggulangan
kemiskinan - ditingkat nasional dan internasional
|
Target 8D. Penanggulangan Masalah pinjaman luar negeri melalui upaya
nasional maupun internasional dala rangka pengelolaan utang luar negeri yang
berkelanjutan dan berjangka panjang
|
8.1a
|
Rasio Eskpor-Impor dengan PDB
|
|
44,4%
|
|
|
|
8.1b
|
Rasio Kredit dan Tabungan Bank Umum
|
|
61,6%
|
|
|
|
8.1c
|
Rasio Kredit dan Tabungan Bank Perkreditan Rakyat
|
|
87,4%
|
|
|
|
8.12
|
Rasio Pinjaman Luar Negeri terhadap PDB
|
|
44,9%
|
|
|
|
8.12a
|
Rasio Utang terhadap Anggaran Belanja
|
|
26%
|
|
|
|
Target 8F. Bekerjasama dengan sektor swasta dalam memanfaatkan
teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi
|
8.14
|
Rumah tangga yang memiliki telepon
|
|
11,2%
|
|
|
|
8.15
|
Rumah tangga yang memiliki telpon seluler
|
|
24,6%
|
|
|
|
8.16a
|
Rumah tangga yang memiliki komputer
|
|
4,4%
|
|
|
|
8.16b
|
Rumah tangga yang memiliki akses internet
|
|
4,2%
|
|
|
|
Catatan:
1. Keterangan mengenai status pencapaian
hanya diberikan pada indikator-indikator yang memiliki target terukur secara
kuantitatif. Untuk indikator yang tidak memiliki target tersebut, catatan
khusus diberikan untuk menggambarkan kemajuannya.
2. Bayangan menunjukkan indikator
pendukung khas yang digunakan Indonesia
untuk melihat perkembangan secara lebih terperinci indikator utama.
3. Untuk menggantikan ketiadaan data
tahun 1990 untuk beberapa indikator, digunakan data dari tahun yang terdekat.
4.
Penomoran indikator mengacu pada penomoran untuk indikator global.
Pengertian MDGs
Sebuah keluarga pastilah
menginginkan masa depan yang sehat dan bahagia, juga pendidikan bermutu bagi
anak-anaknya. Selain itu, sebuah keluarga tentu saja berharap mampu menyediakan
sandang dan pangan berkecukupan serta memiliki rumah idaman. Seseorang
dipastikan mendambakan kebebasan, yaitu hidup dalam sebuah negeri bernama Indonesia yang
demokratis, di mana kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan mengatur
kehidupan, dijamin oleh undang-undang.
Menggembirakan
bahwa saat ini semakin banyak orang Indonesia menjadi lebih makmur, dibandingkan
dengan sekitar 60 tahun lalu ketika republik ini didirikan. Bangsa Indonesia telah
mengalami kemajuan pesat, menjadi lebih kaya dengan rata-rata penghasilan lima kali lipat penghasilan
saat itu.
Sebagian
dari kita memang lebih beruntung jika dibandingkan dengan yang lain. Namun,
saat ini, sudah lebih banyak orang yang menjadi semakin sejahtera. Bukan sekadar
dari ukuran penghasilan. Coba perhatikan berbagai kemajuan di kabupaten/kota, kini
tersedia lebih banyak jalan, sekolah, pusat kesehatan dan tempat-tempat hiburan
yang membuat sesuatu menjadi mudah.
Memang
tidak semuanya menjadi lebih baik. Terkadang, situasinya malah memburuk.
Mungkin saja seseorang kehilangan pekerjaan, anak jatuh sakit atau rumah yang
dilanda banjir. Situasi pun bisa berubah menjadi buruk bagi negara secara
keseluruhan. Sepuluh tahun lalu, misalnya, terjadi krisis moneter. Tiba-tiba
banyak yang jatuh miskin. Meskipun demikian, dalam menapaki periode panjang
sejak kemerdekaan, nampaknya Indonesia telah menuju arah yang tepat, terlihat
dengan capaian ‘pembangunan manusia’ berupa peningkatan penghasilan dan
perbaikan pendidikan. Orang Indonesia
saat inipun hidup lebih lama dan lebih sehat.
Sebenarnya,
Indonesia
sudah dikategorikan sebagai negara “berpenghasilan menengah”. Hal ini
dikarenakan penghasilan masyarakat Indonesia berdasarkan Gross National Index (GNI), yang dihitung dari nilai pasar total
dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu,
penghasilan per kapita Indonesia tahun 2007 adalah $ 1.650. Nilai ini setara
dengan Rp. 1.250.000 per bulan. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masuk
urutan ke 142 dari 209 negara di dunia (World
Bank GNI, 2008).
Akan
lebih baik kalau Indonesia
di urutan yang lebih tinggi. Namun, urutan tidak terlalu penting. Terkadang ada
negara yang berkembang cepat, sementara yang lain lebih lambat, yang perlu
dicermati adalah apa yang terjadi di Indonesia. Apakah semakin banyak
yang mampu membaca dan menulis? Atau, apakah semakin banyak anak yang
diimunisasi sehingga kebal campak, cacar air atau polio? Selanjutnya, apakah
rata-rata kita berumur lebih panjang?
Dibandingkan
dengan 60 tahun yang lalu, mereka yang lahir tahun 1960-an rata-rata hanya
punya harapan hidup 41 tahun. Namun, anak-anak yang lahir pada 2007, bisa
berharap untuk hidup sepanjang 68 tahun. Dulu, pada tahun 1960-an, hanya
sekitar 30% penduduk yang tidak memiliki keterampilan dasar baca tulis. Namun,
tentu saja masih banyak yang harus dilakukan. Jutaan penduduk masih hidup dalam
kemiskinan. Sekitar seperempat dari anak-anak Indonesia masih kekurangan gizi.
Juga, terlalu banyak sekolah di negara ini yang kekurangan buku, peralatan atau
guru yang kompeten. Indonesia
pun masih tetap sebuah negara berkembang dan masih butuh waktu untuk mencapai
standar yang telah dicapai banyak negara kaya.
Bagi
pemerintah, biasanya lebih mudah memperbaiki bidang pendidikan ketimbang
kesehatan. Kemajuan dalam bidang pendidikan umumnya dicapai berkat peran
sekolah. Sementara, untuk perbaikan di bidang kesehatan, diperlukan lebih dari
sekadar pelayanan yang efektif. Faktor lain, seperti apakah seseorang merokok,
atau apakah ia memiliki pola makan baik, berperan cukup signifikan. Meskipun
demikian, apapun bidangnya, sangat mungkin untuk menetapkan target dan
mengupayakan pencapaiannya. Misalnya, seseorang dapat menetapkan target bahwa
setiap orang bisa mendapatkan air minum yang bersih pada tahun tertentu. Begitu
pula dalam pemberantasan malaria, demam berdarah atau mengatasi banjir dan
kemacetan. Tentu saja, ada hal yang pencapaiannya memerlukan waktu lebih lama
dibandingkan yang lain.
Seseorang
dapat menetapkan target untuk komunitas, sekolah, atau Puskesmas di sekitarnya.
Begitu pula, pemerintah daerah dapat menetapkan target pembangunan pusat
kesehatan baru, atau ruang kelas sekolah. Pemerintah pusat juga dapat melakukan
hal yang sama. Sebenarnya, selama ini keduanya melakukan hal tersebut. Sebagai
contoh, ada target untuk mewujudkan pendidikan dasar 9 tahun pada 2009. Dan hal
yang sama juga terjadi di tingkat global, khususnya melalui kesepakatan
internasional. Sejak sekitar 20 tahun terakhir, telah banyak pertemuan
internasional di mana Indonesia
bergabung dengan negara-negara di dunia untuk menetapkan target global terkait
produksi pangan, “pendidikan untuk semua” serta pemberantasan penyakit seperti
malaria dan HIV/AIDS. Boleh jadi, seseorang belum pernah mendengarnya, tetapi
masih banyak target yang sepantasnya menjadi sasaran bersama masyarakat dunia.
Mungkin
seseorang merasa semua itu bukan urusannya. Sementara negara-negara anggota
PBB, termasuk Indonesia,
berupaya mengusung sekian banyak tujuan dan sasaran pembangunan yang belum
tersosialisasikan. Pada September 2000, para pemimpin dunia bertemu di New York mengumumkan
”Deklarasi Milenium” sebagai tekad untuk menciptakan lingkungan “yang kondusif
bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan”. Dalam rangka mewujudkan hal ini,
kemudian dirumuskan 8 (delapan) Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals).
Hanya
ada delapan tujuan umum, seperti kemiskinan, kesehatan, atau perbaikan posisi
perempuan. Namun, dalam setiap tujuan terkandung “target-target” yang spesifik
dan terukur. Terkait perbaikan posisi perempuan, misalnya, ditargetkan
kesetaraan jumlah anak perempuan dan laki-laki yang bersekolah. Begitu pula
berapa banyak perempuan yang bekerja atau yang duduk dalam parlemen. Delapan
tujuan umum tersebut, mencakup kemiskinan, pendidikan, kesetaraan gender, angka
kematian bayi, kesehatan ibu, beberapa penyakit (menular) utama, lingkungan
serta permasalahan global terkait perdagangan, bantuan dan utang. Jadi, pemerintah
sedang berupaya memberantas kemiskinan dan penyakit. Memang, rasanya tidak
mungkin tercapai. Namun, perlu pemerintah ketahui, bahwa semua target yang
ditetapkan cukup realistis. Memang ada tujuan jangka panjang untuk memberantas
kemiskinan sampai tuntas. Namun, tujuan MDGs hanya mematok target pengurangan
kemiskinan menjadi separuh. Sementara, untuk HIV/AIDS, tujuannya adalah meredam
persebaran epidemik. Sedangkan untuk pendidikan, targetnya lebih ambisius yaitu
memastikan bahwa 100% anak memperoleh pendidikan dasar 9 tahun.
Sebagian
besar ditargetkan pada 2015, dengan patokan tahun 1990. Sebagai contoh, di
Indonesia, proposi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada 1990
berjumlah sekitar 15,1%. Pada 2015, pemerintah harus mengurangi angka tersebut
menjadi separuh, yaitu 7,5%.
Terkait
kemiskinan, belum banyak kemajuan yang dicapai. Pada tahun 2008, angka kemiskinan
Indonesia
(15,4%) masih lebih tinggi dibandingkan tahun 1990. Jadi, dalam delapan tahun
ke depan, banyak yang harus pemerintah lakukan. Sementara, untuk beberapa
tujuan MDGs yang lain, pemerintah lebih berhasil. Sebagai contoh, angka
partisipasi anak di sekolah dasar, telah mencapai 94,7%. Namun, bila dicermati
lebih rinci seperti terbaca dalam uraian pada bagian berikut, kondisi
kemiskinan sebenarnya tidak seburuk angka yang ditampilkan. Sebaliknya, kondisi
pendidikan tidak sebaik yang terungkap dalam angka tadi.
Menurut
pemerintah, isu-isu yang diusung MDGs sangat penting, meskipun terkesan
sederhana karena terkonsentrasi pada hal-hal yang sifatnya kuantitatif. Sebagai
contoh, di sektor pendidikan, adalah baik bahwa 94,7% anak-anak terdaftar di sekolah
dasar. Namun, ketika sekolah mereka bocor, atau hanya memiliki buku dalam
jumlah yang terbatas serta guru-guru yang kurang kompeten, maka bersekolah
tidak akan membuat anak-anak mendapatkan pendidikan bermutu. Sayangnya, tujuan
pendidikan dalam MDGs tidak mengkaji aspek kualitas.
Mengukur
kualitas memang lebih sulit, meskipun tidak mustahil. Pemerintah mungkin bisa
menilai kualifikasi para guru, atau hasil-hasil ujian, tetapi sulit untuk
mengukur dan mendapatkan informasi tentang kualitas. Hal ini membawa pemerintah
ke masalah besar berikutnya. Di negara yang sangat besar dan beragam seperti Indonesia,
angka nasional saja tidak terlalu bermanfaat. Ambil contoh, usia harapan hidup
secara nasional adalah 68 tahun. Namun, bervariasi antara 73 tahun di Yogyakarta hingga 61 tahun di Nusa Tenggara Barat. Selain
itu, meskipun ada angka provinsi, belum juga mengungkapkan kondisi kabupaten.
Karena itu, secara keseluruhan, data-data MDGs memiliki keterbatasan.
Baiknya,
jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. MDGs bukan sekadar soal ukuran dan
angka-angka, tetapi lebih untuk mendorong tindakan nyata. Mencegah terjadinya
kematian ibu lebih penting daripada sekadar menghitung berapa banyak perempuan
meninggal sewaktu melahirkan. Yang penting tidak hanya menghitung berapa banyak
anak Indonesia
yang kekurangan gizi, tetapi juga memastikan bahwa semua anak memperoleh asupan
gizi yang cukup. Salah satu manfaat dari MDGs adalah berbagai persoalan yang
diusung menjadi perhatian berbagai pihak termasuk masyarakat secara luas.
Namun, laporan tentang kemajuan MDGs di tingkat kabupaten juga sangat
diperlukan.
Anggaplah
ini sebagai titik awal, yaitu cara untuk memperkenalkan berbagai masalah
tersebut secara umum, sehingga masyarakat di seluruh negeri yang luas ini dapat
mulai berpikir tentang penyelesaiannya. Sebuah laporan nasional juga bisa
dimasukkan ke dalam sistem internasional yang mencatat pencapaian-pencapaian
MDGs di seluruh dunia.
Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs)
Tujuan 1: Memberantas Kemiskinan
dan Kelaparan Ekstrem
Seandainya tidak ada orang miskin,
hampir semua masalah kita praktis terselesaikan. Tujuan pertama dalam MDGs
adalah mengurangi jumlah penduduk miskin. Tujuan pertama ini, memang merupakan
tujuan paling penting. Namun, jangan melihatnya sebagai hal yang terpisah dari
tujuan MDGs yang lain. Pada dasarnya, semua tujuan berkaitan satu sama lain.
Ada
berbagai cara untuk mengatasi kemiskinan secara langsung, misalnya menciptakan
lapangan kerja yang lebih baik, atau menyediakan jaring pengaman sosial bagi
penduduk termiskin. Namun, sebelumnya perlu mengetahui jumlah penduduk miskin
lebih dulu. Biro Pusat Statistik (BPS) menghitung berapa biaya 32 keperluan
dasar, mulai dari pakaian, rumah, hingga tiket bis. Pada 2008, misalnya, BPS
menyimpulkan bahwa untuk bisa membayar semua itu, seseorang memerlukan Rp.
182.636 per bulan. Jika pengeluaran Anda kurang dari jumlah tersebut, berarti Anda
berada di bawah “garis kemiskinan.” BPS melakukan survei sosial ekonomi
nasional (Susenas) terhadap sampel rumah tangga. Pada 2008, sekitar 35 juta
penduduk Indonesia
berada di bawah garis kemiskinan. Namun, itu merupakan jumlah nasional.
Situasinya berbeda-beda, dari satu daerah ke daerah lain. Hidup di perkotaan,
umumnya membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.
Tinggal
di sebuah kota
besar, seseorang juga punya kemungkinan untuk mendapat penghasilan lebih besar.
Untuk 2008, sebagai tahun paling akhir yang memiliki informasi per propinsi,
angka kemiskinan untuk Jakarta hanya sekitar 4,3%, tetapi di Papua angkanya
sekitar 37.1%. Selain itu, masih banyak variasi di setiap propinsi dan
kabupaten. Pada 2008, angka kemiskinan nasional adalah 15,4%, atau terdapat
hampir 35 juta penduduk miskin. Berdasarkan angka tersebut, artinya pencapaian
MDGs Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti. Untuk kemiskinan, target yang
dipatok adalah 7,5% berdasarkan separuh angka kemiskinan tahun 1990 yang
berjumlah 15,1%. Sebenarnya, kondisi saat ini bahkan lebih parah. Meski
angkanya cukup tinggi, tetapi kecenderungannya menurun. Menyusul krisis moneter
pada 1998, terjadi kenaikan tajam angka kemiskinan menjadi 24,2%. Sejak itu,
angka kemiskinan terus turun untuk kemudian naik pada 2006, kemungkinan akibat
melonjaknya harga-harga bahan makanan dan bahan bakar minyak.
Bukan
hal yang mudah untuk dilakukan. Pemerintah mungkin akan terhibur mengetahui
bahwa menggunakan ukuran kemiskinan yang lain, wajah Indonesia terlihat lebih baik.
Garis kemiskinan nasional yang dirumuskan oleh BPS didasarkan pada jenis pangan
yang dikonsumsi, serta berbagai produk lain yang biasanya dibeli masyarakat.
Namun, tentu saja, garis kemiskinan nasional ini mempersulit perbandingannya
dengan negara-negara lain.
Mungkin
saja pemerintah tidak merasa perlu membandingkan, tetapi ada saja yang
melakukannya. Mereka menggunakan ”garis kemiskinan internasional” yang
ditetapkan pada angka 1 dollar AS per hari. Pada pertengahan 2008, nilai
rata-rata satu dollar setara dengan sekitar Rp. 9.400. Dengan demikian, anda
mungkin mengira bahwa garis kemiskinan untuk Indonesia sekitar Rp. 288.000 per
bulan. Namun, di sini, ada dua kerumitan yaitu:
1. Pertama,
nilai dollar di sebuah negara bisa lebih tinggi dibandingkan nilainya di negara
lain. Menyewa rumah, misalnya, lebih murah di Bandung dibandingkan di New York. Selain itu, nilai dollar sendiri
berubah dari waktu ke waktu.
2. Kedua,
dalam kenyataannya, nilai dollar saat ini jauh berkurang dibandingkan nilainya beberapa
tahun lalu. Jadi jika Anda ingin menggunakan 1 dollar per hari sebagai patokan
angka kemiskinan, anda perlu mempertimbangkan dua hal tersebut.
Bank Dunia telah menjelaskan hal
tersebut. Jika ingin membuat orang lain terkesan, seseorang dapat mengatakan
bahwa ini adalah “garis kemiskinan 1 dollar per orang/hari, sebanding daya beli
dollar tahun 1993”. Jika tidak, seseorang cukup melihat hasilnya. Pada 2006,
disimpulkan bahwa garis kemiskinan 1 dollar per hari di Indonesia
setara dengan Rp. 97.000 per bulan, atau kurang dari separuh garis kemiskinan
nasional versi BPS. Berdasarkan angka kemiskinan sekitar 20,6% pada 1990 dan
7,5% pada 2006. Artinya, menggunakan garis kemiskinan ini Indonesia telah
mencapai sasaran MDGs – meskipun belum ada peningkatan.
Garis kemiskinan tersebut kurang pas
diterapkan pada kondisi Indonesia.
Karena yang ditunjukkan hanyalah apa yang terjadi pada penduduk termiskin. Hal
ini memang penting dan sangat menggembirakan bahwa pemerintah telah
mengentaskan kemiskinan ekstrem. Meskipun demikian, bagi Indonesia yang
dikategorikan PBB sebagai negara berpenghasilan menengah, garis kemiskinan yang
lebih pas mungkin 2 dollar per hari, atau sekitar Rp 195.000 per bulan.
Menggunakan ukuran ini, maka hampir separuh penduduk Indonesia masih berada di bawah
garis kemiskinan.
Ternyata, banyak dari kita masih
hidup di sekitar garis kemiskinan. Hanya perlu sedikit menaikkan garis tersebut
maka akan banyak orang yang berada di bawahnya dan tergolong miskin.
Sebenarnya, hal ini sangat rentan, misalnya ketika kehilangan pekerjaan atau
ketika harga hasil panen beranjak turun. Seseorang bisa tiba-tiba berada di
bawah garis kemiskinan akibat meningkatnya pengeluaran karena melonjaknya harga
bahan pokok, atau transportasi. Kenaikan tajam angka kemiskinan pada 1998,
misalnya, terjadi karena dua hal. Pertama, akibat banyak orang kehilangan
pekerjaan. Kedua, karena terjadi lonjakan harga beras. Semua itu, menimbulkan
“pergerakan”, ada yang jatuh miskin, lainnya terbebas dari kemiskinan. Artinya,
meskipun kemiskinan menunjukkan angka yang sama dari tahun ke tahun, angka itu
tidak mengacu pada orang-orang yang sama.
Karena yang dibahas disini hanyalah
“kemiskinan yang diukur dari penghasilan (income
poverty)”, sementara harga-harga bisa berubah secara tiba-tiba. Meskipun
miskin, boleh jadi seseorang tidak merasa sedang jatuh atau sebaliknya terbebas
dari kemiskinan dari waktu ke waktu. Lebih realistis, seseorang merasa miskin
karena banyak alasan selain pendapatan, misalnya rumah yang buruk dan kumuh,
kekurangan air bersih, pendidikan atau informasi. Itulah sebabnya kemiskinan
kadang-kadang disebut “memiliki banyak dimensi”.
Namun,
pemerintah juga perlu memikirkan tentang isu-isu lain ketika membahas
pengurangan kemiskinan akibat kurangnya penghasilan. Ketika menginginkan
generasi muda berpenghasilan lebih baik, pemerintah harus memberikan mereka
pendidikan yang lebih baik. Namun, pemerintah juga bisa langsung berpikir
tentang penghasilan masyarakat, dimulai dengan lapangan pekerjaan dan upah.
Secara keseluruhan, pemerintah perlu mempertimbangkan dan memastikan tumbuhnya
ekonomi yang bermanfaat pada daerah dan penduduk termiskin. Pemerintah harus
memberi perhatian lebih pada kawasan perdesaan karena sekitar dua pertiga dari
rumah tangga miskin bekerja di sektor pertanian. Contohnya, membantu petani
meningkatkan penghasilan dengan cara beralih ke tanaman berharga jual lebih,
atau dengan memperbaiki sistem irigasi dan akses jalan.
Saat
ini, pekerja sektor informal jumlahnya sangat banyak. Seseorang sering merasa
kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, seharusnya pemerintah
mempunyai tujuan baru mengenai pekerjaan yang layak dan produktif untuk semua.
Tidak semua pekerjaan dapat membawa seseorang keluar dari kemiskinan.Yang dibutuhkan
adalah pekerjaan yang layak.
Jenis
pekerjaan yang produktif dan memberikan penghasilan yang cukup adalah pekerjaan
yang layak. Lebih dari itu, pekerjaan seyogyanya membuat keluarga lebih kuat
secara ekonomi, memiliki suasana kerja yang sehat dan memungkinkan seseorang
untuk turut serta mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan dan
penghidupannya. Sederhananya, pekerjaan yang layak akan mengeluarkan seseorang
dari kemiskinan.
Pemerintah
juga harus memikirkan bagaimana cara membantu kaum termiskin dengan memberikan
subsidi bidang kesehatan dan pendidikan, atau dalam beberapa kasus, memberikan
uang tunai. Skema terakhir pernah dilakukan ketika harga bahan bakar naik dan
pemerintah melaksanakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu
masyarakat miskin. Saat ini, pemerintah sedang melaksanakan program Keluarga
Harapan untuk membantu anggota keluarga miskin membayar pengeluaran terkait
pendidikan dan kesehatan. Namun, dalam jangka waktu panjang, solusi terbaik
menanggulangi kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi dan pendapatan–terutama
bagi kaum miskin.
Sebenarnya,
banyak sekali yang bisa pemerintah lakukan untuk memperbaiki berbagai persoalan
dengan cepat. Salah satunya ialah terkait dengan makanan. Karena, ada satu
ukuran penting MDGs tentang kemiskinan terkait gizi, yaitu apakah masyarakat
mengkonsumsi makanan berkecukupan. Jika tidak, mereka tergolong ”kekurangan gizi”.
Tidak semua anak Indonesia
memperoleh asupan makanan yang layak. Dengan asupan makanan yang tepat dan
dalam jumlah mencukupi, anak-anak akan mempunyai berat badan pada kisaran yang
sama. Jadi ketika menimbang anak, Anda dapat memeriksa apakah “berat badannya
sesuai usia” atau tidak. Jika lebih rendah, berarti mereka “kekurangan gizi”.
Memang ada cara lain mengukur kekurangan gizi, tetapi ini merupakan cara paling
lazim.
Jika
rutin membawa anak ke Posyandu, si anak bisa ditimbang disana. Untuk mendapatkan
gambaran nasional, pada Susenas 2006 dilakukan penimbangan sejumlah anak
sebagai sampel. Hasilnya mencemaskan, karena lebih dari seperempat anak-anak Indonesia
kekurangan gizi. Mencermati situasi tersebut, kenyataannya belum membaik
sepanjang beberapa tahun terakhir. Target kedua MDGs adalah mengurangi jumlah
anak-anak yang kekurangan gizi hingga separuhnya. Pada 1990, angka kekurangan
gizi pada anak-anak sekitar 35,5%, jadi harus ditekan menjadi sekitar 17,8%.
Melihat kecenderungan sejak 1990, tampaknya tidak terlalu sulit mencapai target
tersebut. Sayangnya, beberapa tahun terakhir sejak 2000, angkanya naik kembali.
Memang
terasa aneh. Logikanya, ketika orang memiliki lebih banyak uang, seharusnya
mereka memiliki makanan yang cukup – apalagi anak-anak hanya makan dalam porsi
yang kecil. Persoalannya, banyak bayi yang tidak mendapatkan makanan tepat
dalam jumlah yang cukup. Awalnya, pilihan ideal adalah memberikan Air Susu Ibu
(ASI) eksklusif hingga usia bayi sekitar 6 bulan. Sayangnya, di Indonesia, setelah
sekitar empat bulan, jumlah bayi yang memperoleh ASI eksklusif kurang dari
seperempatnya. Masih banyak masalah lain, seperti kesehatan ibu. Biasanya, ibu
yang kekurangan gizi cenderung melahirkan bayi yang juga kekurangan gizi. Pada
dasarnya, persoalannya bukan karena minimnya penghasilan.
Penyebabnya,
lebih karena kurangnya perhatian. Mungkin juga terkait kemiskinan. Bisa saja
ibu yang miskin kurang memiliki informasi tentang perawatan anak atau hanya
memiliki sedikit waktu untuk mengurus bayi. Namun, yang membesarkan hati,
dengan sedikit perubahan perilaku di rumah dapat dengan cepat menurunkan angka
kekurangan gizi. Bukan hanya pada anak. Salah satu indikator kemiskinan lain
dalam MDGs, melihat apakah seluruh penduduk cukup makan. Dengan menggunakan
kriteria FAO dalam mengukur kebutuhan konsumsi minimum, maka hanya 6% dari
penduduk Indonesia yang konsumsi hariannya kurang dari standar. Di masa lalu,
standar yang digunakan untuk mengukur kecukupan konsumsi ini sedikit terlalu
tinggi, sehingga terindikasi bahwa hampir 70% penduduk Indonesia tidak
mengkonsumsi cukup makanan. Proporsi penduduk tersebut juga relatif tidak
berubah sejak 1990.
Tujuan 2: Mewujudkan Pendidikan
Dasar Untuk Semua
Tampaknya,
di bidang pendidikan, Indonesia
lebih berhasil. Tujuan kedua MDGs ini adalah memastikan bahwa semua anak
menerima pendidikan dasar. Mencermati angka partisipasi di sekolah dasar tercatat
bahwa dengan angka 94,7% Indonesia
hampir mewujudkan target memasukkan semua anak ke sekolah dasar. Meski dengan
catatan bahwa ini adalah angka nasional dengan perbedaan antar daerah yang
masih cukup tinggi, yaitu dari 96.0% untuk Kalimantan Tengah hingga 78,1% untuk
Papua. Terlihat pula bahwa angka partisipasi di sekolah lanjutan pertama
meningkat secara stabil.
Pemerintah
harus berkutat agak lebih lama di sini. Dalam hal angka partisipasi di sekolah pemerintah
memang cukup berhasil. Namun, tujuan kedua MDGs ini bukanlah sekadar semua anak
bisa sekolah, tetapi memberikan mereka pendidikan dasar yang utuh.
Kenyataannya, banyak anak yang tidak bisa bersekolah dengan lancar di sekolah
dasar. Ada yang
tidak naik kelas atau bahkan terpaksa berhenti. Saat ini misalnya, sekitar 9%
anak harus mengulang di kelas 1 sekolah dasar. Sementara pada setiap jenjang
kelas, sekitar 5% putus sekolah. Akibatnya, sekitar seperempat anak Indonesia tidak
lulus dari sekolah dasar. Pada 2004/2005, hanya 77% bersekolah hingga kelas 6
dan pada akhir tahun tersebut, hanya 75% yang lulus.
Pemerintah
dapat melihat bahwa proporsi anak yang lulus sekolah mengalami peningkatan.
Namun, akhir-akhir ini, kecenderungan tersebut berubah. Jadi pemerintah hampir
mencapai target meskipun masih perlu meningkatkan upaya untuk mencapai 100%
pada 2015. Tingkat kelulusan sekolah dasarpun hanyalah langkah pertama. Bahkan anak-anak
yang telah lulus bisa saja terhenti pendidikannya.
Ternyata,
hanya 67% anak yang mendaftar ke sekolah lanjutan pertama. Ini merupakan
tantangan yang besar mengingat pemerintah bertekad mencapai target yang lebih
tinggi daripada target global MDGs. Target Indonesia adalah ”wajib belajar 9
tahun”, terdiri dari 6 tahun SD dan 3 tahun SMP, sementara target global MDGs
yaitu pendidikan setara 6 tahun. Target waktu pencapaiannya adalah 2008-2009. Ini
terbilang ambisius. Target pencapaiannya, membutuhkan loncatan besar. Pemerintah
harus lebih giat dalam upaya mempertahankan anak-anak agar tetap bersekolah.
Sebagian
karena orang tua memerlukan mereka untuk bekerja. Mungkin di lahan pertanian
keluarga. Lainnya, karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Sekitar sepertiga
keluarga termiskin mengatakan bahwa mereka memiliki masalah untuk membayar uang
sekolah dan biaya lainnya. Orang tua memang harus membayar dalam jumlah yang
besar, baik untuk uang sekolah ataupun seragam, untuk transportasi, makanan, buku
atau perlengkapan tambahan.
Di
samping itu, sekolah juga dapat menimbulkan masalah jika tidak bisa memberikan
sesuatu yang bernilai bagi anak-anak. Sekolah, misalnya, bisa saja tidak
memiliki buku atau peralatan yang memadai. Sementara, bangunannya tidak layak
digunakan. Kurang dari separuh sekolah dasar memiliki apa yang disebut oleh Kementerian
Pendidikan Nasional “ruang kelas yang baik.” Faktor lainnya, anak
bungsu dalam keluarga mungkin tidak disiapkan bersekolah.
Idealnya
semua anak memperoleh pendidikan prasekolah agar terbiasa dengan lingkungan
belajar yang baru. Dalam hal ini, pemerintah telah membuat banyak kemajuan.
Hampir separuh anak usia prasekolah yang memperoleh pembelajaran dini dan
sekitar separuhnya di Tempat Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Sisanya, di taman
kanak-kanak, kelompok bermain atau pusat penitipan anak. Semua kegiatan
tersebut bisa tetap menstimulasi anak bersekolah dan mengembangkan otak mereka.
Hal tersebut mempermudah mereka memulai sekolah dasar. Tentu saja, di semua
jenjang sekolah, isu terpenting adalah kualitas pengajaran.
Sebenarnya
di jenjang sekolah dasar, gurunya sudah cukup. Banyak SD di
mana satu guru hanya untuk 19 murid. Meskipun demikian, mungkin saja mereka
tidak berada di tempat yang tepat. Karena, banyak sekolah di daerah terpencil,
masih kekurangan guru. Selain itu, para guru juga tidak meluangkan waktu yang
cukup di ruang kelas. Jam kerja mereka juga pendek. Karena gaji rendah, mereka
biasanya bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pada
2004, sebuah survei di lebih dari 2.000 sekolah menemukan seperlima dari para
guru tidak hadir. Artinya, lebih baik memiliki guru dalam jumlah lebih kecil
tetapi dibayar lebih baik agar bisa meluangkan lebih banyak waktu di kelas. Hal
tersebut semakin penting ketika anak-anak bertambah usia dan melanjutkan ke
sekolah lanjutan pertama. Seperti diuraikan di atas, sekitar sepertiga
anak-anak berhenti usai sekolah dasar. Sekali lagi, alasan utamanya mungkin
terkait biaya. Mengirimkan anak ke sekolah lanjutan bahkan lebih mahal, apalagi
jika mereka diminta bekerja menambah penghasilan keluarga. Seorang anak dari
keluarga miskin memiliki kesempatan 20% lebih kecil untuk melanjutkan ke
sekolah lanjutan pertama ketimbang seorang anak dari keluarga tidak miskin.
Kenyataannya, terdapat perbedaan besar antar propinsi, terkait partisipasi di
pendidikan lanjutan pertama. Di Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya, angkanya
78%, sedangkan di Nusa Tenggara Timur hanya 43%.
Pemerintah
dapat mengeluarkan anggaran lebih banyak sehingga orang tua murid tidak perlu
menanggung biaya sekolah yang terlalu mahal. Sebelumnya, pemerintah kurang
menyalurkan dana publik untuk pendidikan. Namun, beberapa tahun terakhir,
alokasi untuk pendidikan termasuk untuk gaji guru, meningkat. Saat ini,
jumlahnya sekitar 17% dari total pengeluaran pemerintah. Sebagai perbandingan,
jumlah tersebut adalah separuh pengeluaran Malaysia. Pemerintah pun bertekad
untuk tetap meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan. Sebenarnya,
Undang-Undang Dasar dan UU tentang Pendidikan Nasional mensyaratkan belanja
negara yang cukup besar. Peraturan tersebut menyebutkan, pada tahun 2009 paling
tidak 20% dari anggaran pusat maupun daerah, harus digunakan untuk pendidikan.
Dan ini tidak termasuk gaji para guru, yang proporsinya lebih dari separuh
anggaran saat ini. Tanpa gaji guru, proporsi tahun 2007 hanyalah sekitar 9%,
sehingga untuk mencapai 20% perlu kenaikan yang luar biasa.
Pada
tahun 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemerintah wajib memenuhi
kewajiban memenuhi 20% alokasi APBN untuk pendidikan. Namun, selain pemerintah
pusat, banyak hal tergantung pada pemerintah kabupaten. Saat ini, pemerintah
kabupaten bertanggung jawab terhadap sekitar dua per tiga pengeluaran publik
untuk pendidikan dan menggunakan hampir seluruhnya untuk gaji guru. Pemerintah
pusat masih mengendalikan hampir seluruh dana untuk sekolah dan ruang kelas
baru. Selain itu, pemerintah pusat juga memberikan beasiswa untuk membantu
murid-murid paling miskin. Menyusul kenaikan harga bahan bakar pada 2005,
pemerintah memulai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). BOS yang
diberikan berjumlah 25 dollar per anak/tahun di jenjang sekolah dasar dan 35
dollar per anak/ tahun di sekolah lanjutan pertama (atau setara dengan Rp.
340.000)
Uang
tersebut tidak diberikan kepada keluarga murid, tetapi untuk sekolah agar tidak
menarik biaya dari para murid. Meskipun terdapat banyak masalah dalam
memastikan bahwa dana BOS disalurkan ke sekolah-sekolah yang tepat, program
BOS, yang mencakup seperempat dari pengeluaran pendidikan pada 2006, nampaknya
dapat membawa perubahan yang berarti dalam hal pendanaan sekolah. Jadi dalam
hal ini, tercapai kemajuan yang cukup baik. Selain itu, terkait gender, ada hal
positif karena sekarang semakin banyak anak perempuan yang bersekolah. Coba
kita telaah tujuan ketiga MDG berikut ini. Terdapat dua indikator yang relevan.
Pertama, untuk tingkat partisipasi di sekolah dasar, Indonesia telah mencapai angka
94,7%. Berdasarkan kondisi ini, kita dapat mencapai target 100% pada 2015.
Indikator kedua berkaitan dengan kelulusan, yaitu proporsi anak yang memulai
kelas 1 dan berhasil mencapai kelas 5 sekolah dasar. Untuk Indonesia,
proporsi tahun 2004/2005 adalah 82%. Namun, sekolah dasar berjenjang hingga
kelas enam. Karena itu, untuk Indonesia
lebih pas melihat pencapaian hingga kelas enam. Jumlahnya adalah 77% dengan
kecenderungan terus meningkat. Artinya, pemerintah bisa mencapai target yang
ditetapkan. Data kelulusan yang digunakan dalam artikel ini berasal dari Kementerian
Pendidikan Nasional berdasarkan data pendaftaran sekolah. Berbeda dengan
Susenas (2004), yang menghitung angka yang jauh lebih besar, yaitu sekitar 95%.
Indikator ketiga untuk tujuan ini adalah angka melek huruf penduduk usia 15-24
tahun. Dalam hal ini, nampaknya kita cukup berhasil dengan pencapaian 99,4%.
Meskipun demikian, kualitas melek huruf yang sesungguhnya mungkin tidak
setinggi itu karena tes baca tulis yang diterapkan oleh Susenas terbilang
sederhana.
Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan
Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Ada baiknya pemerintah meluruskan satu hal;
kesetaraan gender bukan melulu mengenai perempuan, tetapi mengenai perempuan
dan laki-laki. Namun, karena target ini menekankan pada pemberdayaan perempuan,
kita akan membahas lebih banyak mengenai hal ini dan isu terkait lainnya. Dalam
banyak hal, perempuan di Indonesia
telah mencapai kemajuan pesat, meskipun, masih cukup jauh dari pencapaian
kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut dengan
cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target. Pertama, menyangkut pendidikan.
Untuk hal ini, nampaknya pemerintah cukup berhasil. Namun, terkait target kedua
dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan keterwakilan dalam parlemen,
kesempatan yang dimiliki perempuan Indonesia masih kurang.
Saat
ini, semakin banyak anak perempuan yang bersekolah. Bahkan terjadi kemajuan
yang cukup mengejutkan, yang menunjukkan rasio antara anak laki-laki dan
perempuan di berbagai jenjang pendidikan. Pada sekolah dasar jumlah antara anak
perempuan dan laki-laki terbilang seimbang, di mana rasio yang ditunjukkannya
mendekati 100% sejak 1992. Sekarang di jenjang sekolah lanjutan pertama,
garisnya berada diatas 100%, artinya terdapat lebih banyak anak perempuan
dibandingkan anak laki-laki.
Meskipun
ada penurunan pada tahun lalu, anak perempuan sepertinya berada di depan pada
sekolah lanjutan pertama. Ini mungkin karena kakak laki-laki mereka
meninggalkan sekolah untuk bekerja. Biasanya terdapat lebih banyak kesempatan
kerja bagi anak laki-laki daripada untuk anak perempuan. Namun, di sekolah
menengah atas, situasinya kembali lebih seimbang. Cara lain mengukur kemajuan
adalah dengan melihat berapa banyak anak putus sekolah. Kenyataannya, di
sekolah dasar, jumlah anak putus sekolah antara anak laki-laki dan perempuan
sama. Namun, di sekolah lanjutan, terlihat bahwa lebih sedikit anak perempuan
yang putus sekolah. Hal tersebut, lagi-lagi mungkin karena anak laki-laki
memiliki lebih banyak kesempatan kerja. Menariknya, baik keluarga miskin maupun
kaya, sama giatnya menyekolahkan anak perempuan mereka ke sekolah dasar.
Dalam
hal ini, tampaknya tidak banyak perbedaan. Ketika anak tumbuh dewasa, keluarga
miskin memiliki kesempatan lebih kecil untuk memasukkan anak mereka ke sekolah
lanjutan, baik anak perempuan maupun laki-laki. Namun yang paling mengesankan,
adalah apa yang terjadi di perguruan tinggi. Sepanjang sepuluh tahun terakhir,
jumlah perempuan dengan cepat mengejar jumlah laki-laki dan sekarang berada di
depan. Sekitar 15% remaja yang beranjak dewasa, baik laki-laki maupun perempuan,
mendapatkan pendidikan tinggi. Kemajuan yang dicapai anak perempuan juga
terlihat dalam hal tingkat melek huruf. Tahun 2006 tingkat melek huruf adalah
91,5% untuk lakilaki, namun hanya 88,4% untuk perempuan. Ini karena di masa
lalu lebih sedikit anak perempuan yang bersekolah. Sekarang situasi sudah
semakin setara. Untuk mereka yang berusia 15 hingga 24 tahun, tingkat melek
huruf baik untuk laki-laki dan perempuan hampir mendekati 100%.
Terkait
kesempatan untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi, ini terkesan benar. Namun,
ketika anak perempuan bersekolah, banyak ketimpangan atau ketidaksetaraan yang
harus dihadapi. Panutan pertama mereka adalah para guru. Di sekolah dasar,
terdapat lebih banyak guru perempuan dibandingkan laki-laki. Namun, siapa yang
memimpin? Jumlah laki-laki yang menjadi kepala sekolah, misalnya, empat kali
lipat dibandingkan dengan perempuan. Anak perempuan juga akan melihat
ketimpangan ketika mereka membuka buku teks. Sebuah buku teks utama sekolah
dasar tentang kewiraan, misalnya, membahas tanggung jawab dalam keluarga. Buku
tersebut menjelaskan bahwa aktivitas utama ayah adalah mencari nafkah sementara
ibu bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga. Dan ilustrasi tentang
tanggung jawab anak-anak dengan gambar anak perempuan yang sedang mencuci dan
menyeterika.
Kesenjangan
lainnya, anak perempuan sepertinya juga memilih bidang yang berbeda dari anak
laki-laki. Hal ini tampak jelas pada murid yang mengambil sekolah kejuruan.
Dari semua anak tersebut, anak perempuan jarang memilih sains (science) dan teknologi. Banyak yang
memilih sekolah pariwisata. Namun, situasinya lebih seimbang bagi mereka yang
mengambil sekolah lanjutan umum. Terdapat jumlah yang sama antara anak
laki-laki dan perempuan yang mempelajari sains. Selain melihat bidang studi
yang diambil, juga dapat ditelaah apa yang terjadi ketika anak perempuan putus
sekolah untuk bekerja–dengan melihat berapa banyak yang bekerja di luar rumah
atau di luar lahan pertanian. Target Pembangunan Milenium melihat hal ini
dengan membandingkan jumlah laki-laki dan perempuan yang bekerja di “pekerjaan
upahan non-pertanian”. Jika laki-laki dan perempuan dipekerjakan secara setara
di jenis pekerjaan tersebut, perbandingannya haruslah 50%. Namun, kenyataannya
dapat dilihat bahwa angka untuk perempuan hanyalah sekitar 33,5%.
Pada
tahun 1998, saat itu adalah puncak krisis ekonomi, ketika mungkin lebih banyak
laki-laki yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan dibandingkan perempuan. Setelah
itu, situasi perempuan terus memburuk, dan hanya sedikit berubah selama
beberapa tahun terakhir. Informasi lebih lanjut diperoleh dari berbagai survei
tentang proporsi penduduk dewasa dalam angkatan kerja. Misalnya, pada tahun
2004, proporsi laki-laki adalah 86% namun perempuan hanya 49% 11. Selain kurang
mendapatkan lapangan pekerjaan, perempuan juga cenderung mendapatkan pekerjaan
tidak sebaik laki-laki. Di pabrik-pabrik industri tekstil, pakaian dan alas
kaki, misalnya, banyak perempuan muda yang bekerja dengan upah rendah –
seringkali dengan penyelia laki-laki. Demikian pula halnya di pemerintahan.
Perempuan hanya menduduki 9,6% jabatan tinggi dalam birokrasi pemerintahan.
Perempuan juga kurang terwakili di bidang politik.
Ibu
Megawati Soekarnoputri pernah menjadi Presiden
RI, hal itu menunjukkan Indonesia lebih
maju dibandingkan banyak negara lain. Namun, dalam jenjang jabatan politik di
bawahnya, perempuan kurang terlihat. Hanya sedikit yang terpilih menjadi
anggota parlemen. Demikian juga yang menjadi bupati atau gubernur. Indikator
MDG untuk ini adalah proporsi perempuan yang menjadi anggota DPR. Angka
rata-rata dunia untuk hal ini cukup rendah, yaitu sekitar 15%. Proporsi Indonesia
bahkan lebih rendah, yaitu 13% (1992), 9% (2003), dan 11,3% (2005).
Undang-Undang
tahun 2003 tentang Pemilihan Umum mewajibkan Partai Politik untuk sedikitnya
memiliki 30% calon perempuan. Tidak semua partai politik bisa mewujudkan hal
tersebut. Bahkan umumnya menaruh perempuan di urutan terbawah dalam daftar
calon legislatif (caleg), posisi di mana caleg tidak akan terpilih. Meskipun
demikian, kewajiban tersebut ada dampaknya. Yang menarik, dalam Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), di mana para calon tidak mewakili partai politik,
perempuan menduduki sepertiga dari kursi yang ada–dan lebih dari 30% perempuan
yang mencalonkan diri, terpilih dalam pemilihan anggota DPD. Tampaknya, pemilih
cukup mendukung terpilihnya perempuan. Masalahnya, bagaimana agar bisa menjadi
calon salah satu partai politik besar. Perempuan juga kurang terwakili di
tingkat daerah, terutama karena harus memikul tanggung jawab rumah tangga.
Karena itu, terkait kesetaraan gender, secara menyeluruh kita telah cukup
berhasil dalam pendidikan tetapi anak perempuan dan perempuan masih banyak
menghadapi hambatan budaya dan ekonomi.
Tujuan 4: Menurunkan Angka Kematian
Anak
Umumnya, semua orang ingin menikmati
usia panjang dan hidup sehat. Kenyataannya, orang sekarang memang hidup lebih
lama. Antara 1970 dan 2005, usia harapan hidup di negeri ini rata-rata
meningkat sekitar 15 tahun. Anak-anak yang lahir di Indonesia saat ini dapat
mengharapkan hidup hingga usia 68 tahun. Seseorang dapat memilih usia harapan
hidup sebagai satu indikator kesehatan. Namun, ada satu ukuran lainnya yang
sangat penting, yaitu jumlah anak-anak yang meninggal. Anak-anak, terutama
bayi, lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Itulah
sebabnya tujuan keempat MDGs adalah mengurangi jumlah kematian anak.
Bayi
adalah anak berusia di bawah satu tahun. Ketika melihat pada angka kematian
anak, pemerintah biasanya merujuk pada anak di bawah usia lima tahun (balita). Ini merupakan pembedaan
yang bermanfaat, yang menunjukkan proporsi anak yang meninggal, baik ketika
masih bayi ataupun sebelum mencapai usia lima
tahun. Jelas bahwa pemerintah mencapai kemajuan karena proporsi balita yang
meninggal kurang dari separuh angka tahun 1990. Pada 2007, angkanya sekitar 44
per 1.000 kelahiran hidup. MDGs menargetkan pengurangan angka tahun 1990
menjadi duapertiganya. Artinya, harus menurunkan dari 97 kematian menjadi 32.
Namun,
pemerintah juga harus melihat pada angka kematian bayi. Laju kematian bayi juga
menurun, namun lebih lambat dibandingkan penurunan kematian balita. Dengan
demikian proporsi kematian yang lebih besar terjadi pada bulan pertama setelah
dilahirkan. Pada tahun 1990, 70% kematian terjadi pada bayi, namun pada 2005
proporsinya meningkat hingga 77%.
Salah
satu yang paling penting adalah berkurangnya tingkat kemiskinan. Artinya,
anak-anak tumbuh berkembang di lingkungan yang lebih sejahtera dan sehat.
Semakin sejahtera seseorang, semakin mungkin anak-anak bertahan hidup. Karena
itu, tidak mengejutkan bahwa angka kematian juga lebih tinggi di
propinsi-propinsi termiskin.
Ada
satu pengaruh besar lain yaitu layanan kesehatan, khususnya program imunisasi.
Saat ini pemerintah memang memberikan imunisasi untuk hampir semua anak-anak di
republik ini. Namun, belum untuk semuanya. Pada 2007, anak-anak yang menerima
imunisasi difteri, batuk rejan dan tipus adalah 84.4% 12, meskipun
hanya separuh dari mereka yang menerima imunisasi lengkap. Selain itu 82%
anak-anak menerima imunisasi Tubercolosis (TBC), dan 80% imunisasi hepatitis.
Namun, ini harus menjadi satu proses berkesinambungan. Hal yang mencemaskan
adalah turunnya angka imunisasi terhadap polio dan campak Jerman (rubella),
yaitu dari sekitar 74% beberapa tahun lalu menjadi 70%. Campak juga menjadi
kekhawatiran karena angka imunisasi hanya 72% untuk bayi dan 82% untuk anak
hingga 23 bulan, sementara target pemerintah adalah 90%. Diperkirakan 30.000
anak meninggal setiap tahun karena komplikasi campak13 dan baru-baru ini ada
beberapa KLB (kejadian luar biasa) polio dimana 303 anak menjadi lumpuh.
Imunisasi
tidak hanya tergantung pada para orang tua untuk memastikan bahwa anak-anak
mereka memperoleh vaksinasi, tapi diperlukan sistem kesehatan yang terkelola
dengan baik. Telah banyak yang dibelanjakan untuk kesehatan, namun diperlukan
lebih banyak anggaran karena saat ini belanja negara untuk kesehatan hanya
sekitar 5% dari APBN. Penduduk miskin, khususnya yang tergantung pada layanan
publik, akan menderita jika investasi untuk puskesmas berikut staf kurang
memadai. Sebuah survei, misalnya, menemukan bahwa tingkat ketidakhadiran staf
puskesmas mencapai 40%. Seringkali, karena mereka sedang berada di tempat
praktek pribadi. Kini, cukup tinggi ketergantungan pada pemerintah kapubaten
yang mengalokasikan 4-11% anggaran untuk kesehatan. Sekitar 80% dari anggaran
tersebut digunakan untuk membayar gaji pekerja medis. Padahal Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa proporsi gaji seharusnya hanya
15%.
Dana
memang membantu. Bukan hanya untuk upaya penyembuhan, tetapi juga pencegahan
penyakit. Kematian anak bukan terjadi hanya pada tahun pertama, tetapi juga
cukup banyak terjadi pada minggu atau bahkan hari-hari pertama kehidupan
mereka. Artinya, seseorang harus memperbaiki kualitas layanan kesehatan ibu dan
anak, khususnya sepanjang kehamilan dan segera setelah persalinan. Jika mereka
bertahan hidup selama masa tersebut, resiko terbesar yang mereka hadapi adalah
infeksi saluran pernafasan akut dan diare. Keduanya dapat disembuhkan jika
penanganan dini dilakukan. Secara keseluruhan, kesehatan anak sangat terkait
dengan kesehatan ibu mereka. Ini membawa pemerintah ke tujuan MDGs selanjutnya.
Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan
Ibu
Setiap tahun sekitar 20.000
perempuan di Indonesia
meninggal akibat komplikasi dalam persalinan. Melahirkan seyogyanya menjadi
peristiwa bahagia tetapi seringkali berubah menjadi tragedi. Sebenarnya, hampir
semua kematian tersebut dapat dicegah. Karena itu tujuan kelima MDGs difokuskan
pada kesehatan ibu, untuk mengurangi “kematian ibu”. Meski semua sepakat bahwa
angka kematian ibu terlalu tinggi, seringkali muncul keraguan tentang angka
yang tepat.
Pemerintah, misalnya, tidak mungkin
hanya mengacu pada informasi dalam laporan kematian yang bisa saja disebabkan
oleh berbagai alasan, terkait ataupun tidak terkait dengan persalinan. Metode
yang biasa digunakan adalah dengan bertanya pada para perempuan apakah ada
saudara perempuan mereka yang meninggal sewaktu persalinan. Perkiraannya,
menunjukkan bahwa “tingkat kematian ibu” telah turun dari 390 menjadi sekitar
307 per 100.000 kelahiran. Artinya, seorang perempuan yang memutuskan untuk
mempunyai empat anak memiliki kemungkinan meninggal akibat kehamilannya sebesar
1,2%. Angka tersebut bisa jauh lebih tinggi, terutama di daerah-daerah yang
lebih miskin dan terpencil. Satu survei di Ciamis, Jawa Barat, misalnya,
menunjukkan bahwa rasio tersebut adalah 56117. Target MDGs adalah untuk
menurunkan rasio hingga tiga perempatnya dari angka tahun 1990. Dengan asumsi
bahwa rasio saat itu adalah sekitar 450, target MDGs adalah sekitar 110.
Biasanya,
mereka meninggal akibat kondisi darurat. Sebagian besar kelahiran berlangsung
normal, namun bisa saja tidak, seperti akibat pendarahan dan kelahiran yang
sulit. Masalahnya, persalinan merupakan peristiwa (kesehatan) besar, sehingga
komplikasinya dapat menimbulkan konsekuensi sangat serius. Sejumlah komplikasi
sewaktu melahirkan bisa dicegah, misalnya komplikasi akibat aborsi yang tidak
aman. Komplikasi seperti ini menyumbang 6% dari angka kematian. Sebagian besar
sebenarnya bisa dicegah kalau saja perempuan memiliki akses terhadap
kontrasepsi yang efektif. Saat ini hanya sekitar separuh perempuan usia 15
hingga 24 yang menggunakan metode kontrasepsi modern. Metode yang paling umum
dipakai adalah suntik, diikuti oleh pil. Proporsi perempuan (usia 15-49) yang
menggunakan alat kontrasepsi mengalami peningkatan dan prosentasenya pada tahun
2006 adalah 61% (SDKI, 2007). Berbagai potensi masalah lainnya bisa dicegah
apabila para ibu memperoleh perawatan yang tepat sewaktu persalinan.
Sekitar
60% persalinan di Indonesia
berlangsung di rumah. Dalam kasus seperti ini, para ibu memerlukan bantuan
seorang ”tenaga persalinan terlatih”. Untungnya banyak perempuan yang
mendapatkan bantuan tersebut. Seperti pada 2007 proporsi persalinan yang
dibantu oleh tenaga persalinan terlatih, baik staf rumah sakit, pusat kesehatan
ataupun bidan desa, telah mencapai 73%. Sekali lagi angka ini sangat bervariasi
di seluruh Indonesia, mulai dari 39% di Gorontalo hingga 98% di Jakarta.
Pemerintah
pusat telah melatih banyak bidan, dan mengirim mereka ke seluruh penjuru Indonesia.
Namun, sepertinya, pemerintah daerah tidak menganggap hal tersebut sebagai
prioritas, dan tidak memperkerjakan para bidan setelah berakhirnya kontrak
mereka dengan Kementrian Kesehatan. Selain itu, ada masalah terkait kualitas. Para bidan desa mungkin tidak mendapatkan pelatihan yang
cukup atau mungkin kekurangan peralatan. Jika mereka bekerja di
komunitas-komunitas kecil, mereka mungkin tidak menghadapi banyak persalinan,
sehingga tidak mendapat pengalaman yang cukup. Namun salah satu dari masalah
utamanya adalah jika disuruh memilih, banyak keluarga yang memilih tenaga
persalinan tradisional.
Salah
satu alasan memilih tenaga tradisional, biasanya lebih murah dan dapat dibayar
dengan beras atau barang-barang lain. Keluarga juga lebih nyaman dengan
seseorang yang mereka kenal dan percaya. Mereka yakin bahwa tenaga persalinan
tradisional akan lebih mudah ditemukan dan beranggapan bahwa mereka bisa lebih
memberikan perawatan pribadi. Dalam kasus-kasus persalinan normal, ini mungkin
benar. Namun, jika ada komplikasi, tenaga persalinan tradisional mungkin tidak
akan dapat mengatasi dan mungkin akan segan untuk meminta bantuan bidan desa.
Hal ini dapat mengakibatkan penundaan yang membahayakan jiwa karena tidak
secepatnya memperoleh perawatan kebidanan darurat di pusat kesehatan atau rumah
sakit. Keterlambatan dapat juga terjadi karena kesulitan dan biaya
transportasi, khususnya di daerah-daerah yang lebih terpencil.
Kenyataannya,
perempuan manapun dapat mengalami komplikasi kehamilan, kaya maupun miskin, di
perkotaan atau di perdesaan, tidak peduli apakah sehat atau cukup gizi. Ini
artinya pemerintah harus memperlakukan setiap persalinan sebagai satu potensi
keadaan darurat yang mungkin memerlukan perhatian di sebuah pusat kesehatan
atau rumah sakit, untuk penanganan cepat. Pengalaman internasional menunjukkan
bahwa sekitar separuh dari kematian ibu dapat dicegah oleh bidan terampil,
sementara separuhnya lainnya tidak dapat diselamatkan akibat tidak adanya
perawatan yang tepat dengan fasilitas medis memadai.
Tidak
semua kelahiran adalah darurat, namun berpotensi menjadi keadaan darurat. Ini
artinya akan baik kalau ada seseorang yang mengamati dan dapat mengenali adanya
tanda-tanda bahaya. Jika ada bidan desa pada saat persalinan atau sang ibu
melahirkan di sebuah pusat kesehatan atau rumah sakit, semestinya perawat,
bidan atau dokter dapat melakukan tindakan yang diperlukan. Sayangnya, ketika
sang ibu sampai di rumah sakit, belum tentu ia akan mendapatkan bantuan yang
diperlukan karena banyak rumah sakit kabupaten kekurangan staf dan tidak
memiliki layanan 24 jam. Jika kita hendak mewujudkan tujuan yang berkaitan
dengan angka kematian ibu, perlu memperbaiki perawatan di pusat-pusat
kesehatan. Lebih dari itu, kita juga perlu memikirkan tentang apa yang terjadi
sebelum dan selama kehamilan. Bahkan jika kita tidak dapat meramalkan keadaan
darurat, kita bisa mencoba untuk memastikan bahwa para ibu berada dalam kondisi
terbaik dan tetap bertahan, dengan gizi yang cukup. Saat ini, sekitar seperlima
perempuan hamil kekurangan gizi dan separuhnya menderita anemia.
Anemia
adalah rendahnya kadar zat besi dalam darah. Ini dapat terjadi selama kehamilan
ketika tubuh ibu memerlukan lebih banyak zat besi. Anemia membuat perempuan
jauh lebih rentan untuk sakit dan meninggal. Namun demikian, mereka dapat
mengganti kekurangan zat besi tersebut jika mereka mendatangi klinik pra
persalinan dimana mereka menerima suplemen zat besi. Perempuan yang secara
rutin mendatangi klinik pra persalinan biasanya mengetahui apa yang harus
mereka lakukan apabila terjadi keadaan darurat. Selain melindungi kesehatan
ibu, perawatan pra dan pasca persalinan juga memberi manfaat pada anak-anak
serta dapat menyelamatkan nyawa mereka. Pemerintah mungkin masih ingat dalam
tujuan MDGs sebelumnya bahwa saat ini kebanyakan anak meninggal segera setelah
kelahiran.
Ini
adalah salah satu contoh tentang keterkaitan antara semua tujuan-tujuan MDGs.
Bila terjadi kemajuan di satu tujuan, sangat mungkin untuk mencapai tujuan
lain. Perlu diketahui bahwa perempuan juga punya kecenderungan anemia jika
mereka terkena malaria, yang membawa pemerintah ke tujuan berikutnya.
Tujuan 6: Memerangi HIV dan AIDS,
Malaria serta Penyakit Lainnya
Tujuan
keenam dalam MDGs menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya. Pada
urutan teratas adalah Human Immunodeficiency
Virus (HIV), yaitu virus penyebab
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)–terutama
karena penyakit ini dapat membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya
terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara keseluruhan. Indonesia
beruntung bahwa HIV belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika dan
beberapa negara Asia Tenggara. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus
HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar adalah laki-laki19.
Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 sampai Juni 2008, tercatat 12.686 kasus AIDS –
2.479 diantaranya telah meninggal.
HIV
masih menjadi ancaman utama, seperti yang dapat kita amati terjadi di tempat
lain. Di negara-negara lain, penularan awalnya menyebar dengan cepat di antara
dua kelompok beresiko tinggi, yaitu para pengguna Narkotika, Psikotropika dan
Zat Aditif Lainnya (napza) suntik (penasun) dan pekerja seks. Dari sana HIV menyebar ke
penduduk lainnya sehingga menyebabkan ”epidemi yang menyebar ke populasi umum (generalised epidemy)”. Di Indonesia,
penularan memang masih terkonsentasi pada dua kelompok tersebut, namun di
beberapa wilayah sudah terlihat kecenderungan bahwa epidemi ini akan menyebar
ke populasi umum, yaitu penyebaran dari pengguna napza suntik ke pasangan seksnya. Bahkan di Papua-dianggap sudah
memasuki kondisi generalised epidemic.
Epidemi yang lebih luas lagi sebenarnya sangatlah mungkin untuk dicegah, karena
penularan HIV tidaklah semudah penularan virus lain, misalnya influenza.
HIV
tidak menyebar melalui sentuhan. Seseorang tidak akan positif tertular HIV
hanya dengan hidup bersama atau bekerja bersama seseorang yang hidup dengan
HIV. Virus HIV tidak menular melalui sentuhan, bahkan ciuman dengan orang yang
tertular HIV. Dalam kenyataannya, stigma tentang HIV muncul karena orang tidak
memahami bagaimana cara penularannya dari satu orang ke orang lain.
Resiko
terbesar adalah melalui kontak langsung dengan darah yang tertular atau melalui
hubungan seks tanpa pelindung. Para pengguna
narkoba beresiko tinggi karena mereka sering tukar menukar jarum, sehingga
memungkinkan penularan dari sisa darah pada alat suntik yang baru digunakan
dari satu orang ke orang lain. Di Indonesia terdapat sekitar setengah juta
penasun dan sekitar setengah dari mereka diperkirakan telah tertular. Kelompok
utama beresiko tinggi lainnya adalah pekerja seks (PS–dulu: Pekerja Seks
Komersial, PSK). Di Indonesia terdapat sekitar 200.000 PSK perempuan. Di
Jakarta, misalnya, sekitar 6% dari para pekerja tersebut diperkirakan telah
tertular. Hal ini berarti para pengguna jasa PSK pun termasuk ke dalam kelompok
resiko tinggi. Laki-laki yang berhubungan seks secara tidak aman dengan
laki-laki juga beresiko tinggi. Selain itu, para ibu hamil yang terinfeksi HIV
juga dapat menularkannya ke anak yang baru mereka lahirkan, melalui pemberian
air susu ibu (ASI) kepada bayinya. Walaupun di kebanyakan wilayah Indonesia HIV
belum menyebar ke populasi umum, namun tanpa penanganan yang tepat ia dapat
menyebar dengan sangat cepat. Memang, dalam beberapa hal Indonesia
sangat rentan terhadap epidemi yang meluas.
Salah
satu masalah paling penting adalah rendahnya penggunaan kondom. Hanya sekitar
1,3% pasangan yang menggunakan kondom sebagai alat keluarga berencana. Bahkan,
di antara para PSK, hanya sekitar setengah dari mereka yang menggunakan kondom.
Oleh sebab itu, HIV berpotensi menyebar dengan cepat–dari para pengguna narkoba
suntik dan para PSK, kepada para pelanggan pekerja seks dan kemudian kepada
penduduk. Ini dapat terjadi dengan cukup cepat. Tanah Papua (Papua dan Papua
Barat) telah menunjukkan betapa cepatnya virus tersebut menyebar. Di Papua saat
ini sudah terjadi epidemi yang menyebar ke masyarakat luas, di mana 2,5%
penduduk di dua propinsi Papua hidup dengan HIV. Di Tanah Papua hanya sedikit
orang yang menggunakan napza jarum suntik, namun lebih banyak orang yang
menggunakan jasa PSK dan juga pada tingkat hubungan seks pranikah yang lebih
tinggi. Seperti yang terjadi di Papua, ini menggambarkan Indonesia
menghadapi resiko penyebaran HIV yang lebih cepat melalui penularan seksual.
Menurut Kementrian Kesehatan, pada tahun 2010 jumlah penduduk yang tertular HIV
diperkirakan mencapai setengah juta orang, bahkan satu juta, bila tidak ada
tindakan efektif.
Prioritas
pertama, masyarakat harus mengetahui semua fakta. Kebanyakan orang sadar
tentang penyakit tersebut tetapi memiliki pandangan yang keliru. Banyak PSK,
misalnya, mengaku bisa mengetahui pelanggannya tertular atau tidak hanya dengan
melihat pelanggan tersebut. Padahal faktanya adalah tidak dapat mengetahui
seseorang terinfeksi HIV secara fisik jika memang belum muncul gejala penyakit
ketika sistem kekebalan tubuh mereka sudah menurun (tahapan AIDS). Masyarakat
juga perlu mengetahui bagaimana penularan terjadi serta cara melindungi diri
sendiri. Sebuah survei terhadap para remaja yang beranjak dewasa yang dilakukan
selama 2002-2003, misalnya, menunjukkan bahwa 40% tidak mengetahui bagaimana
menghindari infeksi HIV. Selain itu, kesadaran saja tidak cukup. Seseorang yang
telah memiliki informasi dasar (sekitar 66%; 61% wanita dan 71% pria—dari
mereka dalam usia reproduktif, SDKI 2007) mungkin tidak akan mengubah perilaku
mereka. Banyak orang mungkin terlalu malu untuk membeli atau membawa-bawa
kondom. Atau, lebih memilih berhubungan seks tanpa kondom karena alasan tidak
nyaman. Masih cukup banyak laki-laki yang telah berhubungan seks dengan PSK
tanpa kondom, kemudian dengan tanpa rasa bersalah ataupun khawatir, melakukan
hubungan seks, juga tanpa kondom, dengan istrinya di rumah.
Boleh
jadi tanpa sepengetahuannya. Hanya sekitar satu dari dua puluh orang yang
tertular HIV telah melakukan tes. Oleh sebab itu, menjadi penting bahwa siapa
pun seharusnya berkesempatan menjalani tes serta memperoleh konseling yang
tepat. Jika seseorang mengetahui bahwa mereka positif terinfeksi HIV, mereka
harus mengurangi kemungkinan menularkannya kepada pasangan. Dan meskipun belum
dapat disembuhkan, saat ini ada obat-obatan yang disebut antiretroviral yang dapat membantu mengendalikan laju penyakit tersebut.
Seyogyanya antiretroviral gratis,
namun dalam prakteknya ada biaya pendaftaran dan biaya-biaya lain, dan saat ini
antiretroviral hanya tersedia di
rumah sakit kota
besar. Namun, alasan lain mengapa orang enggan untuk menjalani tes atau
pengobatan adalah karena stigma yang melekat pada HIV dan AIDS. Ini terutama
karena kekurangtahuan. Bahkan sebagian dokter dan perawat, kelihatannya, tidak
mengetahui fakta-fakta dasar HIV dan AIDS serta enggan untuk merawat orang yang
terkena HIV. Jika pemerintah ingin mencegah meluasnya epidemi, perlu membahas
penyakit tersebut secara terbuka dan jujur serta mengambil langkah-langkah
praktis, meskipun kelihatannya akan banyak ditentang.
Banyak
yang berpendapat, perlu membagikan kondom gratis di kawasan pekerja seks atau
jarum suntik gratis kepada para pengguna narkoba. Sementara yang lain menentang
hal ini karena seakan membiarkan atau mendorong perilaku tak bermoral atau
berbahaya. Namun, HIV dan AIDS menghadapkan pemerintah pada pilihan keras dan
sulit. Selain kelompok beresiko tinggi, pemerintah juga harus beranggapan bahwa
pada akhirnya semua orang beresiko dan berarti pendekatan yang digunakan pun
akan berbeda. Memang komunikasi perlu ditingkatkan antara yang mendukung dan
menolak pendekatan penurunan dampak buruk, bahwa mereka memiliki kelompok
sasaran masing-masing, tanpa menghujat atau merendahkan kelompok lain. Jadi
setiap orang perlu untuk mengambil langkah perlindungan yang diperlukan.
Beruntung bahwa pemerintah sekarang memiliki Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
yang aktif sehingga dapat membantu pemerintah mewujudkan tujuan ini.
Target
MDGs untuk HIV dan AIDS adalah menghentikan laju penyebaran serta membalikkan
kecenderungannya pada 2015. Saat ini, kita belum dapat mengatakan telah
melakukan dua hal tersebut karena di hampir semua daerah di Indonesia
keadaannya tidak terkendalikan. Pemerintah bisa saja mencapai target ini, namun
untuk itu diperlukan satu upaya besar-besaran dan terkoordinasi dengan baik di
tingkat nasional. Masalah utama pemerintah saat ini adalah rendahnya kesadaran
tentang isu-isu HIV dan AIDS serta terbatasnya layanan untuk menjalankan tes
dan pengobatan. Selain itu, kurangnya pengalaman pemerintah untuk menanganinya
dan anggapan bahwa ini hanyalah masalah kelompok resiko tinggi ataupun mereka
yang sudah tertular. Stigma yang masih kuat menganggap bahwa HIV hanya akan
menular pada orang-orang tidak bermoral. Menjadi sebuah tantangan untuk
mengajak semua pihak merasakan ini sebagai masalah yang perlu dihadapi bersama.
Kondisi ini dapat terlihat secara jelas jika dibandingkan dengan respon
terhadap penyakitpenyakit lain seperti malaria dan Tuberculosis (TBC), dimana
lebih mudah melibatkan masyarakat karena tidak ada stigma dan diskriminasi
terhadap penyakit-penyakit tersebut.
Dibandingkan
HIV dan AIDS,TBC sudah ada lebih lama, dan saat ini, berdampak pada lebih
banyak orang yaitu sekitar 582.000. Angka penduduk yang “BTA (Batang Tahan
Asam) positif” TBC diukur per 100.000 orang. Angka ini bervariasi, mulai dari
64 di Jawa dan Bali, hingga 160 di Sumatera dan 210 di propinsi-propinsi bagian
Timur. Setiap tahun sekitar 100.000 orang meninggal karena TBC, yang merupakan
penyebab kematian ketiga terbesar. TBC, yang utamanya menggerogoti paru-paru,
sangat menular. Setiap tahun satu orang dapat menulari sekitar 10-15 orang
dengan melepas bakteri TBC ke udara yang dapat dihirup oleh orang lain.
Memang
demikian, tetapi tidak seburuk itu. Pertama, karena kebanyakan orang yang
terinfeksi tidak segera menunjukkan gejala-gejala aktif. Yang paling mungkin
menderita adalah mereka yang sistem kekebalannya melemah, jadi ada keterkaitan
yang kuat antara virus HIV yang dampak utamanya adalah melemahkan sistem
kekebalan. Kedua, TBC dapat disembuhkan. Strategi standar penyembuhan TBC
adalah apa yang disebut strategi penyembuhan jangka pendek dengan pengawasan
langsung (Directly-Observed Treatment
Short-course/DOTS). Penyembuhan ini mencakup pemberian tiga atau empat obat
dosis tinggi selama enam bulan. Indonesia
telah menggunakan DOTS sejak 1995. Saat ini pemerintah mendeteksi lebih dari
tiga perempat kasus, di mana tingkat penyembuhan sekitar 91%.
Seringkali
karena orang berhenti meminum obat ketika mereka merasa lebih sehat. Namun ini
tidak berarti bahwa mereka sudah sembuh. Untuk sembuh total, mereka harus menjalani
proses penuh. Berhenti meminum obat tidak baik untuk mereka dan untuk orang
lain, karena hal itu akan mendorong timbulnya turunan (strain) TBC yang kebal terhadap obat-obatan yang ada saat ini. Ini
adalah kasus di mana pengobatan yang tidak tuntas lebih buruk daripada tidak
diobati. Namun kebanyakan orang, yaitu 91%, betul-betul sembuh dan berkat DOTS pemerintah
telah memenuhi target MDGs untuk membalikkan kecenderungan penyebaran penyakit
tersebut. Di Jawa dan Bali, misalnya, sejak 1990 prevalensi penyakit TBC telah
berkurang setengahnya, meskipun di tempat lain penurunan tersebut terjadi lebih
lambat.
TBC
masih merupakan masalah sangat besar. Lebih dari setengah juta penduduk masih
terinfeksi setiap tahun. Tantangan utamanya adalah memperluas program DOTS -
yang saat ini lebih banyak dikonsentrasikan di pusat-pusat kesehatan—dengan melibatkan
lebih banyak komunitas, LSM dan pihak lain. Juga penting untuk memastikan bahwa
kita tetap menyimpan pasokan obat-obatan yang diperlukan dan bahwa pasien terus
menjalani proses penyembuhan secara penuh. Secara khusus, kita harus lebih
banyak menjangkau daerah-daerah terpencil. Pelayanan di daerah-daerah terpencil
sulit untuk hampir semua penyakit, bukan hanya TBC tetapi juga malaria.
Malaria
memang menurunkan kesehatan, khususnya anak-anak dan ibu-ibu hamil. Malaria
membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit lain, dan memiliki dampak ekonomi
yang sangat besar. Malaria dapat membuat orang tidak bisa bekerja—yang
diperkirakan menimbulkan kerugian sekitar 60 juta dollar karena hilangnya
pendapatan. Hampir separuh dari penduduk Indonesia, atau sekitar 90 juta
orang, tinggal di daerah-daerah dengan nyamuk pembawa malaria. Dan setiap
tahun, ditemukan 18 juta kasus malaria (Kemenkes, 2005).
Pemerintah
tidak punya informasi yang cukup untuk bisa memberikan gambaran yang lengkap.
Kebanyakan orang yang menderita malaria tidak melaporkannya. Hanya sekitar 20%
orang yang mencari pengobatan, dan survei terperinci hanya di daerah-daerah
yang paling parah terkena dampak, biasanya di berbagai kabupaten kawasan Timur.
Di Jawa dan Bali, prevalensi malaria sudah
turun mencapai tingkat yang cukup rendah. Sebaliknya, di kabupaten-kabupaten Indonesia
bagian Timur serta sejumlah tempat lain terjadi peningkatan jumlah kasus
malaria. Namun demikian ini mungkin saja terjadi karena adanya survei-survei
yang lebih baik. Secara menyeluruh, di Indonesia, pemerintah dapat mengatakan
bahwa kita sudah membalikkan kecenderungannya, jadi pemerintah tepat sasaran
untuk mencapai tujuan MDGs.
Di
kabupaten-kabupaten di Indonesia bagian Timur, yang menjadi tugas utama adalah
mencegah infeksi, dimulai dengan nyamuk Anopheles yang membawa parasit.
Pertama, pemerintah harus mengurangi jumlah tempat-tempat di mana nyamuk dapat
berkembang biak—biasanya di sungai-sungai dan anak-anak sungai yang tidak
beriak selama musim kemarau atau di cekungan-cekungan air hujan di hutan-hutan
selama musim hujan. Kemudian, seseorang perlu melindungi diri sendiri dari
nyamuk dengan menyemprot rumah dengan insektisida atau dengan menggunakan
kelambu yang sudah dicelup insektisida, khususnya untuk anak-anak.
Sebagian
dana berasal dari anggaran kesehatan, ditambah dukungan dari Dana Global (Global Fund) untuk AIDS, TBC dan
Malaria. Namun, kebanyakan orang harus membayar untuk melindungi diri mereka
sendiri. Seperti yang dapat anda bayangkan, yang paling parah terkena adalah
keluarga termiskin. Mereka tinggal di rumah-rumah dengan standar buruk dan
tidak mampu membeli kelambu. Termasuk penduduk miskin yang karena ingin mendapatkan
lahan lebih luas, berpindah ke pinggiran hutan. Begitu pula bila terjadi
bencana alam, seperti tsunami di Aceh, banyak yang mengungsi ke tempat-tempat
yang membuat mereka lebih mudah terserang. Bagi semua kelompok ini, prioritas
utama adalah pencegahan. Namun mereka juga perlu untuk memperoleh pengobatan.
Sekarang ini, pengobatan utama adalah dengan terapi kombinasi obat artemisin (artemisin combination therapy), yang
sangat efektif. Kenyataannya, di tempat-tempat di mana kasusnya lebih sedikit,
terapi pengobatan juga menjadi sebuah bentuk pencegahan yang penting.
Jika
tidak ada manusia yang terinfeksi, nyamuk tidak dapat membawa parasit. Ini
memutus siklus infeksi. Jadi tahap akhir dalam perjuangan melawan malaria
adalah pemberantasan. Daripada menunggu pasien mendatangi pusat-pusat
kesehatan, atau para pekerja kesehatan pergi berkeliling mencari kasus dan
mengobatinya. Seperti halnya dengan penyakit-penyakit menular lainnya, dalam
hal malaria pemerintah dapat mencapai kemajuan yang cukup besar, yaitu dengan
menciptakan lingkungan alam dan manusia yang lebih sehat. Ini membawa pemerintah
ke tujuan ketujuh.
Tujuan 7: Memastikan Kelestarian
Lingkungan
Pembangunan di Indonesia telah
banyak mengorbankan lingkungan alam. Pemerintah menebang pohon, merusak lahan,
membanjiri sungai-sungai dan jalur air serta atmosfer dengan lebih banyak
polutan. Tujuan MDGs ketujuh adalah untuk menghalangi kerusakan ini. Tujuan ini
menelaah seberapa besar wilayah Indonesia
yang tertutup oleh pohon. Ini penting bagi Indonesia karena Indonesia
memiliki sejumlah hutan yang paling kaya dan paling beragam di dunia. Namun,
tidak untuk jangka waktu yang terlalu lama lagi. Selama periode 1997-2000, pemerintah
kehilangan 3,5 juta ha hutan per tahun25, atau seluas propinsi
Kalimantan Selatan.
Namun
demikian, menurut Kementrian Kehutanan, Indonesia memiliki 127 juta hektar
“kawasan hutan”, yaitu sekitar dua pertiga luas wilayah. Kawasan ini dibagi
menjadi berbagai kategori dengan tingkat perlindungan yang berbeda. Kawasan
yang paling terlindungi adalah ”kawasan konservasi” dan ”hutan lindung”.
Kawasan dengan tingkat perlindungan lebih rendah adalah dua jenis ”hutan
produksi” yang digunakan untuk mendapatkan kayu atau hasil hutan lainnya—tetapi
dengan keharusan penanaman kembali. Yang paling rentan adalah kawasan yang
digolongkan “hutan konversi”, yang sesuai namanya bisa digunakan untuk
tujuan-tujuan lain.
Dua
pertiga wilayah Indonesia
adalah kawasan hutan. Citra satelit menunjukkan bahwa pada 2005, sepertiga dari
”kawasan hutan” tersebut hanya memiliki sedikit populasi pohon. Wilayah yang
sebenarnya berhutan hanyalah sekitar 94 juta hektar, atau sekitar 50% wilayah Indonesia. Saat
ini kawasan hutan hanya tersisa sedikit pohon dalam dua perlima area hutan
produksi. Sebaliknya, citra satelit juga menunjukkan bahwa sebagian dari lahan
yang tidak diperuntukkan sebagai hutan pada kenyataannya adalah hutan.
Salah
satu masalah utama adalah penebangan liar. Kayu sangat berharga sehingga banyak
perusahaan siap mencurinya, kadang-kadang lewat kolusi dengan pejabat setempat.
Kenyataannya, separuh kayu Indonesia
diperkirakan dihasilkan lewat pembalakan liar. Dalam beberapa kasus, lahan juga
dibuka untuk tujuan-tujuan lain seperti perkebunan kelapa sawit. Selain itu,
sebagian komunitas pedesaan yang kekurangan lahan juga telah merambah hutan
lebih jauh. Situasinya semakin rumit ketika pemerintah daerah mempunyai definisi
peruntukan lahan yang bertentangan dengan defenisi nasional.
Semua
ini menimbulkan masalah besar bagi penduduk yang menggantungkan penghidupan
pada hutan, khususnya sekitar 10 juta penduduk miskin, termasuk kelompok
masyarakat adat. Penggundulan hutan juga seringkali disertai dengan kebakaran hutan
yang menimbulkan masalah kesehatan yang serius selain memproduksi gas rumah
kaca yang dilepaskan dalam jumlah besar ke atmosfer. Penggundulan hutan juga
mengurangi keragaman hayati kita. Seperti yang sudah anda bayangkan, untuk indikator
MDGs ini, Indonesia
masih jauh dari target.
Di
tingkat nasional, pemerintah mempunyai niat yang benar. Pemerintah telah
berikrar untuk melindungi lingkungan. Namun pemerintah memiliki pengelolaan
yang buruk dan kesulitan dalam menegakkan peraturan. Pemerintah harus berbuat
lebih banyak untuk memberantas kejahatan dan korupsi di bidang kehutanan. Yang
juga perlu dilakukan adalah pengalihan pengendalian hutan kepada komunitas
setempat sehingga mereka bisa hidup dari hutan dan mendapatkan insentif untuk
mengelola dan melindungi hutan tersebut. Namun Indonesia juga memiliki banyak
sumber daya alam lain yang dengannya penduduk miskin bisa bertahan hidup, khususnya
lautan yang menjadi lapangan pekerjaan bagi 3 juta orang. Kenyataannya, sumber
daya kelautan di Indonesia
juga telah terkena dampak penggundulan hutan.
Penggundulan
hutan dan kerusakan lahan menyebabkan erosi berupa pengikisan lapisan tanah
oleh air hujan. Tanah tersebut mengalir bersama sungai ke laut sehingga
menghancurkan terumbu karang. Laut kita pun menghadapi resiko polusi lainnya,
khususnya tumpahan minyak. Sementara itu, di daratan kita dihadapkan pada
polusi limbah beracun, kimia dan pestisida—begitu pula polusi udara, khususnya
yang berasal dari industri dan semburan asap kendaraan bermotor. Secara
keseluruhan, lingkungan hidup Indonesia
telah cukup tercemar. MDGs tidak memiliki indikator untuk polusi, namun
memonitor seberapa besar penggunaan energi kita, karena banyak dari energi
tersebut merupakan hasil industrialisasi yang biasanya ikut berperan
mengkonsumsi lebih banyak energi.
Tinggal
satu tujuan MDGs lagi yang akan dibahas. Tentu saja energi yang sedang kita
bahas ini tidak berasal dari makanan namun dari berbagai jenis bahan bakar.
Konsumsi minyak bumi, Indonesia
berada di titik yang rendah pada 1998 menyusul krisis ekonomi. Sejak itu,
“intensitas energi” pemerintah meningkat terus hingga saat ini mencapai 95,3 kg
setara minyak per 1,000 $ (Kem. ESDM, 2006). Namun demikian, menggunakan lebih
banyak energi tidak serta-merta berarti lebih banyak pencemaran, khususnya jika
kita beralih menggunakan bahan bakar yang lebih bersih. Dalam kenyataannya,
salah satu indikator MDG lainnya jelas mencerminkan hal ini. Indikator tersebut
melihat pada proporsi penduduk yang menggunakan bahan bakar padat. Ini artinya
menggunakan kayu atau batubara, misalnya, dan bukan menggunakan minyak tanah,
atau LPG (Liquified Pertoleum Gas).
Memang proporsi penduduk yang menggunakan bahan bakar padat sudah turun secara
tajam, dari 70,2% pada 1989 menjadi 47,5% pada 2004.
Bahan
bakar padat biasanya lebih kotor karena menghasilkan uap dan asap. Ini beresiko
jika digunakan di rumah, khususnya bagi perempuan dan anak-anak karena bisa
terkena dampak buruknya. Tentu saja pemerintah juga perlu mengkhawatirkan emisi
bahan bakar lain yaitu “gas rumah kaca”, khususnya CO2 yang naik ke
lapisan atas atmosfer dan memanaskan planet ini.
Kebanyakan
gas rumah kaca berasal dari negara-negara kaya, dan negara-negara maju paling
banyak menghasilkan emisi industri. Namun banyak negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia,
juga menghasilkan banyak karbon dioksida (CO2). Pada tahun 2000
setiap orang mengeluarkan rata-rata 1,15 metrik ton karbon dioksida ke atmosfer.
Lebih dari separuhnya berasal dari industri, rumah tangga atau transportasi,
sementara sisanya berasal dari kehutanan dan pertanian. Pada tahun 2005,
tingkat emisi naik menjadi 1,34 metrik ton. Namun, angka-angka tersebut bisa
menjadi sangat besar bila memasukkan kebakaran hutan dan kehancuran lahan
gambut.
Gambut
adalah satu kandungan bahan-bahan organik yang membusuk. Di Indonesia memiliki
banyak hutan rawa di mana pembusukan tanaman berjalan sangat lambat. Selama
ribuan tahun, bahan-bahan tersebut menjadi satu lapisan gambut yang tebal,
bermeter-meter ke dalam tanah dan menyimpan milyaran ton karbon dioksida.
Ketika rawa dikeringkan atau gambut terbakar, banyak dari karbon dioksida tersebut
lepas ke atmosfer. Sejumlah LSM berpendapat bahwa kerusakan lahan gambut dengan
cepat mengubah Indonesia
menjadi salah satu penghasil emisi karbon dioksida terbesar di dunia.
Pada
saat ini, pemerintah tidak memiliki angka yang pasti. Pemerintah sedang
mengkaji isu tersebut dan akan memberikan perkiraan tentang apa yang sedang
terjadi. Apa pun cakupan kerusakanannya, jelas bahwa kerusakan hutan bukan saja
merusak lingkungan, tetapi juga menyumbang pada pemanasan global. Namun ini
bukan satu-satunya emisi yang harus di khawatirkan.
Kenyataan
yang sesungguhnya mungkin tidak terlalu dramatis. Ini merujuk pada penggunaan
bahan-bahan yang mengurangi “lapisan ozon”. Ozon membentuk satu lapisan perisai
yang melindungi bumi dari radiasi matahari yang merusak. Namun, lapisan ozon
dapat hilang oleh bahan-bahan seperti chlorofiuorocarbons
(CFC) yang telah digunakan dalam produk penyemprot aerosol dan lemari
pendingin. Indonesia
tidak dapat menghasilkan bahan-bahan kimia ini, namun kita menggunakannya,
sehingga tugas pertama adalah mengurangi impor bahan-bahan tersebut dan
berhenti menggunakan persediaan yang ada.
Selama
periode 1992-2002, dengan bantuan internasional Indonesia telah berhasil
menghapuskan 3.696 ton bahan-bahan perusak lapisan ozon. Sebaliknya, pemerintah
masih mengimpor secara ilegal bahan-bahan tersebut. Meskipun di satu sisi, pemerintah
makin mengurangi penggunaan sejumlah bahan yang merusak, pada saat yang sama pemerintah
menggunakan bahan-bahan lainnya lebih banyak lagi. Seringkali masalahnya
terletak pada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Seperti halnya regulasi
tentang hutan, pemerintah memiliki regulasi berkaitan dengan bahan-bahan
tersebut, namun pemerintah juga kesulitan untuk menjalankannya.
Dari
hutan dan gas, sekarang saatnya untuk beralih ke cairan dan khususnya air
minum. Tujuan MDG ketujuh antara lain menetapkan target untuk menurunkan
separuh dari proporsi penduduk yang tidak memiliki “akses yang berkelanjutan
terhadap air minum yang aman.”
Jika
seseorang mempunyai pendapatan rutin, seseorang dapat membeli air kemasan.
Indonesia merupakan konsumen air kemasan terbesar ke delapan di dunia dengan
konsumsi lebih dari 7 milyar liter per tahun pada 2004 dan dengan penjualan
yang semakin meningkat pesat. Namun demikian, sangatlah sulit untuk dapat
memahami bagaimana masyarakat mendapatkan akses dengan cara-cara seperti itu.
Dan MDGs tidak menganggap air kemasan sebagai sumber yang berkelanjutan bagi
kebanyakan orang. Jadi untuk itu indikator yang digunakan adalah proporsi
penduduk yang memiliki akses berkelanjutan terhadap satu ”sumber air yang
terlindungi (improved water source)”.
Itu
bisa saja sebuah sumur, misalnya, yang sudah diberi pembatas atau memiliki
pagar atau tutup untuk melindunginya dari kontaminasi hewan. Atau bisa saja air
sungai yang telah disaring oleh perusahaan air untuk menghilangkan hampir semua
sumber kontaminasi dan kemudian menyalurkannya melalui pipa. Air seperti itu
dapat dikatagorikan sebagai “air yang bersih” meskipun tidak bisa disebut air
minum yang aman. Bahkan ada berbagai standar yang berbeda tentang “kebersihan”
air. Satu standar, mensyaratkan bahwa sumber air paling tidak harus berjarak
minimal 10 meter dari tempat yang digunakan untuk pembuangan tinja.
Dengan
menggunakan standar tersebut, Susenas telah memberikan perkiraan. Angka
rata-rata nasional untuk Indonesia adalah 52,1%, meskipun angka ini bervariasi
dari 34% di Sulawesi Barat hingga 78% di Jakarta. Kecenderungan terkini di
tingkat nasional menunjukkan bahwa satu peningkatan yang perlahan namun pasti.
Untuk mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses pada 2015
berarti harus mencapai angka sekitar 80%.
Dengan
kemajuan yang dicapai hingga saat ini, nampaknya pemerintah hampir memenuhi
target. Namun, dalam kenyataannya, untuk dapat mencapai target minimal “air
bersih” akan sulit. Penyebabnya berbeda-beda antara kawasan perkotaan dengan
perdesaan. Di kawasan perdesaan sistem yang telah terpasang mencapai 50%,
tetapi tidak terpelihara dengan baik. Artinya, angka 50% pun bisa jadi hanya
perkiraan optimistis karena mencakup sistem yang tidak bekerja dengan baik.
Di
komunitas-komunitas yang menyebar, sistem yang didanai publik seringkali
bersumber pada sumur atau mata air. Namun, setelah sistem dipasang, mungkin
tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untuk memeliharanya. Atau mungkin
tenaga ahli yang awalnya ditugaskan untuk pemeliharaan sudah pindah. Di
perdesaan, pendekatan yang lebih baik bermula dari kebutuhan.
“Berdasar
kebutuhan” artinya komunitas harus memutuskan untuk diri mereka sendiri apa
yang mereka inginkan dan meminta bantuan dalam merencanakan dan membangun
pasokan air mereka. Karena mereka akan membayar bahan-bahan atau perlengkapan
yang digunakan, di masa mendatang mereka harus diberikan insentif untuk
memelihara sistem mereka tersebut. Pendekatan ini berjalan baik namun bisa
makan waktu lama. Sebaliknya, situasi di kota-kota besar dan kecil berbeda. Di
pedesaan harus lebih jelas siapa yang menjalankan sistem.
Tanggung
jawab keseluruhan dipegang oleh pemerintah daerah. Namun, tugas mereka menjadi
lebih sulit karena tidak efisiennya perusahaan daerah air minum (PDAM) yang
menyediakan air baik melalui jaringan pipa ke rumah tangga-rumah tangga atau
kepada penduduk secara umum melalui hidran air. PDAM tidak efisien antara lain
karena mereka tidak punya biaya untuk melakukan investasi. Biasanya mereka
tidak diijinkan untuk menaikkan harga sesuai dengan kebutuhan mereka dan sering
menyalurkan air dengan harga di bawah semestinya. Beberapa bupati juga
menganggap PDAM sebagai satu sumber pemasukan yang mudah. Tidak mengherankan
jika banyak PDAM yang mempunyai banyak utang. Selain itu, banyak dari
infrastruktur yang rusak. Di Jakarta, misalnya, sekitar separuh dari air PDAM
bocor keluar dari pipa-pipa bawah tanah. Penduduk yang mendapat akses ke
jaringan pipa adalah penduduk yang beruntung. Saat ini sekitar sepertiga dari
rumah tangga di perkotaan mendapatkan akses jaringan pipa air ke rumah mereka
dan jumlahnya tidak bertambah dengan cepat. Antara 1990 dan 2005, cakupan air pipa
hanya meningkat 3%.
Kebanyakan
dari mereka, tergantung pada hidran air, menggunakan air sumur atau air sungai.
Yang paling tidak beruntung adalah komunitas termiskin yang tidak mampu
membayar pemasangan jaringan pipa air, yang juga dipastikan tidak akan
menjangkau mereka yang hidup di permukiman kumuh. Ini berarti pada akhirnya
mereka harus membayar dari pedagang keliling dengan harga 10 hingga 20 kali
lipat dibandingkan harga yang harus dibayar bila mendapatkan pasokan air dari
jaringan pipa air minum.
Jelas,
pemerintah harus lebih banyak menanamkan investasi untuk pemasokan air. Namun, pemerintah
juga membutuhkan sistem pendanaan yang layak yaitu dengan mendapat pemasukan
dari penduduk yang lebih kaya sementara memberikan subsidi yang tepat sasaran kepada
yang miskin. Pasokan air yang terlindungi juga harus disertai dengan sistem
sanitasi yang lebih baik karena dua hal tersebut saling berkaitan, seringkali
bahkan sangat dekat.
Sebagian
besar karena sistem sanitasi yang buruk mencemari pasokan air. Seperti yang
sudah diperkirakan, ada satu target MDGs untuk sanitasi. Target tersebut adalah
untuk mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses ke
sanitasi yang aman.
Seseorang
dapat memiliki sebuah toilet sistem guyur (flush)
di rumah yang terhubungkan dengan saluran pembuangan utama. Namun, hanya
sedikit saja yang bisa memilikinya. Kebanyakan orang tergantung pada jamban
dengan tangki septik atau bisa juga menggunakan toilet umum. “Sanitasi yang
tidak aman”, yang ditanyakan, dapat berupa penggunaan kolam, sawah, sungai atau
pantai. Seseorang mungkin terkejut mengetahui bahwa Indonesia telah memenuhi target
sanitasi. Pada 1990, proporsi rumah tangga yang memilki sanitasi yang aman
sekitar 30%. Jadi target untuk tahun 2015 adalah 65%. Pada 2006, rata-ratanya
adalah 69,3%.
Sayangnya,
banyak sistem tersebut di bawah standar. Banyak sistem yang didasarkan pada
tangki septik yang sering bocor dan mencemari air tanah. Jadi meskipun sistem
tersebut mungkin lebih aman bagi para pengguna toilet, mereka sangat tidak aman
untuk pasokan air. Seseorang mungkin sadar bahwa pada 1990 pemerintah memulai
dengan tingkat yang rendah sehingga target yang ditetapkan tidak terlalu
tinggi. Nampaknya, pemerintah mungkin cukup berhasil namun bisa jadi itu hanya
ilusi. Pemerintah perlu menanamkan investasi lebih banyak.
Satu
perkiraan menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun ke depan, biaya keseluruhan
mencapai sekitar $10 milyar. Investasi tersebut diharapkan berasal dari rumah
tangga maupun pemerintah dan harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Hasilnya
akan terjadi penghematan biaya yang besar, mulai dari berkurangnya biaya
pengobatan hingga penghematan waktu untuk tidak perlu mengantri di toilet umum.
Sejumlah ahli ekonomi memperkirakan bahwa, untuk setiap rupiah yang
diinvestasikan oleh pemerintah dapat menghasilkan keuntungan sepuluh kali
lipat.
Di
pedesaan, orang biasanya memulai dengan sesuatu yang sederhana, misalnya sebuah
jamban cemplung dan kemudian berganti menjadi jamban dengan tangki septik. Di
kawasan perkotaan, situasinya lebih sulit karena lebih terbatasnya ruang.
Penduduk termiskin pada awalnya paling tidak akan terus menggunakan toilet
umum. Dalam jangka lebih panjang pemerintah perlu mencari cara untuk
menyediakan sistem saluran air limbah umum sehingga semakin banyak orang dapat
mengaksesnya. Seperti halnya pasokan air, peningkatan tidak akan terjadi tanpa
keterlibatan masyarakat. Orang harus menyadari betapa pentingnya sanitasi yang
baik dan merencanakan bersama sistem mereka sendiri. Sementara, pemerintah
dapat memberikan dukungan. Namun demikian, menanamkan investasi dalam satu
sistem sanitasi mungkin akan sama maknanya dengan investasi untuk memiliki
rumah.
Membuat
satu sistem sanitasi yang baik akan menambah nilai rumah itu sendiri. Ini juga akan
membawa pemerintah lebih dekat ke target terakhir dalam tujuan ini yang
berkaitan dengan perumahan, dan khususnya dengan peningkatan hidup para
penghuni kawasan kumuh. Setidaknya,
Indonesia telah
mengalami banyak kemajuan. Sekitar 15 tahun lalu, hanya 20% dari rumah tangga
mempunyai kepemilikan tanah yang sah. Sekarang hampir semua orang memiliki hak
milik yang sah berkat kampanye besar-besaran dari Badan Pertanahan Nasional
untuk meningkatkan kepemilikan lahan. Dan seperti yang sudah dikatakan orang, seseorang
juga cenderung untuk memiliki rumah sendiri. Paling tidak empat per lima dari orang memiliki
atau menyewa rumah.
Antara
1999 dan 2004, lahan yang digunakan untuk kawasan kumuh meningkat dari 47.000
menjadi 54.000 hektar. Secara keseluruhan, sekitar 15 juta rumah masuk kategori
di bawah standar. Masalah utamanya, semakin banyak manusia berdesakan di
kota-kota, yaitu 42% penduduk negeri ini. Kementrian Pekerjaan Umum
memperkirakan bahwa pemerintah memiliki tunggakan pembangunan sebanyak 6 juta
rumah dan memerlukan 1 juta rumah baru setiap tahunnya. Untuk sebagian besar
orang, yang menjadi masalah adalah kemiskinan. Seseorang hanya dapat membangun
sebuah rumah apabila orang tersebut memiliki tabungan yang memadai atau dapat
meminjam dari keluarga atau teman-teman. Hanya sedikit orang yang dapat
memperoleh pinjaman dari bank. Untuk itu orang perlu pekerjaan tetap, yang
hanya dimiliki oleh seperempat dari bangsa Indonesia.
Namun,
jika seseorang bisa mendapatkan dana yang diperlukan, orang tersebut mestinya
mampu membangun rumah di tempat yang memiliki layanan seperti air, listrik dan
sanitasi. Untuk itu, diperlukan investasi publik, yang seringkali mengandalkan
pada pinjaman luar negeri. Tujuan MDGs yang terakhir melihat ke luar Indonesia untuk
menelaah bagaimana hubungan pemerintah dengan dunia luar.
Tujuan 8: Mengembangkan Kemitraan
Global untuk Pembangunan
Tujuan
MDGs terakhir ini, terkait dengan kerjasama internasional, yaitu menelaah
isu-isu seperti perdagangan, bantuan dan utang internasional. Namun, dalam
kenyataan, sebagian besar target dan indikator ditujukan untuk negara-negara
maju agar membantu negara-negara termiskin dalam mencapai tujuan-tujuan MDGs
lainnya.
Kenyataannya,
beberapa negara berkembang di kawasan Asia Pasifik saat ini menawarkan bantuan
kepada negara-negara berkembang lainnya. Dan Indonesia juga dapat mengupayakan
berbagai cara untuk membantu negara-negara tetangganya yang masih miskin. Namun
yang paling utama, kepentingan Indonesia
yang sebenarnya adalah mencermati apa saja dampak kebijakan negara-negara yang
lebih kaya pada Indonesia.
Misalnya di bidang perdagangan, khususnya ekspor. Memroduksi barang untuk
ekspor, akan menghasilkan lebih banyak lapangan pekerjaan dan membantu orang
untuk keluar dari kemiskinan. Di masa lalu, sebagian besar ekspor Indonesia
adalah bahan-bahan mentah seperti minyak bumi, kayu dan minyak kelapa sawit.
Namun, sejak 1980-an, banyak usaha yang mulai menanamkan investasi dalam
pabrik-pabrik yang membuat barang-barang manufaktur sederhana untuk diekspor,
seperti pakaian dan alas kaki. Sekarang ini, lebih dari separuh ekspor Indonesia
merupakan produk industri. Itulah caranya Indonesia bergabung dalam gelombang
globalisasi mutakhir.
Tidak
semua globalisasi perlu didukung. Mereka yang menolak, berpendapat bahwa semua
aliran barang dan uang internasional serta informasi, hanya memungkinkan negara-negara
kaya untuk mengeksploitasi negara-negara miskin. Pihak lain berpendapat bahwa
mereka harus menerima globalisasi, tetapi globalisasi dengan cara-cara yang
benar. Artinya, harus dipastikan bahwa perdagangan internasional dilakukan
seadil mungkin sehingga semua negara memiliki peluang yang sama. Perdagangan
juga harus adil bagi para pekerja. Oleh karena itu, mereka yang diperkerjakan
di industri-industri untuk ekspor harus memperoleh gaji dan kondisi kerja yang
layak. Kenyataannya, Indonesia menunjukkan minatnya yang
besar untuk meningkatkan perdagangan internasional, baik ekspor maupun impor.
Hasilnya, ada yang beruntung, ada yang merugi.
Perusahaan-perusahaan
yang tidak mampu bersaing dengan produk impor berharga rendah. Beras, sebagai
contoh. Impor beras murah dipastikan akan menurunkan harga beras di pasar Indonesia. Ini
baik bagi mayoritas konsumen, tetapi pada saat yang sama dapat mengurangi
penghasilan petani.
Harus
ada keputusan pemerintah seberapa “terbuka” sebaiknya perekonomian Indonesia.
Terbuka sambil sedikit mengontrol impor, tidak otomatis merugikan
perusahaan-perusahaan dalam negeri. Bahkan seringkali, hal ini dapat membuat
mereka menjadi lebih efisien. Perusahaan-perusahaan tersebut akan terdorong
untuk berkonsentrasi pada produk terbaiknya. Namun, bisa jadi, pemerintah masih
ingin melindungi sejumlah industri dengan tarif dan langkah-langkah lain.
Paling tidak untuk sementara. Mungkin pemerintah ingin melindungi industri
kebutuhan dasar agar bisa bersaing di tingkat internasional.
Hampir
semua kebutuhan jasa masyarakat Indonesia,
dilayani oleh pihak dalam negeri. Tetapi, ada juga yang dibeli dari perusahaan-perusahaan
asing yang beroperasi di sini. Banyak juga perusahaan ingin berinvestasi di Indonesia dan
negara-negara berkembang lainnya dalam hal pelayanan listrik dan air. Sebagai
contoh, Indonesia
sudah memiliki dua pemasok air swasta di tingkat kotamadya di Jakarta. Dalam perundingan dengan Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade
Organization/WTO), banyak negara meminta agar diberi lebih banyak peluang
untuk menjual jasa kepada pihak asing. Banyak orang yang menentang hal ini.
Mereka percaya bahwa layanan tertentu, seperti air atau sanitasi, harus
disediakan oleh negara dan tidak boleh dijalankan oleh perusahaan-perusahaan
swasta, baik asing maupun dalam negeri. Karena hal ini akan mengurangi akses
penduduk miskin.
Umumnya,
perusahaan-perusahaan swasta hanya memusatkan pada pelanggan kaya dan
mengabaikan pelangggan miskin. Sebaliknya, gabungan penyediaan layanan publik
dan swasta dapat menghasilkan layanan yang lebih efisien. Bahkan penduduk
miskin mungkin akan bersedia untuk membayar jika mereka merasa akan mendapatkan
layanan yang baik. Pemerintah perlu memastikan akses bagi semua orang, tidak
perduli siapa pun penyedia layanan tersebut. Seberapa terbuka pemerintah dalam
perdagangan barang dan jasa sebagian besar merupakan pilihan pemerintah, namun
masalah ini juga menjadi bagian perundingan dalam WTO. Perundingan-perundingan
tersebut juga mencakup hal-hal tentang apakah pemerintah bisa menggunakan
turunan obat “generik” yang murah untuk HIV dan penyakit-penyakit lain, atau
apakah pemerintah harus membeli obat-obatan dengan harga mahal dari
perusahaan-perusahaan internasional.
Salah
satu target yang menjadi bagian tujuan ke-8 MDGs adalah ”lebih jauh
mengembangkan sistem perdagangan dan keuangan yang terbuka, berbasis peraturan,
mudah diperkirakan, dan tidak disriminatif.” Singkat kata, ini berarti
perdagangan yang berkeadilan dan WTO adalah tempat di mana masalah-masalah
tersebut semestinya ditangani. Sayangnya, perundingan putaran terakhir, yang
disebut “Putaran Doha (Doha Round)”,
gagal terutama karena negara-negara maju ingin memberikan proteksi terlalu
banyak pada petani mereka sendiri. Ke depan, perundingan-perundingan tersebut
mungkin bisa berlanjut. Namun Indonesia,
serta banyak negara-negara berkembang lainnya, yakin bahwa pemerintah sudah
cukup banyak memberikan konsesi. Kini, gilirannya negara-negara kaya untuk
merespon. Selain itu, negara-negara kaya didorong untuk memberikan bantuan luar
negeri. Hal ini, sesuai dengan janji mereka untuk memberikan bantuan sebesar
0,7% dari total pendapatan nasional dalam bentuk “bantuan pembangunan resmi” (ODA; Official Development Assistance)
untuk negara-negara miskin.
Di
masa lalu, banyak ”pengeluaran pembangunan” negeri ini, tergantung pada bantuan
luar negeri, yang digunakan untuk membangun infrastruktur seperti jalan raya. Pemerintah
biasanya menerima bantuan setara dengan 40% pengeluaran pembangunan. Bahkan, di
tahun-tahun tertentu, bantuan yang di terima lebih besar dari angka tersebut.
Penyandang
dana terbesar adalah Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan Jepang. Kebanyakan
bantuan tersebut dalam bentuk utang. Orang mungkin berpikir bantuan tersebut
terutama digunakan untuk mengentaskan kemiskinan atau untuk meningkatkan
kesehatan dan pendidikan. Ternyata tidak. Sebagian besar digunakan untuk
pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan, yang bisa mengentaskan
kemiskinan, meskipun tidak langsung. Selama beberapa tahun terakhir, banyak
bantuan yang digunakan untuk pembangunan kembali pascabencana, pasca tsunami
dan gempa bumi di Yogyakarta. Untuk 2006-2007,
misalnya, pemerintah dijanjikan memperoleh bantuan, baik berupa utang dan
hibah, sebesar 5,4 milyar dollar. Kebanyakan penyandang dana memusatkan hibah
mereka untuk negara-negara yang lebih miskin. Indonesia tidak masuk kualifikasi
penerima hibah, kecuali ketika dilanda bencana.
Pemerintah
perlu mempertimbangkan beban utang. Pada 2007, pemerintah Indonesia
memutuskan tidak lagi membutuhkan pertemuan tahunan para penyandang dana untuk Indonesia yang
disebut Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (Consultative Group on Indonesia). Pemerintah ingin lebih banyak
memegang kendali dalam proses dan langsung berunding dengan para penyandang
dana. Selain itu, pemerintah yakin harus lebih banyak menggalang dana dari
pasar keuangan lewat penjualan obligasi ketimbang dari para penyandang dana.
Baik
utang yang berasal dari pinjaman maupun lewat penjualan obligasi, pemerintah
harus membayar bunganya dan akhirnya harus siap untuk membayar kembali pokok
utang. Kenyataannya, satu masalah besar dalam mencapai MDGs karena pengeluaran Indonesia saat
ini, terlalu banyak dipakai untuk pembayaran kembali utang, sehingga tak cukup
anggaran bagi kesehatan atau pendidikan. Pasca krisis moneter, terjadi
peningkatan sangat tajam. Tetapi, kebanyakan dari utang tersebut bukan utang
internasional melainkan utang dalam negeri berupa pinjaman dari lembaga-lembaga
domestik, meskipun sebenarnya pemerintah tidak ”meminjam” uang tersebut dengan
cara konvensional.
Yang
terjadi adalah bahwa setelah krisis ekonomi pada 1997, banyak bank di Indonesia yang
mempunyai kredit macet pada perusahaan-perusahaan lokal berada dalam ambang
kebangkrutan. Pemerintah sangat cemas bahwa sistem perbankan akan runtuh
sehingga mereka campur tangan untuk menyelamatkan beberapa bank tersebut. Untuk
melakukan itu, pemerintah menerbitkan obligasi pemerintah bernilai milyaran
dolar dan memberikannya kepada bank-bank tersebut untuk digunakan sebagai
modal. Ini artinya mereka menjadi sehat lagi. Biasanya, pemerintah menerbitkan
obligasi dan kemudian menjualnya untuk mendapatkan dana. Namun, dalam hal ini
mereka tidak mendapatkan uang sebagai gantinya. Yang pemerintah peroleh adalah
bank-bank yang lebih sehat. Namun, pemerintah masih tetap terjebak dalam utang
dan harus membayar bunga obligasi tersebut kepada bank atau siapa pun yang
memilikinya. Biaya yang dipikul terbilang mahal.
Saat
ini, ’pelunasan’ utang mencapai sekitar 26% dari pengeluaran pemerintah. Memang
pemerintah sekarang lebih banyak mengeluarkan dana untuk membayar bunga
pinjaman daripada untuk pendidikan, atau kesehatan. Jadi orang dapat mengatakan
bahwa pemerintah membayar ketidakmampuan para pemilik bank yang kaya dengan
mengorbankan orang miskin. Namun, pemerintah berpendapat bahwa mereka tidak
mempunyai pilihan. Runtuhnya sistem perbankan akan membuat segala sesuatu lebih
buruk bagi siapapun, miskin atau kaya. Terlepas dari apakah keputusan tersebut
benar atau salah, sekarang pemerintah harus menanggung akibatnya. Pada 2006,
pemerintah masih berutang $144 milyar.
Hampir
separuh utang pemerintah merupakan utang dalam negeri, dari bank-bank yang
menggunakannya sebagai modal. Sisanya, yaitu sekitar 67,7 milyar dollar,
merupakan utang kepada lembaga-lembaga luar negeri. Sebagian diantaranya
merupakan utang kepada para penyandang dana bilateral yang meminjamkan uang
kepada Indonesia
sebagai bagian dari program bantuan mereka atau untuk membantu Indonesia
membeli sebagian ekspor mereka. Sisanya adalah utang kepada para penyandang
dana “multilateral” seperti Bank Dunia (World
Bank) atau Bank Pembangunan Asia (Asian
Development Bank/ADB).
Pemerintah
Indonesia
tak mungkin ”ngemplang” utang dalam negeri karena akan mengakibatkan tumbangnya
banyak bank dalam negeri. Pemerintahpun tidak bisa begitu saja ”mogok” membayar
utang internasional karena akan membuat Indonesia terputus dari pasar
keuangan dunia dan mungkin akan memicu krisis keuangan baru. Namun, pemerintah
bisa menawar. Pemerintah bisa meminta “penghapusan utang” kepada para
penyandang dana multilateral dan bilateral. Pemerintah melakukannya beberapa
dasawarsa lalu dan mereka menghapus sebagian utang Indonesia. Namun, saat ini,
semuanya menjadi lebih sulit. Para penyandang
dana internasional masih memberikan penghapusan utang, namun hanya kepada
negara-negara yang sangat miskin. Saat ini, Indonesia adalah negara
berpenghasilan menengah sehingga tidak masuk kategori layak memperoleh
penghapusan utang. Ketika meminta penghapusan utang, kita juga harus mau dikaji
oleh Dana Moneter Internasional (International
Monetary Fund/IMF).
Dalam
kenyataannya, pemerintah telah sengaja membayar semua utangnya kepada IMF agar Indonesia tidak
harus mengikuti persyaratan IMF. Namun, masih ada hal-hal yang dapat Indonesia
lakukan untuk mengurangi utang, paling tidak, sedikit. Salah satu pilihan
adalah dengan mendorong para penyandang dana bilateral untuk melibatkan diri
dalam pertukaran atau ”konversi utang” (debt
swaps).
Namun,
sejumlah penyandang dana bilateral siap untuk menghapuskan sebagian utang pemerintah
jika pemerintah membelanjakan jumlah yang sama untuk pembangunan. Jerman,
misalnya, sepakat dengan Indonesia
untuk menghapuskan utang bilateral bernilai sekitar 135 juta dollar AS jika
pemerintah Indonesia
menggunakan dana tersebut untuk proyek-proyek pendidikan dan lingkungan.
Sayangnya, skema seperti itu biasanya hanya dalam jumlah kecil (jumlah
keseluruhan utang kita kepada Jerman adalah 1,3 milyar dollar AS). Sekali lagi,
aturan-aturan internasional tidak memungkinkan Indonesia untuk menukarkan utang
dalam jumlah yang sangat besar.
Bersama
dengan negara-negara berkembang lainnya, Indonesia harus menyatakan bahwa
tingkat utang yang tinggi menghambat pencapaian MDGs, jadi semestinya negara
seperti Indonesia
layak untuk mendapatkan semacam penghapusan utang. Kenyataannya, untuk banyak
isu di Tujuan 8, baik tentang perdagangan, bantuan atau utang, pemerintah maupun
masyarakat sipil harus melawan status quo
di tingkat internasional. Pemerintah cukup bangga untuk melaporkan upaya-upaya pemerintah
sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang sudah di sepakati. Namun,
negara-negara maju juga perlu memantau aktivitas-aktivitas mereka.
Tujuan-Tujuan Pembangunan Milenium juga merupakan tanggung jawab internasional.
Target MDGs
Tujuan 1: Memberantas Kemiskinan
dan Kelaparan Ekstrem
Target 1A: Menurunkan proporsi
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan menjadi setengahnya antara
1990-2015.
Menggunakan
garis kemiskinan nasional, angka kemiskinan Indonesia pada 1990 adalah 15,1%.
Dasar penghitungan berubah pada 1996, sehingga sebenarnya data setelah itu
tidak bisa begitu saja dibandingkan dengan data-data dari tahun-tahun sebelumnya.
Seandainya kita menggunakan dasar penghitungan saat ini, angka pada 1990 akan
sedikit lebih tinggi dari 15,1%. Namun, karena belum ada perhitungan ulang,
artikel ini menggunakan angka 15,1%. Pada 2006, terjadi peningkatan kemiskinan
yang kemudian sedikit menurun pada 2008 menjadi 15,4%. Mencermati berbagai
kecenderungan akhir-akhir ini, seharusnya masih mungkin untuk mengurangi
kemiskinan menjadi 7,5% pada 2015. Sementara, menggunakan garis kemiskinan 1
dollar per hari, situasi sepenuhnya berbeda. Berbasiskan ukuran tersebut, Indonesia telah
mencapai target karena berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dari 21% (1990)
menjadi7,5% pada 2006. Dua indikator lain memberikan informasi pelengkap.
Indikator yang lebih rumit adalah ”rasio kesenjangan kemiskinan (poverty gap ratio)” yang mengukur
perbedaan antara penghasilan rata-rata penduduk miskin dengan garis kemiskinan.
Pada 1990 rasio-nya adalah 2,7% dan 2,8% pada 2008, menunjukkan bahwa situasi
penduduk miskin belum banyak mengalami perubahan. Indikator yang lebih
sederhana adalah indikator penyebaran penghasilan: total jumlah konsumsi
penduduk termiskin secara nasional adalah 20%. Inipun belum banyak berubah.
Antara tahun 1990 dan 2008, angkanya berada pada sekitar 9%.
Target 1B: Menyediakan seutuhnya pekerjaan
yang produktif dan layak, terutama untuk perempuan dan kaum muda.
Untuk mengukur kemajuan pencapaian
target ini, empat buah indikator digunakan; yaitu: (i) pertumbuhan PDB per
proporsi jumlah pekerja/ produktivitas pekerja, (ii) rasio pekerja terhadap
populasi, (iii) proporsi pekerja yang hidup dengan kurang dari $1 per-hari/
pekerja miskin dan (iv) proporsi pekerja yang memiliki rekening pribadi dan
anggota keluarga bekerja terhadap Kemajuan pencapaian target ini diindikasikan
dengan semakin tingginya rasio, yang artinya semakin tingginya angkatan kerja
yang mendapatkan pekerjaan. Data terakhir terkait pekerja miskin di Indonesia
adalah 8,2% (2006), dan belum beranjak jauh dari pencapaian tahun 2002. Pekerja
renran di Indonesia
mengalami sedikit penurunan semenjak tahun 2003, meskipun mayoritas pekerja
(62%) masih tergolong sebagai pekerja yang rentan. Produktivitas pekerja juga
mengalami peningkatan yang cukup baik, di mana rata-rata per-tahunnya mencapai
4,3% dalam periode tahun 2000 hingga 20072 .
Menurunkan proporsi penduduk yang
menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990 dan 2015.
Indikator pertama adalah prevalensi
anak usia di bawah lima
tahun (balita) dengan berat badan kurang. Angka saat ini adalah 28% dan
nampaknya akan meningkat. Dengan angka ini, jelas kita tidak (akan) mencapai
target. Indikator kedua adalah proporsi penduduk yang mengkonsumsi kebutuhan
minimum per-harinya. Dengan menggunakan perhitungan FAO, tampaknya Indonesia masih
berada di jalur yang benar untuk mencapai target MDGs ini.
Tujuan 2: Mewujudkan Pendidikan
Dasar untuk Semua
Target 2A: Memastikan bahwa pada
2015 semua anak di manapun, laki-laki maupun perempuan, akan bisa menyelesaikan
pendidikan dasar secara penuh.
Terdapat dua indikator yang relevan.
Pertama, untuk tingkat partisipasi di sekolah dasar, Indonesia telah mencapai angka
94,7%. Berdasarkan kondisi ini, kita dapat mencapai target 100% pada 2015.
Indikator kedua berkaitan dengan kelulusan, yaitu proporsi anak yang memulai
kelas 1 dan berhasil mencapai kelas 5 sekolah dasar. Untuk Indonesia,
proporsi tahun 2004/2005 adalah 81%. Namun, sekolah dasar berjenjang hingga
kelas enam. Karena itu, untuk Indonesia
lebih pas melihat pencapaian hingga kelas enam. Jumlahnya adalah 77% dengan
kecenderungan terus meningkat. Artinya, kita bisa mencapai target yang
ditetapkan. Data kelulusan yang digunakan dalam artikel ini berasal dari
Kementerian Pendidikan Nasional berdasarkan data pendaftaran sekolah. Berbeda
dengan Susenas (2004), yang menghitung angka yang jauh lebih besar, yaitu
sekitar 95%.
Indikator ketiga untuk tujuan ini
adalah angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Dalam hal ini, nampaknya
kita cukup berhasil dengan pencapaian 99,4%. Meskipun demikian, kualitas melek
huruf yang sesungguhnya mungkin tidak setinggi itu karena tes baca tulis yang
diterapkan oleh Susenas terbilang sederhana.
Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan
Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Target 3A: Menghilangkan
ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan,
lebih baik pada 2005, dan di semua
jenjang pendidikan paling lambat tahun 2015.
Yang
menjadi indikator utama adalah rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di
pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi. Di sini, Indonesia tampaknya sudah
mencapai target, dengan rasio 100% di sekolah dasar, 99,4% di sekolah lanjutan
pertama, 100,0% di sekolah lanjutan atas, dan 102,5% di pendidikan tinggi.
Indikator kedua adalah rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki untuk
usia 15-24 tahun. Di sinipun, nampaknya kita telah mencapai target dengan rasio
99,9%. Indikator ketiga adalah sumbangan perempuan dalam kerja berupah di
sektor non-pertanian. Di sini kita masih jauh dari kesetaraan. Nilainya saat
ini hanya 33%. Indikator keempat adalah proporsi perempuan di dalam parlemen,
dimana proporsinya saat ini hanya 11,3%.
Tujuan 4: Menurunkan Angka Kematian
Anak
Target 4A: Menurunkan angka
kematian balita sebesar dua pertiganya antara 1990 dan
2015.
Karena
itu, indikator utama tujuan ini adalah angka kematian anak di bawah lima tahun (balita).
Target MDGs adalah untuk mengurangi dua pertiga angka tahun 1990. Saat itu,
jumlahnya 97 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Target saat ini adalah 32
kematian per 1.000 kelahiran hidup. Dengan demikian, Indonesia cukup berhasil. Indikator
kedua adalah proporsi anak usia satu tahun yang mendapat imunisasi campak.
Angka ini telah meningkat,menjadi 72% untuk bayi dan 76% untuk anak dibawah 23
bulan pada 2006, namun perlu lebih ditingkatkan lagi.
Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu
Target 5A: Menurunkan angka
kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara 1990 dan 2015.
Data tersedia yang terdekat dengan
tahun 1990 berasal dari tahun 1995. Berdasarkan data-data tersebut, target yang
harus dicapai adalah 97. Melihat kecenderungan saat ini, Indonesia tidak
akan mencapai target. Indikator kedua yaitu proporsi persalinan yang ditolong
oleh tenaga kesehatan terlatih, saat ini menunjukkan angka 73%.
Target 5B: Mencapai dan menyediakan
akses kesehatan reproduksi untuk semua pada
2015.
Penggunaan kontrasepsi oleh wanita
usia 15-49 tahun meningkat menjadi 61.0%. Perawatan antenatal juga mengalami
peningkatan. Akan tetapi, dengan keterbatasan data, sulit untuk mengukur sejauh
mana pencapaian target akses untuk kesehatan reproduksi.
Tujuan 6: Memerangi HIV dan ADIS,
Malaria serta Penyakit Lainnya
Target 6A: Menghentikan dan mulai
membalikkan tren penyebaran HIV dan AIDS pada
2015.
Prevalensi saat ini adalah 5,6 per
100.000 orang di tingkat nasional namun pada saat ini tidak ada indikasi bahwa
kita telah menghentikan laju penyebaran HIV dan AIDS. Meskipun demikian, kita
semestinya bisa melakukannya. Hampir semua data yang ada berikut ini, terkait
dengan kelompok-kelompok beresiko tinggi.
Prevalensi HIV–para
pengguna napza jarum suntik 2003: Jawa Barat, 43%. PSK perempuan 2003: Jakarta, 6%; Tanah Papua
17%. PSK laki-laki 2004: Jakarta,
4%. Narapidana 2003: Jakarta,
20%.
Tes–melakukan
tes selama 12 bulan terakhir dan mengetahui hasilnya, 2004-2005: PSK perempuan,
15%; pelanggan pekerja seks, 3%; pengguna napza jarum suntik 18%; laki-laki
yang berhubungan seks dengan laki-laki, 15%.
Pengetahuan–proporsi
kelompok yang tahu bagaimana mencegah infeksi dan menolak kesalahpengertian
utama 2004: PSK, 24%; pelanggan pekerja seks, 24%; laki-laki yang berhubungan
seks dengan laki-laki, 43%; pengguna napza jarum suntik, 7%.
Target 6B: Tersedianya akses
universal untuk perawatn terhadap HIV/AIDS bagi yang memerlukan, pada 2010.
Untuk target ini, belum ada data
tersedia.
Target 6B: Menghentikan dan mulai
membalikkan kecenderungan persebaran malaria dan penyakit-penyakit utama
lainnya pada 2015.
Malaria—tingkat kejadian hingga 18.6
juta kasus per tahun. Jumlah ini mungkin sudah
turun.
Tuberkulosis (TBC) – Prevalensi: 262 per 100.000 atau setara dengan 582.000
kasus setiap tahunnya. Deteksi kasus: 76%. Angka keberhasilan pengobatan DOTS:
lebih dari 91%.
Tujuan 7: Memastikan Kelestarian
Lingkungan
Target 7A: Memadukan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program negara
serta mengakhiri kerusakan sumberdaya alam.
Indikator pertama adalah proporsi
lahan berupa tutupan hutan. Berdasar citra satelit, jumlahnya sekitar 49,9%,
atau bahkan mungkin sudah lebih rendah dari angka tersebut. Namun, citra landsat merupakan citra satelit dengan
resolusi rendah dan mungkin tidak terlalu sesuai untuk melacak perubahan.
Indikator lain adalah rasio kawasan lindung untuk mempertahankan keragaman
hayati. Pada 2006 rasio tersebut adalah 29,5% meskipun sebagian dari jumlah
tersebut telah dirambah. Sejauh ini, angka terkini tentang emisi karbon
dioksida per kapita adalah 1,34 sedangkan konsumsi bahan-bahan perusak lapisan
ozon masih pada tingkat 6.544 metrik-ton. Proporsi rumah tangga yang
menggunakan bahan bakar padat pada 2004 adalah 47,5%.
Target 7B: Mengurangi laju
hilangnya keragaman hayati, dan mencapai pengurangan yang signifikan pada 2010.
Belum ada data terbaru mengenai hal
ini
Target 7C: Menurunkan separuh
proporsi penduduk yang tidak memiliki akses yang berkelanjutan terhadap air
minum yang aman dan sanitasi dasar pada 2015.
Pada tahun 2006, 57,2% penduduk
memiliki akses terhadap air minum yang aman dan meskipun masih ada jarak,
pemerintah hampir berhasil untuk mencapai target 67%. Untuk sanitasi pemerintah
nampaknya telah melampaui target 65%, karena telah mencapai cakupan sebesar
69.3%, meskipun banyak dari pencapaian ini berkualitas rendah.
Target 7D: Pada 2020 telah mencapai
perbaikan signifikan dalam kehidupan (setidaknya) 100 juta penghuni kawasan
kumuh.
Meskipun 84% rumah tangga telah
memiliki hak penguasaan yang aman, baik dengan memiliki ataupun menyewa, tetapi
jumlah komunitas kumuh yang memiliki akses terbatas pada layanan dan keamanan
semakin meningkat.
Tujuan 8: Mengembangkan Kemitraan
Global untuk Pembangunan
Target 8:
Tidak ada
PENUTUP
Peran Pemerintah Daerah dalam
Menyukseskan MDGs
MDGs yang diformulasikan secara
bersama pada tingkat global, dalam beberapa aspek bisa saja disesuaikan dengan
situasi dan kondisi Indonesia,
baik di tingkat pusat maupun daerah. Pencapaian tujuan MDGs sebagian besar
berada di pundak pemerintah propinsi dan kabupaten. Kabupaten dengan mantap
mulai mengambil alih lebih banyak pengeluaran rutin pemerintah. Jadi pemerintah
daerah seharusnya dapat lebih berperan.
Masalah
informasi jelas masih menjadi kendala. BPS memang mengumpulkan data sejumlah
informasi di tingkat kabupaten. Namun, tidak mencakup hingga tahun 1990
sehingga menyulitkan penetapan target 2015. Hal tersebut tidak menjadi masalah,
selama propinsi-propinsi dan kabupaten-kabupaten memikirkan cara terbaik untuk
pencapaian MDGs, tidak hanya di tingkat kabupaten, namun sampai ke desa-desa.
Penduduk
sebuah desa bisa sepakat memilih apa saja dari tujuan MDGs yang menjadi
prioritas mereka, termasuk memantau dan mempercepat pencapaiannya. Misalnya
ketika kekurangan gizi menjadi persoalan yang dicemaskan, mungkin perlu
memastikan bahwa puskesmas selalu menimbang semua anak-anak. Siapa saja dapat
menambahkan semua informasi yang dibutuhkan untuk mencermati apakah angka
kekurangan gizi meningkat atau menurun. Dan yang lebih penting, bisa sepakat
tentang apa yang harus dilakukan untuk menanggulanginya.
Misalnya,
bagaimana anak-anak yang lambat pertumbuhannya, memperoleh makanan dan mungkin
dapat memberikan saran atau dukungan kepada para ibu. Apakah semua anak
bersekolah? Hal ini akan mudah diketahui dari buku pendaftaran di sekolah. Jika
TBC menjadi masalah, mungkin anda dapat mencoba untuk melakukan tes pada
sebanyak mungkin orang dan kemudian memulai pengobatan. Apakah perempuan
meninggal karena persalinan? Bagaimana dengan pengawasan tentang berapa banyak
perempuan hamil yang mendatangi klinik-klinik pada masa prapersalinan. Begitu
juga apakah mereka telah memiliki persiapan untuk menghadapi keadaan darurat.
Tidak
harus mencoba melakukan semuanya sekaligus. Dapat juga memulai dengan sejumlah
prioritas, kemudian melakukan aksi. Bagi MDGs, semangat lebih penting ketimbang
rinciannya. Jika masing-masing kabupaten atau komunitas mulai melakukan aksi,
maka secepatnya akan terjadi perbaikan. Tahun 2015 tinggal lima tahun lagi, tetapi pemerintah bisa
melakukan banyak hal dalam waktu lima
tahun ini.
Pola
Pembangunan Pemerintah Daerah
Arah
Kebijakan Pokok Penanggulangan Kemiskinan di daerah dilaksanakan melalui
program-program pengurangan kemiskinan (pro-poor),
perluasan lapangan kerja (pro-job)
dan pertumbuhan ekonomi (pro-growth)
yang berorientasi pada pemerataan pendapatan antar kelompok masyarakat,
pengurangan beban pengeluaran penduduk miskin, pemenuhan kebutuhan dasar dan
pemerataan pembangunan antar wilayah.
Upaya
penanggulangan kemiskinan telah dilakukan melalui berbagai strategi baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung diwujudkan dalam bentuk
pemberian bantuan dana stimulan sebagai modal usaha kegiatan ekonomi produktif,
bantuan sosial (antara lain melalui program Bantuan Langsung Tunai, Beras
Miskin, Sektoral Pusat/Daerah, program khusus, dll); secara tidak langsung
melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan sosial ekonomi,
Pemberdayaan masyarakat, Penguatan Kelembagaan dan Perlindungan sosial (antara
lain melalui program Bantuan Kepada Kabupaten/Kota, Sektoral Pusat/Daerah, dan
program khusus lainnya).
Sedangkan
upaya yang dilakukan dalam mengatasi kemiskinan di daerah ditempuh melalui :
1. Pengurangan pengeluaran, melalui :
a. Bidang
Pendidikan, melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Khusus Murid
(BKM), dan Bantuan Bea Siswa Keluarga Miskin.
b. Bidang
Kesehatan dan Keluarga Berencana, melalui penanganan tindakan medis, operatif
keluarga miskin, penanggulangan gizi buruk dan gizi
2. Peningkatan Pendapatan, melalui :
a. Bidang
Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, melalui pengembangan wirausaha,
pengembangan pendidikan dan pelatihan wirausaha serta pemberdayaan usaha skala
mikro.
b. Bidang
Sosial, melalui Bantuan Modal Usaha bagi Penduduk Miskin.
c. Bidang
Ketenagakerjaan, melalui perluasan kesempatan kerja dan berusaha termasuk
pengiriman transmigrasn serta pelatihan ketrampilan tenaga kerja.
d. Bidang
Perumahan dan Pemukiman diantaranya pemugaran rumah kumuh dan padat di
perkotaan, korban bencana alam dan penyediaan air bersih serta pembangunan
sanitasi.
Sasaran penanganan kemiskinan di daerah
dilaksanakan pada:
1. Prioritas
utama : Penduduk Sangat Miskin
2. Prioritas
kedua : Penduduk Miskin
3. Prioritas
ketiga : Penduduk Hampir Miskin
Upaya
penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan
dengan menggunakan berbagai sumber dana. Anggaran tersebut ada yang
dilaksanakan melalui SKPD maupun diberikan langsung kepada Kabupaten/Kota
melalui Dana Bantuan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Berdasarkan upaya
penanganan yang telah dilaksanakan, terdapat penurunan prosentase angka
kemiskinan yang signifikan. Pemerintah Daerah (Propinsi) memberikan dukungan
sepenuhnya kepada Kabupaten/Kota sebagai daerah percontohan pelaksanaan MDG’s
dengan memberikan bantuan dana.
Bagi
Pemerintah Daerah, kemiskinan merupakan issue strategis dan mendapatkan
prioritas utama untuk ditangani. Kemiskinan merupakan salah satu dari issue
strategis yang mendapat prioritas untuk penanganan pada setiap tahapan
pelaksanaannya.
Terkait
dengan target tujuan pembangunan millenium yang harus tercapai pada tahun 2015,
maka Pemerintah Daerah masih harus bekerja keras untuk dapat mencapai target
tersebut, mengingat upaya penanggulangan kemiskinan bukan merupakan hal yang
mudah untuk dilaksanakan.
Peran
Pemerintah Daerah
Tujuan
Pembangunan Milenium yang ditargetkan untuk dapat dicapai pada tahun 2015 dapat
dijadikan sebagai salah satu pemacu dan semangat untuk dapat melakukan upaya
yang lebih baik dalam penanganan permasalahan yang terkait dengan pemenuhan
kebutuhan dasar manusia. Kemiskinan bukan hanya masalah daerah maupun Indonesia,
tetapi juga merupakan masalah dunia. Dilihat dari berbagai program dan kegiatan
yang sudah dilaksanakan dan besarnya sumber dana yang telah dikeluarkan,
kemiskinan di daerah tetap masih menjadi permasalahan yang tidak mudah untuk
diatasi walaupun jumlah penduduk miskin sudah semakin berkurang. Hal tersebut
terjadi antara lain karena upaya penanggulangan kemiskinan merupakan upaya
terpadu yang harus dilakukan oleh semua pihak termasuk juga masyarakat miskin
itu sendiri dengan komitmen yang kuat dari semua unsur pimpinan baik pemerintah,
organisasi masyarakat dan kelompok masyarakat.
Pemerintah Daerah ikut
mendukung dan melaksanakan upaya penanggulangan kemiskinan. Komitmen tersebut
telah tertuang di dalam dokumen-dokumen perencanaan baik jangka panjang,
menengah maupun tahunan, dengan melaksanakan berbagai program dan kegiatan
serta berbagai sumber dana melalui strategi penanganan langsung maupun tidak
langsung.
Terkait dengan
sosio-kultur masyarakat, upaya penanggulangan kemiskinan tidak akan berhasil
apabila tidak diimbangi dengan program penyadaran masyarakat (public awareness), yaitu sebuah upaya
untuk mengurangi bahkan menghapuskan mental dan budaya miskin dengan jalan
mengingatkan, meyakinkan dan memberikan semangat kepada masyarakat agar
berusaha untuk bangkit dari kemiskinan dengan melakukan kerja keras dan
membiasakan diri untuk malu menerima bantuan sebagai orang miskin. Koordinasi
diantara stakeholders maupun instansi
pengampu masih perlu dioptimalkan, terutama dalam hal penentuan target dan
sasaran program kegiatan penanggulangan kemiskinan (termasuk kelengkapan data
maupun alokasi anggaran), secara berjenjang dari tingkat Provinsi sampai dengan
Kabupaten/Kota untuk menghindari terjadinya tumpang-tindih maupun terlewatnya
sasaran penanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka mencapai
tujuan pembangunan millenium (MDG’s) yang harus dapat tercapai pada tahun 2015
pada umumnya dan juga untuk mencapai tujuan pembangunan daerah pada khususnya,
penanganan kemiskinan memerlukan kerja keras semua pihak, komitmen dari
pemerintah dan partisipasi dari masyarakat miskin itu sendiri.
Pada dasarnyam,
kemiskinan tidak akan dapat dihilangkan dari muka bumi, tetapi meskipun begitu,
harus dilakukan upaya agar masyarakat yang masuk dalam kriteria miskin dapat
memperoleh hak-hak dasar kebutuhan hidupnya. Untuk itu prioritas penanganan
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan sumberdaya yang ada, tanpa
ketergantungan dari pihak lain agar penanganannya dapat dilakukan dengan cepat
dan tuntas. Agar program dan kegiatan penangulangan kemiskinan dapat
benar-benar memperoleh hasil seperti yang diinginkan perlu dilakukan pemantauan
dan evaluasi serta penilaian atas pelaksanaannya, agar dapat diketahui program
dan kegiatan apa saja yang perlu untuk dilanjutkan bahkan diakselerasikan
maupun untuk diketahui program dan kegiatan apa saja yang tidak diperlukan
lagi.
Dalam pelaksanaan tidak
harus mencoba melakukan semuanya sekaligus. Dapat memulai dengan sejumlah
prioritas, kemudian melakukan aksi. Bagi MDGs, semangat lebih penting ketimbang
rinciannya. Jika masing-masing kabupaten atau komunitas mulai melakukan aksi,
maka secepatnya akan terjadi perbaikan. Tahun 2015 tinggal lima tahun lagi, tetapi banyak hal yang bisa dilakukan selama lima tahun ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaudhury et al, 2005. Missing in Action: Teacher and Health Worker
Absence in Developing Countries, Harvard, John F. Kennedy School
of Government.
Chowdhury,A and I. Sugema, 2005.“How Significant and Effective has
Foreign Aid to Indonesia
been?”, Discussion Paper No. 0505, University
of Adelaide Centre for
International Economic Studies.
Depdiknas, 2005b. Educational Indicators in Indonesia,
2004/2005. Jakarta,
Ministry of National Education.
Depkes, 2007. Every Year 30,000 Die by Measles,
www.depkes.go.id/en/2102ev.htm, diakses 6 Maret 2007.
Dephut, 2007. Extent of Land
Cover Inside and Outside
Forest Area. Diunduh dari
www.dephut.go.id.
Hoek-Smit, M. 2005. The Housing Finance Sector in Indonesia,
Jakarta, World Bank.
Hooijer, A et al., 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 Emissions from Drained
Peat Lands in SE Asia. Delft, Netherlands.
Delft Hydraulics report Q3943
http://www.fao.org/DOCREP/005/y4249e/y4249e06.html
IYARS, 2002-2003. Indonesia Young Adult Reproductive
Health Survey, Jakarta,
BPS
ICBWA, Global bottled water
statistics, http://www.icbwa.org/2000-2003_Zenith_and_Beverage_
Marketing_Stats.pdf. Diakses 23 Maret, 2007.
Jakarta
Post, 2007. “Informal workers to get health access”, dalam Jakarta Post, 7
Maret.
Jakarta
Post, 2006. “Inadequate measures allowing HIV/AIDS to worse: WHO”, dalam
Jakarta Post., 29 November.
Jakarta
Post, 2006. “Sanitation Target Remains Out of Reach”, dalam Jakarta Post.
KPA 2006. Country Report on the Follow-up to the
Declaration of Commitment on HIV/AIDS (UNGASS), Reporting period 2004-2005.
KPA, 2006. Rencana Aksi Nasional untuk HIV/AIDS
2007-2010, Komisi Penanggulangan AIDS.
Labour and Social trends in Indonesia 2008: Progress and Pathways
to Job-rich Development, 2008, Jakarta.
Lancet 2006, “Strategies for
reducing maternal mortality: getting on with what works” the Lancet.
MOE, 2005. State of the Environment in Indonesia, Jakarta, Ministry of
Environment.
MOE, 2004. State of the Environment in Indonesia, Jakarta, Ministry of
Environment.
PU, 2007. RUU Penataan Ruang
Harus Pilah Secarah Jelas Kawasan Peruamahan. Pusat Komunikasi Publik 150606.
Departemen Pekerjaan Umum.
Sakernas, 2004.
Survey di Papua terhadap
perwakilan populasi penduduk tentang HIV/AIDS, 2007
UNESCO/PAPPITEK LIPI, 2006. The Achievement of Gender Parities in Basic
Education in Indonesia:
Challenges and Strategies towards Basic Education for All. Jakarta
UNESCO/LIPI, 2006. The Achievement of Gender Parities in Basic
Education in Indonesia:
Challenges and Strategies towards Education for All. Jakarta, UNESCO and PAPPITEK LIPI.
UNICEF, 2007. Plus 5-Review of the 2002 Special Session on
Children and World Fit for Children Plan of Action, Indonesia. Jakarta, UNICEF
UNFPA, 2007. UNFPA Indonesia
Website, http://indonesia.unfpa.org/mmr.htm diakses 3/1/2007.
UNDP (segera terbit). Indonesia: Debt Strategies to Meet the Millennium
Development Goals, Jakarta,
UNDP.
UNAIDS/NAC 2006. A Review of Vulnerable Populations to HIV
and AIDS in Indonesia.
Jakarta ,
UNAIDS and National AIDS Commission
Usman, S. Akhmadi, and D
Surydarma, 2004. When Teachers are
Absent: Where do They Go and What is the Impact on Students? Jakarta, SMERU.
Vanzetti, D. McGuire, D. and
Prabowo, 2005. Trade Policy at the
Crossroads: the Indonesian Story, Geneva,
UNCTAD.
World Bank, 2007. Spending for Development: Making the Most of
Indonesia’s
New Opportunities. Indonesia Public Expenditure Review 2007,
Jakarta, World Bank.
World Bank, Making the New Indonesia Work for the Poor,
2006, Jakarta
World Bank, 2007. Spending for Development: Making the Most of
Indonesia’s
New Opportunities. Indonesia
Public Expenditure Review 2007, Jakarta, World Bank.
World Bank, 2007. Spending for Development: Making the Most of
Indonesia’s
New Opportunities. Indonesia
Public Expenditure Review 2007, Jakarta, World Bank.
World Bank, 2007. Spending for Development: Making the Most of
Indonesia’s
New Opportunities. Indonesia
Public Expenditure Review 2007, Jakarta, World Bank.
WHO, 2004. The Millennium Development Goals for Health:
A review of the indicators, Jakarta,
World Health Organization.
World Bank, 2007. Strategic Options for Forest
Assistance in Indonesia.
Jakarta, World Bank.