Selasa, 27 Maret 2012

Kehadiran TNI DALAM DEMONSTRASI DIPERTANYAKAN


Kehadiran pasukan TNI untuk mengamankan demonstrasi akhir-akhir ini dipertanyakan. Sebab TNI bertugas melucuti musuh dari luar.

"Kasihan TNI kalau hanya untuk hal-hal yang bukan tugas dia, lucuti musuh dari luar yang mengancam presiden yang ingin merobohkan istana, itu baru betul, "  Negosiator_sudia, Selasa (27/3.

TEMPO.CO, Jakarta -- Dewan Perwakilan Rakyat mengkritik keras pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menangani demonstrasi. Ketua Komisi Pertahanan dan Keamanan DPR Mahfudz Siddiq menyatakan akan mempertanyakan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menggunakan aparat TNI. "Tentu kami minta pertanggungjawaban jika nanti jatuh korban," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini, Senin 26 Maret 2012.

Menurut Wakil Ketua Komisi T.B. Hasanuddin, keputusan ini melanggar Undang-Undang TNI. Mantan Sekretaris Militer Kepresidenan ini mengatakan dalam undang-undang tersebut diatur pengerahan militer harus melalui persetujuan DPR. "Undang-undang jelas menyebutkan harus melalui keputusan politik negara. Yang dimaksud dengan keputusan politik negara itu, ya, keputusan yang dibuat pemerintah bersama DPR," ujarnya.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menuturkan kebijakan melibatkan TNI dalam menangani demonstrasi juga salah sasaran. Sebab, TNI tak dilatih menghadapi rakyat. Karena itu, potensi jatuhnya korban akan lebih besar jika TNI berhadapan dengan masyarakat. Lagi pula, sejauh ini kepolisian belum menurunkan kekuatan secara maksimal, sehingga bantuan TNI belum diperlukan. "Kalau polisi sudah habis, baru boleh TNI diturunkan," ujarnya.

Di sela-sela pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi ke-2 Keamanan Nuklir di Seoul, Korea Selatan, Presiden Yudhoyono menginstruksikan kepolisian agar mengantisipasi unjuk rasa menolak rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.

Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan Presiden meminta Polri menangani demonstrasi dengan bijak, sehingga tidak menimbulkan korban.

Polri, kata dia, bisa berkoordinasi dengan TNI dan pihak lain untuk mengamankan aksi unjuk rasa. Menurut Julian, unjuk rasa merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi. "Tapi hendaknya dijaga dalam batas kepatutan dan hindari di luar batas kepatutan," katanya.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan pelibatan TNI untuk membantu kepolisian. Tentara, kata dia, disiagakan atas permintaan saat diperlukan. "Justru TNI bersama Polri dan masyarakat harus menjaga aksi unjuk rasa tidak mengarah pada pelanggaran hukum. Hansip saja bisa bantu polisi, apalagi tentara," kata Djoko.

Menurut dia, negara saat ini tidak sedang berada dalam situasi genting. Tidak ada status tertentu di daerah yang marak unjuk rasa. "Statusnya masih tertib sipil," kata Djoko.

ORANG SAKIT JIWA RAMAIKAN DEMONSTRASI DI MAKASSAR

MAKASSAR, - Seorang wanita yang diduga mengalami masalah kejiwaan, turut mewarnai aksi unjuk rasa penolakan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Makassar, Selasa (27/3/2012) siang. Wanita yang diperkirakan berusia 30-an tahun dengan tubuh yang kerdil berada di antara massa mahasiswa Universitas 45, Makassar,  Mahasiswa Universitas Indonesia Timur (UIT) Makassar dan mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) yang menutup jalan utama depan kampusnya kemudian berlanjut  ke Play Over  jln Urip sumoharjo.

"Turunkan BBM kodong Pak Presiden," teriak wanita yang akrab disapa Ani Gila, warga Jalan Pampang, Makassar. heheehhe

Sambil berlenggak-lenggok di depan kerumunan massa, Ani tertawa kegirangan, namun terkadang menangis tiba-tiba. Aksi Ani jelas menjadi hiburan di tengah ketegangan demonstrasi mahasiswa, di bawah teriknya sinar matahari.

Pun, masyarakat sekitar yang menyaksikan aksi demontrasi menjadi hiburan. Apalagi, bocah- bocah yang bergabung di kerumunan massa, mempermainkan Ani. Sesekali, Ani mengejar bocah-bocah tersebut.

Selasa, 13 Maret 2012

KRISIS KRITIS MAHASISWA

Kritis merupakan satu sifat yang mungkin tidak bisa dipisahkan dari yang namanya Mahasiswa. Hal itu tidak keliru, mengingat mahasiswa memiliki modal lebih dari pada masyarakat kebanyakan baik dalam bidang keilmuan atau pun pengalaman. Perjalanan sejarah bangsa ini, mulai dari kebangkitan nasional, kemerdekaan, hingga masa reformasi menempatkan mahasiswa sebagai bagian yang memiliki peran penting. Para pemuda pelajar tersebut selalu mempunyai ide cemerlang yang mampu mengubah peradaban di setiap zamannnya. Perjuangan mereka pun merupakan usaha yang murni, dipandang netral, bersih dan bebas dari kepentingan-kepentikan apapun yang bersifat pragmatis.
Romantisme tersebut masih kita banggakan dan masih dielu-elukan hingga saat ini. Kita bangga dengan masa lalu mahasiswa yang begitu cemerlang. Predikat “Agen Perubahan” pun masih kita yakini tersemat pada tiap diri kita. Hingga kita tersadar dan perlu bertanya, masih pantaskah gelar kebanggaan itu dihadiahkan pada mahasiswa zaman ini?
Sangat disayangkan, ketika kondisi negara ini dilanda masalah yang semakin kompleks, peran mahasiswa justru mulai meredup. Kemajuan teknologi dan akses informasi yang begitu  mudah yang seharusnya dijadikan modal dan insprasi mahasiswa untuk menuangkan gagasan-gagasan cemerlang serta sarana kritik untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik, justru membuat mahasiswa terlena dan mengabaikan masa depan bangsanya serta lupa akan peri-kemahasiswaannya, yaitu sikap kritis.
Kini, mahasiswa terjebak pada pola kehidupan populer yang lebih cenderung pada obsesi keakuan dari pada motivasi untuk kontribusi sosial. Mahasiswa hanya terfokus pada kuliah tanpa ada sumbangsih pemikiran yang membangun. Mahasiswa sudah tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu dengan kondisi sekitarnya. Oleh karena itu, tidak keliru jika mahasiswa masa kini, dinilai tidak memiliki keberanian dan kemampuan serta kepedulian mengeluarkan pendapat dan pemikiran ke publik. Aksi demonstrasi yang dilakukan tampak hanya seremonial dan formalitas belaka yang muncul hanya untuk memperingati moment tertentu.
Lebih parah lagi, mahasiswa saat ini terjebak pada budaya populer, di mana segala informasi dan kebijakan langsung diterima mentah-mentah, tanpa diproses, diverifikasi, dan didalami dengan logika kerja pikiran. Kondisi ini, terlihat misalnya di berbagai kampus di mana banyak mahasiswa yang tidak peduli dengan kebijakan yang diterapkan serta tidak peduli dengan keberadaan pemerintahan kampus, misalnya BEM, DEMA, dan yang lainnya. Jika pada kebijakan dan kondisi kampusnya saja tidak peduli bagaiamana dengan kebijakan pemerintah dan kondisi bangsa dan negara ini?
***
Tidak diragukan, bahwa masa depan bangsa ini berada di tangan generasi mudanya. Mahasiswa sebagai generasi muda terpelajar adalah yang paling menentukan dan paling bertanggun jawab terhadap masa depan bangsa ini. dalam sebuah tulisannya Busjro Muqaddas mengatakan “jika akan merusak bangsa dan negara, rusakkah mahasiswa!. Bawa mereka ke alam pikir serba instan dengan ciri-ciri :cepat lulus,cepet kerja, gaji besar, rumah mobil mewah, hoby diskotik, pub, cafĂ©, gaya hidup metropolitan. Pendeknya: penghamba materialisme. Jauhkan mahasiswa dari kecendrungan memiliki kepekaan dan empati sosial, tak tersentuh dengan jungkir balik orang tua pencari rizki demi masa depan anak, tak peka terhadap empat puluh juta si miskin yang terzalimi oleh sistem sosial yang korup, tak peduli terhadap mental dan laku bohong pejabat dan penguasa, bahkan tak peka mengenali dirinya sendiri.
Oleh karena itu, jika ingin membangun masa depan bangsa dan negara ini yang lebih baik, tidak lain, mahasiswa harus kembali kepada ‘fitrah’nya yaitu kritis. Tentu, dalam konteks sekarang kritis tidak mesti diartikan mahasiswa harus aksi-demonstrasi, melainkan harus mampu memanfaatkan media untuk menyampaikan gagasan dan koreksi kritisnya. Kondisi saat ini membutuhkan semangat yang berkobar terpatri dalam diri mahasiswa, semangat yang mendasari perbuatan untuk perubahan-perubahan atas keadaan yang tidak ideal, mimpi-mimpi besar akan bangsanya. Intuisi dan hati yang selalu menyerukan idealisme. Mahasiswa yang tahu, apa yang ia harus diperbuat  untuk masyarakat, bangsa dan negaranya.
Mahasiswa dengan netralitas, idealitas, intelektualitas dan integritas yang dimiliki harus mampu mengambil peran dan mengusai opini publik dengan prinsip selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan. Dengan begitu, masa depan bangsa-negara ini dijamin akan lebih baik, dan label “agen perubahan” menjadi patut untuk disematkan pada mahasiswa saat ini. Tetapi hal itu tidak cukup, mahasiswa juga harus mampu menjadi “aktor perubahan”, serta tetap konsisten menjadi “pengawal” kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tanpa harus terbebani sejarah masa lalu dan kepentingan-kepentingan pragmatis siapapun.