Minggu, 08 April 2012

Wacana Tentang pro-life dan pro-choice dalam aborsi


Pengantar
Setelah problem pornografi dan pornoaksi, barangkali masalah aborsi menunggu giliran kontroversi berikutnya. Persoalan aborsi yang dilarang dalam Undang-undang Kesehatan No. 23/1992, menurut sebagian kalangan ternyata menyimpan fungsi-fungsi laten yang justru membahayakan bagi hak hidup perempuan dan janin. Pelarangan aborsi yang pada awalnya dimaksudkan melindungi hak hidup janin ternyata menyebabkan terjadinya unsafe abortion (aborsi tidak aman) yang beresiko besar pada kematian ibu dan tentunya janin sekaligus. Adanya realitas kehamilan tidak diinginkan, menurut mereka, barangkali tak terlalu dipertimbangkan oleh undang-undang ini, sehingga muncullah fungsi laten berupa unsafe abortion yang justru mengancam nyawa ibu dan janin sekaligus.
Aborsi bukan persoalan baru, ia persoalan lama yang selalu menuai kontroversi. Salah satu kontroversi mengenai aborsi adalah dikedepankannya wacana Hak Asasi Manusia sebagai alasan pro maupun kontra aborsi. Bagi yang pro-aborsi berpandangan bahwa perempuan mempunyai hak penuh atas tubuhnya. Ia berhak untuk menentukan sendiri mau hamil atau tidak, mau meneruskan kehamilannya atau menghentikannya. Bagi yang kontra aborsi, wacana hak ini dikaitkan dengan janin. Bagi mereka aborsi adalah pembunuhan kejam terhadap janin. Padahal ia juga manusia yang punya hak hidup. Namun akhir-akhir ini, wacana mengenai hak ibu semakin menguat bersamaan dengan isu-isu kesehatan reproduksi. Dikatakan pula bahwa pelayanan aborsi yang aman adalah hak atas kesehatan reproduksi.
Di Amerika, perdebatan mengenai hal ini terpolarisasi menjadi dua kubu, yaitu kubu pro-life yang melarang aborsi demi kehidupan janin dan pro-choice yang cenderung menyerahkan pada pilihan perempuan, antara menggugurkan dan meneruskan kehamilan.[1] Polarisasi yang sama juga terjadi di Indonesia. Meskipun tidak seekstrim pertentangan antar kubu seperti di Amerika, wacana tentang hak sangatlah kuat. Hal itu terjadi karena undang-undang yang mengatur aborsi menimbulkan efek-efek yang dilematis. Karena itulah, muncul inisiatif untuk mengamandemen UU No. 23/1992 dengan RUU kesehatan tahun 2005. Usulan amandemen ini tentu saja menimbulkan kemarahan pihak-pihak yang anti aborsi.
Oleh karena itu makalah ini bermaksud melihat bagaimana wacana Hak Asasi Manusia itu dikedepankan dalam perdebatan mengenai aborsi serta bagaimana persoalan-persoalan lain menyertai persoalan legalisasi aborsi, sehingga dengan begitu, problem yang sebenarnya dapat diidentifikasi dan dapat ditarik satu solusi yang tidak hitam-putih, mungkin solusi yang dapat dikatakan lebih kompromis.
Apa itu aborsi dan bagaimana prosesnya?
Aborsi atau menggugurkan kandungan, dalam istilah kedokterannya dikenal dengan abortus yang berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Aborsi merupakan proses mengakhiri hidup janin sebelum diberi kesempatan untuk tumbuh.
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 jenis aborsi, yaitu aborsi spontan (alamiah), aborsi buatan (sengaja) dan aborsi terapeutik (medis). Aborsi spontan (alamiah) berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma. Sedangkan aborsi buatan (sengaja) adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan sengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan, atau dukun beranak). Aborsi Terapeutik (medis) adalah aborsi buatan yang dilakukan atas indikasi medis.[2]
Dalam prosesnya, tindakan aborsi ada yang dilakukan sendiri, ada pula yang menggunakan bantuan orang lain. Aborsi yang dilakukan sendiri misalnya dengan cara memakan obat-obatan yang membahayakan janin, atau dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja ingin menggugurkan janin.[3] Sedangkan bila dengan bantuan orang lain, aborsi dapat dilakukan dengan bantuan dokter, bidan atau dukun beranak.
Bila menggunakan bantuan dokter, cara yang ditempuh berbeda-beda sesuai usia janin. Pada kehamilan muda (di bawah 1 bulan), aborsi dilakukan dengan menggunakan alat penghisap (suction), janin yang masih lembut langsung terhisap dan hancur berantakan. Pada kehamilan lebih lanjut (1-3 bulan), bagian tubuh janin sudah mulai terbentuk, aborsi dilakukan dengan cara menusuk anak tersebut kemudian bagian-bagian tubuhnya dipotong-potong menggunakan tang khusus aborsi (Cunam Abortus). Pada kehamilan 3-6 bulan, bayi sudah semakin besar dan bagian-bagian tubuhnya sudah terlihat jelas, jantungnya sudah berdetak dan tangannya sudah bisa menggenggam, tubuhnya pun sudah bisa merasakan sakit karena jaringan syarafnya sudah terbentuk dengan baik. Pada tahap ini, aborsi dilakukan dengan terlebih dahulu membunuh bayi sebelum dikeluarkan. Bayi dibunuh dengan menyuntikkan cairan tertentu yang dimasukkan ke dalam ketuban bayi. Cairan ini kemudian membakar kulit bayi secara perlahan-lahan, menyesakkan nafasnya, beberapa jam—bahkan sampai 1 hari, bayi itupun meninggal. Sedangkan pada kehamilan 6-9 bulan, bayi sudah sangat jelas bentuknya, wajahnya, mata, hidung, bibir, telinganya sudah terlihat, otaknya juga sudah berfungsi baik. Pada kasus seperti ini, aborsi dilakukan dengan cara mengeluarkan bayi tersebut hidup-hidup lalu dibunuh dengan ditenggelamkan dalam air atau dipukul kepalanya hingga pecah.[4]
Aborsi seperti di atas dilakukan tanpa rasa sakit pada perempuan, seperti peristiwa biasa, mereka tak lama dapat pulang. Meskipun demikian, aborsi yang dilakukan pihak medis sekalipun, tetap menyimpan resiko yang tidak ringan seperti resiko kesehatan dan keselamatan fisik dan resiko gangguan psikologis. Perempuan yang melakukan aborsi, menurut Brian Clowes sebagaimana dikutip oleh http://www.aborsi.org,  menghadapi resiko kematian mendadak karena pendarahan hebat, kematian karena pembiusan yang gagal, kematian secara lambat akibat infeksi serius di sekitar kandungan, rahim sobek (Uterine Perforation), kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang menyebabkan cacat pada anak berikutnya, kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita), kanker indung telur (Ovarian Cancer), kanker leher rahim (Cervical Cancer), kanker hati (Liver Cancer), kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya, menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy), Infeksi rongga pinggul (Pelvic Inflammatory Disease), Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis).[5]
Selain resiko fisik di atas, ancaman gangguan psikologis juga akan membayang-bayangi kehidupan perempuan pasca aborsi. Dalam dunia psikologi, gangguan ini disebut Pasca Abortion Syndrom (sindrom paska aborsi). Menurut Dr. Stephen Edmonson, gejala ini dimulai dengan depresi disertai dengan rasa gelisah dan marah-marah. Terkadang dihantui rasa bersalah dan penyesalan serta mimpi-mimpi buruk tentang bayi dan klinik aborsi. Dalam kondisi seperti ini perempuan tidak dapat menikmati hidupnya bahkan mungkin terjadi rusaknya hubungan perkawinan atau hubungan dengan kekasihnya, menarik diri dari hubungan intim dan hilangnya gairah hubungan intim. Mungkin juga kesulitan konsentrasi, inefisiensi kerja dan pikiran yang buntu.[6] Gangguan psikologis seperti ini muncul lama setelah aborsi dilakukan. Hal ini terjadi, menurut Dr. Edmonson karena setelah aborsi, wanita melupakan peristiwa tersebut dan menjadikannya sebagai rahasia pribadi. Untuk sementara waktu wanita dapat menyangkal perasaan tertekannya, tetapi semakin pandai seorang wanita menekan perasaannya, menurut Dr. Edmonsons, semakin lama PAS mengganggu jiwanya dan semakin tertekan ia.[7]
Realitas Aborsi di Indonesia
Dalam menyikapi masalah aborsi, Indonesia termasuk salah satu negara yang menentang pelagalan aborsi. Dalam hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin dikategorikan sebagai kejahatan yang dikenal dengan istilah ‘Abortus Provocatus Criminalis’. Dalam KUHP misalnya, larangan aborsi ditegaskan dengan ancaman pidana bagi ibu yang melakukan aborsi, dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi serta orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi.[8] Sementara itu, dalam Undang-undang Kesehatan No. 23/1992 pasal 15 (1), ditegaskan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Namun tidak ada penjelasan lebih jauh tentang apa yang dimaksud tindakan medis tertentu. Sementara dalam penjelasannya dinyatakan bahwa tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Dari sini terlihat bahwa undang-undang ini masih memberi pengertian yang membingungkan soal aborsi. Tidak ada penjelasan tegas bahwa yang dimaksud tindakan medis tertentu itu adalah aborsi. Dari kedua Undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa aborsi tak berpeluang diperbolehkan sedikitpun dalam hukum Indonesia.
Terlepas dari pelarangan aborsi dalam undang-undang, khalayak dikejutkan dengan tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia yang menempati rangking pertama di antara negara-negara ASEAN yaitu mencapai 373 per seratus ribu kelahiran hidup (Survey Kesehatan Rumah Tangga 2005). Dan saat ini mencapai angka 375 per seratus ribu kelahiran hidup. Inipun angka nasional, jika dirunut lebih lanjut di beberapa wilayah seperti Irian Jaya dan Lombok, angka kematian ibu diperkirakan 800-1000 lebih per seratus ribu kelahiran hidup.[9]
Dari sekian angka kematian ibu, WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan abortus. Bila angka kematian ibu mencapai 373 per seratus ribu kelahiran hidup berarti setiap seratus ribu kelahiran hidup sekitar 37-186 orang diantaranya mati karena aborsi dan 187 orang diantaranya mati karena berbagai sebab lain. Selain faktor aborsi, angka kematian ibu melahirkan diduga kuat juga karena kekerasan dalam rumah tangga.[10] Faktor lainnya yang disebut-sebut sebagai panyebab kematian terbesar ibu (58,1%) adalah pendarahan dan eklamsia. Fakta mengenai tindakan aborsi memang mengejutkan. Meskipun undang-undang melarang praktek aborsi dengan ancaman pidana, angka aborsi tetap saja tinggi.  Menurut Dr. Azrul, angka aborsi di Indonesia mencapai 2,3 juta pertahun (Kompas, 26 Agustus 2000). Angka ini dikuatkan pula oleh Buku Fakta yang dikeluarkan UNFPA dan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan terbitan tahun 2000.[11]
Mengenai status perempuan yang melakukan aborsi, berdasarkan survey yang dilakukan di Jakarta, Medan, Surabaya dan Bali, 89% tindakan aborsi dilakukan oleh perempuan yang telah menikah dan 11% sisanya dilakukan perempuan yang tidak menikah.[12] Di Surabaya sendiri, setiap hari rata-rata ada 100 kasus aborsi yang pelakunya 60% ibu rumah tangga dan 40% ABG (Republika, 24 Oktober 2000).
Data tersebut menunjukkan adanya berbagai motif di balik tindakan aborsi, karena terbukti aborsi tidak hanya dilakukan oleh perempuan tidak menikah tetapi juga oleh perempuan dalam status istri. Alasan-alasan yang sering diutarakan adalah karena kegagalan kontrasepsi, terlalu banyak anak, ketakutan akan hukuman orang tua, kehamilan remaja dan ketidakmampuan secara ekonomi dan psikologis.[13] Kompleksitas alasan aborsi tersebut tak lepas dari norma-norma yang ada di masyarakat dan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah yang berkenaan dengan kesehatan reproduksi. KB misalnya, kebijakan pemerintah mengkampanyekan norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera mengubah pengetahuan dan perilaku masyarakat dalam mengambil keputusan mempunyai anak. Norma keluarga besar kemudian berubah. Masyarakat lantas malu mempunyai anak banyak. Sayangnya mengkampanyekan norma keluarga kecil tidak diikuti dengan kualitas pelayanan KB dan penyuluhan yang benar terhadap masyarakat, sehingga berakibat pada kehamilan yang tak direncanakan. Faktor lainnya adalah perubahan gaya hidup akibat kemajuan informasi, serta pergaulan yang tak dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan reproduksi dan akses memadai terhadap pelayanan kesehatan reproduksi.
Selain faktor di atas, aborsi yang dilakukan remaja. Di samping karena tekanan orang tua, masyarakat dan lingkungan, menurut Herri Permana, dipicu juga oleh kebijakan yang melarang siswa-siswa yang masih duduk di bangku sekolah untuk menikah. Ketika terjadi kehamilan, maka sekolah akan mengeluarkan siswa tersebut dan melarangnya melanjutkan studi. Kebijakan ini, menurut Herri, membuat aborsi menjadi satu-satunya pilihan bagi remaja yang hamil.[14]
Dengan adanya larangan aborsi dan kenyataan tingginya aborsi di masyarakat maka dapat dipastikan aborsi yang dilakukan adalah aborsi illegal dan tidak aman (unsafe abortion), karena dengan ancaman pidana tidak akan ada dokter yang mau melakukan aborsi sebab tindakan tersebut dianggap melanggar hukum yaitu pembunuhan terhadap janin.  Kalaupun  ada dokter yang mau membantu aborsi secara diam-diam, tarif yang dikenakan sangat mahal, barang yang dibutuhkan tapi tak tersedia secara resmi akan mengakibatkan pasar gelap sehingga tak terjangkau wanita-wanita miskin. Wanita miskinlah korban utama unsafe abortion. Cara yang ditempuh untuk menggugurkan kandungan, kemudian, dilakukan sendiri atau dengan bantuan dukun. Cara-cara tak aman inilah yang turut menyumbang tingginya AKI. Hal ini ditegaskan pula oleh Prof. Dr. Azrul Azwar, Dirjen Yanmen Departemen Kesehatan bahwa sumbangan aborsi illegal di Indonesia mencapai 50% dari angka kematian ibu.[15] Selain itu, WHO juga memperkirakan bahwa 10-50% kematian ibu diakibatkan aborsi tidak aman.[16]
Dalam RUU Kesehatan tahun 2005, pasal-pasal yang menyangkut kesehatan reproduksi hanya pasal 60-63 dari 100 pasal dalam draf amandemen UU Kesehatan. Dalam kedua pasal tersebut disebutkan bahwa kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental dan sosial yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.[17] Sementara pada pasal 63 disebutkan bahwa pemerintah wajib melindungi perempuan dari praktek penghentian kehamilan yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab. Penghentian kehamilan harus atas persetujuan perempuan bersangkutan dan harus dilakukan oleh tenaga yang profesional dan mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku. Tetapi penghentian kehamilan dengan cara yang aman dan bertanggung jawab dilakukan atas indikasi kegawatan medis yang ditentukan tenaga kesehatan yang berwenang dan diatur dalam undang-undang tersendiri.[18]
Meskipun RUU ini memuat pernyataan perlindungan terhadap penghentian kehamilan yang tidak aman, sementara penghentian kehamilan yang aman hanya diperbolehkan karena indikasi kegawatan medis, belum ada aturan undang-undang yang menjelaskan seperti apakah indikasi kegawatan medis yang dimaksud. Selain itu, Nursyahbani Katjasungkana, anggota Fraksi PKB DPR, menganggap RUU ini belum beranjak dari UU kesehatan 1992, yaitu lebih banyak memuat pernyataan daripada program dan masih mengikuti pendekatan UU Kesehatan yang mewajibkan adanya peraturan pelaksanaan.[19]
Wacana HAM dan Perdebatan Mengenai Aborsi
Tingginya kematian ibu dan aborsi illegal menunjukkan adanya kebutuhan masyarakat akan aborsi. Aborsi memang bertentangan dengan moral, dengan norma-norma kemasyarakatan, tetapi bahwa terdapat kenyataan adanya kehamilan tak diinginkan tidak bisa dipungkiri. Masalah ini juga butuh pemecahan yang mendukung dan mengutamakan kesehatan dan keselamatan reproduksi perempuan. Karena itulah muncul gagasan untuk mengatur kembali masalah aborsi melalui undang-undang. Undang-undang yang ada mengenai aborsi yaitu UU No. 23/1992 hendak diamandemen dengan RUU tahun 2005.
Rencana amandemen undang-undang ini mulai disambut kontroversi. Isu pelegalan praktek aborsi membuat kalangan anti aborsi menegaskan pendirian sebaliknya. Bila kalangan yang cenderung pro-aborsi mengajukan alasan Hak Asasi Manusia kaum perempuan untuk menentukan kehamilannya, maka kalangan anti-aborsi menggunakan isu yang sama dengan menyatakan bahwa janinpun berhak untuk hidup. Berikut ini dibahas argumentasi kedua kelompok tersebut.
1). Hak Perempuan
Wacana mengenai hak reproduksi menentukan momentumnya pada Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Kairo tahun 1994. dalam konferensi ini, aborsi menjadi isu moral yang mengundang perdebatan panjang, tak heran jika ada komentar bahwa konferensi Kairo adalah konferensi aborsi.[20] Perdebatan sengit berpangkal pada pencantuman aborsi sebagai hak individual yang berarti setiap wanita berhak untuk memilih melanjutkan atau menghentikan kehamilannya. Dengan kata lain, aborsi dapat dilaksanakan sebagai hak dalam melakukan KB.
Indonesia, dalam konferensi yang diadakan sepuluh tahun sekali tersebut, menolak aborsi sebagai metode KB, karena saat itu, Indonesia merasa sebagai salah satu negara yang berhasil dalam bidang KB tanpa aborsi. Akhirnya setelah melalui perdebatan panjang dan alot disepakati teks tentang aborsi yang dikenal dengan paragraf 8.25. berikut ini isi paragraf tersebut:
Aborsi tidak boleh dipromosikan sebagai salah satu metode KB, apapun alasannya. Setiap negara harus memperkuat komitmen mereka terhadap kesehatan perempuan, untuk mengatasi akibat aborsi tidak aman terhadap kesehatan sebagai masalah kesehatan masyarakat utama, dan untuk mengurangi alternatif aborsi melalui pelayanan KB yang lebih baik. Bagaimanapun juga, pencegahan terhadap kehamilan tidak diinginkan (KTD) harus selalu menjadi prioritas utama dan setiap upaya yang ditempuh harus dibuat untuk menghapuskan kebutuhan akan aborsi. Perempuan yang mengalami KTD harus memiliki akses untuk mendapatkan informasi dan konseling. Segala tindakan yang berhubungan dengan aborsi dalam sistem kesehatan hanya dapat ditentukan pada tingkat nasional atau lokal berdasarkan proses legislatif nasional. Pada keadaan di mana aborsi tidak merupakan pelanggaran hukum, tindakan aborsi dapat dilakukan. Pada setiap kasus, perempuan harus memiliki akses manajemen pelayanan yang berkualitas untuk komplikasi  aborsi. Konseling pasca aborsi, pendidikan dan pelayanan KB harus diberikan secara tepat, sehingga dapat mencegah aborsi berulang.[21]

Berdasarkan paragraf 8.25 tersebut dan dengan pertimbangan tingginya AKI di Indonesia serta tingginya angka aborsi tidak aman, maka undang-undang yang selama ini melarang keras aborsi diminta diamandemen. Selain itu, disebabkan juga oleh beragamnya motif aborsi yang justru 89% dilakukan oleh ibu rumah tangga dan hanya 11% dilakukan remaja belum menikah, membuat banyak kalangan mengkampanyekan aborsi sebagai hak atas kesehatan reproduksi, hak atas pelayanan aborsi yang aman.
Mengangkat hak atas kesehatan reproduksi ini, Gadis Arifia, pimpinan redaksi jurnal Perempuan dan staf pengajar jurusan Filsafat UI meminta agar persoalan aborsi dikembalikan pada perempuan. Selama ini, menurutnya, perempuan tidak memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan selalu dimiliki oleh sesuatu di luar diri, entah itu medis, hukum, agama dan lain-lain. Memberi pilihan pada perempuan menyangkut tubuhnya menurut Gadis merupakan bentuk keadilan. Penuntutan perempuan terhadap hak reproduksi adalah refleksi dari penuntutan mereka terhadap hak untuk melakukan kontrol terhadap tubuhnya sendiri.[22]
Pernyataan ini dikemukakannya setelah terlebih dahulu mengkritisi isu etika dalam perdebatan mengenai aborsi. Menurut Gadis, prinsip-prinsip etis yang ada hanyalah perspektif laki-laki yang mengatasnamakan keseluruhan. Padahal, lanjut Gadis, perempuan tak pernah dipertimbangkan dalam prinsip-prinsip etis itu. Mengutip Simone de Beauvoir, Gadis mengatakan bahwa perempuan selalu saja menjadi obyek bukan subyek. Perempuan selalu ditolak untuk menjadi agen moral yang otonom. Perempuan tidak pernah dibiarkan memilih kehidupan yang baik untuk dirinya sendiri. Karenanya, dalam persoalan aborsi, Gadis menganggap perlu memasukkan prinsip etika feminis dalam menjawab pertanyaan tentang apakah yang baik untuk perempuan?[23]
Untuk mendukung argumentasinya, Gadis mengambil pendapat Judith Thomson yang menyanggah pandangan anti aborsi. Alasan bahwa janin adalah manusia seperti yang dikemukakan kalangan anti aborsi, menurut Thomson sama sekali tidak mengikuti penjelasan medis tentang perkembangan janin yang menunjukkan bahwa saat terkonsepsi janin tersebut masih berupa sel-sel. Dari pendapat tersebut, Gadis menganalogikan bahwa menganggap janin sudah menjadi manusia saat terkonsepsi sama saja dengan mengatakan bahwa biji durian sebelum ditanam sudah menjadi pohon durian.[24]
Menanggapi pelarangan aborsi dalam hukum Indonesia, Soe Tjen Marching, staf pengajar di Melbourne University, Australia, berpendapat bahwa seandainya pelarangan itu memang dimaksudkan sebagai perlindungan janin (pro-life), mengapa hukum di Indonesia justru juga tak mengindahkan hak wanita dan anak yang lahir secara illegal. Jangankan untuk mendapat tunjangan sebagaimana di negara-negara lain, untuk hidup normal pun sulit? Hukum di Indonesia mengaku pro-life dengan mengakui hak hidup janin tetapi tak mengindahkan hak hidup sang perempuan atau anak yang lahir, yang memang nyata telah menjadi manusia seutuhnya di lingkungan mereka.[25] Oleh karena itu, lanjut Marching, membela aborsipun dapat disebut pro-life karena hak untuk aborsi adalah hak yang membela kehidupan perempuan. Dan pelarangan aborsi seperti kasus Indonesia tidak bisa disebut Pro-life karena tidak diikuti kebijakan lain yang mendukung kabaikan hidup wanita dan anak yang dilahirkannya.
Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Maria S. Ratri, orang tua tunggal yang pernah punya pengalaman dengan aborsi, baginya, melarang melakukan aborsi sembari membiarkan perempuan menanggung sendiri akibat yang sudah dibayangkan dan tak diinginkan adalah tindakan tak berperikemanusiaan. Bila perempuan tidak siap menerima anaknya, menurut Ratri, tak sepantasnya ia dipaksa menerima kehamilannya dengan alasan kemanusiaan karena perempuan juga manusia. Lagipula lanjut Ratri, perempuanlah yang memiliki tubuh, yang pikiran, perasaan dan masa depannya terkait dengan kehamilannya.[26]
Sementara itu, Dr. Kartono Muhammad memandang terlalu ekstrim bila menganggap aborsi sebagai penghilangan nyawa sebagaimana dicantumkan dalam UU. Baginya, aborsi merupakan bagian dari hak atas kesehatan reproduksi yang harus disediakan pemerintah. Adanya kehamilan tak diinginkan adalah sesuatu yang riil dan dialami banyak orang dengan berbagai alasan. Karena itu, menurut Dr. Kartono jangan buru-buru menghakimi bahwa mereka itu pendosa. Adanya realitas seperti ini harus dipertimbangkan dalam menetapkan peraturan tentang aborsi.[27]
Aborsi sebagai bagian dari hak perempuan atas pelayanan kesehatan bagaimanapun kondisinya atau akibat apapun juga ditegaskan dalam pasal 12 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan). Selain itu dalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo ditegaskan pula bahwa hak reproduksi terkandung di dalamnya hak untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan.[28]
2). Hak Janin
dari kubu pro-choice di atas, muncul perspektif terbalik yang menyatakan bahwa kalau aborsi dijadikan sebagai hak, maka wacana yang sama juga dapat dipakai untuk pihak lain, janin dalam kandungan mempunyai hak hidup juga.[29]
Melindungi hak hidup janin adalah argumentasi yang biasanya dipakai kalangan pro-life untuk mendukung pendapat mereka. Namun benarkah janin memiliki hak hidup? Pertanyaan ini menggiring pada perdebatan berikutnya mengenai kapan janin dapat dikategorikan sebagai manusia. Membahas hal ini, menarik apa yang dipaparkan oleh CB Kusmaryanto, Dosen Bioetika di Pascasarjana Sanata Dharma Yogakarta. Menurutnya, perdebatan mengenai kapan manusia terbentuk, dahulu adalah perdebatan mengenai ensoulment, masuknya jiwa ke dalam janin. Menurut Embriologi Aristotelian, jiwa masuk badan janin laki-laki pada hari ke-40 dan 90 hari untuk perempuan. Selain itu, ada pula yang berpendapat setelah umur 14, 30, 90 hari, bahkan 120 hari. Saat ini, pemikiran tersebut ditentang keras oleh embriologi modern yang membuktikan bahwa kehidupan manusia langsung dimulai seusai proses pembuahan.[30] Menurutnya, fakta-fakta baru embriologi modern seharusnya mengubah pandangan mengenai aborsi. Mungkin selama ini ada yang menyetujui aborsi karena percaya, hidup manusia baru dimulai 14 hari, atau 40 hari, atau 120 hari. Data ini, lanjutnya, sangat lemah karena tidak didukung data ilmiah embriologi modern. Oleh karena manusia hidup sejak proses pembuahan usai, maka ia mempunyai hak asasi yang harus dilindungi. Hak hidup, lanjutnya, adalah hak yang paling dasar, mendasari semua hak asasi lainnya. Tanpa hidup, manusia tak ada dan tak mempunyai hak asasi.[31]
Pernyataan CB. Kusmaryanto ini juga didukung oleh laporan sebuah kelompok yang terdiri dari 220 dokter terkemuka dan para guru besar kepada Dewan Pengadilan Tinggi Amerika Serikat. Laporan yang diserahkan pada bulan Oktober 1971 itu menunjukkan bahwa siklus pembentukan pribadi manusia terjadi saat pembuahan. Laporan ini merupakan penemuan penting embriologi, fetologi,  genetika, perinatologi dan biologi tentang terbentuknya kepribadian manusia.[32]
Penemuan di atas, menurut Kardinal Sin menunjukkan bahwa janin bukan hanya seonggok daging yang bisa seenaknya dipotong-potong lalu dicampakkan. Proses aborsi terhadap janin adalah proses pembunuhan kejam dan biadab. Dengan cara-cara seperti dijelaskan di atas janin mengalami penyiksaan dan kesakitan yang luar biasa. Dengan mengutip penjelasan John T. Noonanja, seorang guru besar Fakultas Hukum di Universitas Kalifornia, Kardinal Sin mengatakan bahwa aborsi menyakiti anak yang belum lahir. Dengan metode penyedotan misalnya, proses ini menurutnya mendatangkan rasa sakit yang luar biasa yang benar-benar mematikan pada sang bayi. Demikian juga dengan pemakaian garam hipertonik (Hypertonic Saline Solution). Larutan ini bekerja menyayat tubuh bayi sekitar 2 jam sehingga jantung janin benar-benar mati. Dari sini, Kardinal Sin menyimpulkan, cara apapun yang digunakan untuk aborsi merupakan penganiayaan yang amat keji.[33] Hal serupa juga diceritakan oleh seorang dokter yang berpengalaman dengan aborsi berikut ini:
Mula-mula kami melakukan pengguguran pada janin-janin sehingga detakan-detakan jantung dan geraknya tak begitu nyata. Saya pikir janin berumur 15-16 minggu itu tentu belum bisa merasa apa-apa. Tanpa sadar kami mulai melakukan pengguguran pada janin-janin besar. Tiba-tiba waktu kami menyuntikkan cairan garam, kami melihat ada gerakan-gerakan dalam rahim, pasti ini adalah janin yang menderita akibat menelan cairan garam, ia menendang-nendang dengan panik dalam keadaan sekarat. Kami menghibur diri dengan mengatakan bahwa itu hanya disebabkan oleh konstraksi otot-otot rahim saja. Tapi sejujurnya, hal ini menekan batin kami, sebab sebagai dokter kami mengerti bahwa bukan itu yang sebenarnya terjadi. Kami telah melakukan pembunuhan.[34]

Selain argumentasi di atas, Frederica Mattewes-Green, memberikan sanggahan-sanggahan kepada alasan-alasan seputar status kemanusiaan janin yang diajukan kelompok pro-aborsi. Ketakutan dan ketidaksiapan perempuan untuk memiliki anak seringkali menjadi alasan aborsi. Tidak diinginkannya kehadiran anak membuat janin tak dianggap sebagai manusia. Menurut Mattewes, jika manfaat dari keberadaan seseorang bergantung pada seseorang yang lain, maka kita boleh dengan sekehendak hati meniadakan anak-anak, darah daging kita sendiri yang tidak memberikan kebahagiaan bagi kita. Seringkali pula perkiraan bahwa anak akan terlahir cacat menjadi alasan aborsi. Menurut Mattewes, para penyandang cacat mungkin gemetar mendengarnya. Jika diketahui ketidaknormalan mereka sebelum mereka lahir, kita mungkin akan membuat mereka tidak terlahir ke dunia sehingga mereka tidak mengalami kehidupan yang jauh dari bahagia. Alasan aborsi bahwa anak akan mengalami penderitaan—seperti anak yang lahir akibat perkosaan—juga disanggah Mattewes. Dengan alasan ini, berarti kita menegaskan kekuatan si penyiksa dan mengesampingkan harapan dari mereka yang percaya bahwa masa lalu dapat dilupakan. Dengan itu semua, Mattewes memandang bahwa mempersepsikan janin sebagai bukan manusia berarti merendahkan martabat janin hanya demi mencari-cari alasan untuk aborsi. Kasus kehamilan di luar nikah, menurut Mattewes, barangkali memang memberatkan wanita—karena tanpa bapak yang bertanggung jawab. Namun, bukan berarti si wanita dapat melakukan hal yang sama—menghapus tanggung jawab dengan menggugurkan kandungannya.

Refleksi
Masalah aborsi memang sangat dilematis. Meskipun demikian, keamanan dan keselamatan ibu, nampaknya terlalu ekstrem untuk secara diametral diperhadapkan dengan kehidupan janin. Keselamatan dan keamanan ibu memang harus dipikirkan tetapi kenyataan bahwa problem aborsi bukan hanya problem medis dan psikologi perlu juga dipertimbangkan. Mengapa perempuan melakukan aborsi? Secara umum, bisa dijawab karena kehamilannya tidak diinginkan. Mengapa perempuan tidak menginginkan kehamilannya? Jawaban untuk pertanyaan yang terakhir inilah yang melibatkan problem-problem lain yang ada di masyarakat, seperti pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik dan pelayanan kesehatan. Pengetahuan masyarakat yang rendah seputar problem reproduksi membuat ketidaktahuan mereka menjadi penyebab aborsi. Kejahatan budaya terhadap perempuan mengancam ketahanan fisik-psikisnya serta membuat aborsi menjadi satu-satunya pilihan. Belum lagi problem kemiskinan dan rendahnya pelayanan kesehatan. Tak terkecuali pula faktor politik yang berusaha menekan laju pertumbuhan penduduk melalui program KB. Kekuasaan yang tercermin dalam pembentukan norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera membuat apa yang sebelumnya bukan problem—justru dianggap anugerah, menjadi masalah yang membuat malu. Banyak anak dulu dianggap membawa rizki, saat ini, banyak anak menjadi aib. Akibatnya, aborsipun menjadi pilihan.
Persoalan aborsi bukan hanya persoalan perempuan. Meskipun pemilik dan penguasa tubuh adalah perempuan, tetapi fungsi reproduksi tubuh perempuan memiliki efek-efek sosial yang tidak sederhana. Sehingga persoalan aborsi bukan persoalan sederhana. Mengembalikan masalah aborsi pada perempuan menafikan kompleksitas permasalahan yang melatarbelakanginya dan tidak akan mengatasi masalah. Aborsi merupakan problem sosial yang seharusnya menjadi keprihatinan semua pihak sehingga dicari solusi yang tidak parsial.
Dalam hal ini, prinsip hormat pada kehidupan haruslah dikedepankan dan menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang diambil.  Prinsip ini mendesak untuk segera diwujudkan manakala dihadapkan dengan kelompok tertentu yang tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan hidupnya dari ancaman orang lain. Tidakkah kehidupan janin dalam posisi rentan karena ia lemah tak bisa melawan, karena posisinya yang lemah ia bahkan dianggap hanya seonggok daging biasa yang bisa diiris dan dibuang kapan saja. Dalam kehidupan, prinsip ini seringkali diabaikan. Jangankan janin yang lemah, bahkan sesama manusiapun terjadi saling membunuh. Karena itu dalam kasus aborsi prinsip ini perlu kembali ditegaskan.
Prinsip hormat pada kehidupan mencakup di dalamnya kehidupan ibu dan kehidupan janin. Bagaimana membuat perempuan menginginkan kehamilannya itulah yang harus dicari solusinya. Tentunya, memecahkan persoalan ini tidak bisa hanya ditempuh melalui jalur hukum, tetapi harus diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain di bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan budaya, karena problem di sekitar aborsi bukan hanya problem struktur tetapi juga kultur. Menegaskan hak masing-masing tanpa melakukan perubahan pada bidang-bidang tersebut sama saja bohong dan tidak akan mengurangi angka aborsi.
Saya kurang setuju bila aborsi dilegalkan, dengan pertimbangan, ketentuan tersebut tidak hanya menafikan hak hidup janin tapi juga kelangsungan hidup si ibu. Karena terbukti, aborsi, dengan cara aman sekalipun tetap mengandung resiko-resiko, langsung maupun tidak langsung, bagi perempuan yang melakukannya. Ancaman terhadap keselamatan fisik serta ancaman psikologis berupa sindrom pasca-aborsi (pasca abortion syndrome) menunjukkan bahwa aborsi bukan solusi terbaik. Meskipun demikian, pintu aborsi tidak harus ditutup rapat-rapat. Ada celah-celah tertentu yang perlu dibuka, misalnya bagi aborsi karena indikasi medis. Dalam kasus inilah aborsi harus dilakukan. Meskipun begitu indikasi medis yang dimaksudkannya harus benar-benar bisa dipastikan secara medis, apakah benar kehamilannya mengancam nyawa ibu. Dalam kasus seperti ini nyawa ibulah yang harus diprioritaskan, karena ibu sudah memiliki tanggung jawab dibanding janin.
Dalam RUU Amandemen dinyatakan bahwa pemerintah wajib melindungi perempuan dari penghentian kehamilan tanpa persetujuan perempuan dan dengan cara yang tidak aman. Sedangkan aborsi yang aman hanya diizinkan untuk kehamilan dengan indikasi medis. Bagaimana bila tidak ada indikasi medis seperti kasus-kasus aborsi yang selama ini terjadi, padahal dalam realitasnya, terjadinya aborsi adalah karena kehamilan tak diinginkan, bisa karena kegagalan KB, korban perkosaan, malu, takut pada keluarga, takut tidak bisa melanjutkan sekolah. Apa langkah-langkah yang akan ditempuh negara padahal melihat tingginya angka aborsi dan besarnya resiko yang harus ditangggung menunjukkan bahwa aborsi sangatlah penting dan dibutuhkan bagi mereka.
Semua sebab-sebab aborsi yang ada selama ini memang tidak bisa diakomodasi dalam RUU, karena bila alasan-alasan kehamilan tidak diinginkan dimasukkan maka yang akan terjadi adalah pelegalan mutlak aborsi dan tentunya melanggar prinsip etika yaitu hormat pada kehidupan. Karena itu, aborsi tidak bisa hanya diatur melalui hukum tanpa ada kebijakan lainnya, seperti peningkatan pelayanan KB, reformasi kebijakan pendidikan yang melarang siswa hamil untuk meneruskan sekolah. Dalam bidang budaya harus ada pula gerakan penyadaran masyarakat akan kesetaraan gender dan peningkatan pengetahuan masyarakat akan kesehatan dan fungsi reproduksi, sehingga langkah-langkah ini bisa mengurangi adanya kehamilan tak diinginkan dan mengurangi angka aborsi serta lebih jauh lagi mengurangi angka kematian ibu di Indonesia.


Berbagai Sumber

1 komentar:

  1. footnotenya kenapa tidak dicantumkan? padahal isinya bagus tapi sayang foonote tidak ada sedangkan angka ada diatasnya..

    BalasHapus