Kritis merupakan satu sifat yang mungkin
tidak bisa dipisahkan dari yang namanya Mahasiswa. Hal itu tidak
keliru, mengingat mahasiswa memiliki modal lebih dari pada masyarakat
kebanyakan baik dalam bidang keilmuan atau pun pengalaman. Perjalanan
sejarah bangsa ini, mulai dari kebangkitan nasional, kemerdekaan, hingga
masa reformasi menempatkan mahasiswa sebagai bagian yang memiliki peran
penting. Para pemuda pelajar tersebut selalu mempunyai ide cemerlang
yang mampu mengubah peradaban di setiap zamannnya. Perjuangan mereka pun
merupakan usaha yang murni, dipandang netral, bersih dan bebas dari
kepentingan-kepentikan apapun yang bersifat pragmatis.
Romantisme tersebut masih kita banggakan
dan masih dielu-elukan hingga saat ini. Kita bangga dengan masa lalu
mahasiswa yang begitu cemerlang. Predikat “Agen Perubahan” pun masih
kita yakini tersemat pada tiap diri kita. Hingga kita tersadar dan perlu
bertanya, masih pantaskah gelar kebanggaan itu dihadiahkan pada
mahasiswa zaman ini?
Sangat disayangkan, ketika kondisi
negara ini dilanda masalah yang semakin kompleks, peran mahasiswa justru
mulai meredup. Kemajuan teknologi dan akses informasi yang begitu
mudah yang seharusnya dijadikan modal dan insprasi mahasiswa untuk
menuangkan gagasan-gagasan cemerlang serta sarana kritik untuk membangun
masa depan bangsa yang lebih baik, justru membuat mahasiswa terlena dan
mengabaikan masa depan bangsanya serta lupa akan peri-kemahasiswaannya,
yaitu sikap kritis.
Kini, mahasiswa terjebak pada pola
kehidupan populer yang lebih cenderung pada obsesi keakuan dari pada
motivasi untuk kontribusi sosial. Mahasiswa hanya terfokus pada kuliah
tanpa ada sumbangsih pemikiran yang membangun. Mahasiswa sudah tidak
tahu atau bahkan tidak mau tahu dengan kondisi sekitarnya. Oleh karena
itu, tidak keliru jika mahasiswa masa kini, dinilai tidak memiliki
keberanian dan kemampuan serta kepedulian mengeluarkan pendapat dan
pemikiran ke publik. Aksi demonstrasi yang dilakukan tampak hanya
seremonial dan formalitas belaka yang muncul hanya untuk memperingati
moment tertentu.
Lebih parah lagi, mahasiswa saat ini
terjebak pada budaya populer, di mana segala informasi dan kebijakan
langsung diterima mentah-mentah, tanpa diproses, diverifikasi, dan
didalami dengan logika kerja pikiran. Kondisi ini, terlihat misalnya di
berbagai kampus di mana banyak mahasiswa yang tidak peduli dengan
kebijakan yang diterapkan serta tidak peduli dengan keberadaan
pemerintahan kampus, misalnya BEM, DEMA, dan yang lainnya. Jika pada
kebijakan dan kondisi kampusnya saja tidak peduli bagaiamana dengan
kebijakan pemerintah dan kondisi bangsa dan negara ini?
***
Tidak diragukan, bahwa masa depan bangsa
ini berada di tangan generasi mudanya. Mahasiswa sebagai generasi muda
terpelajar adalah yang paling menentukan dan paling bertanggun jawab
terhadap masa depan bangsa ini. dalam sebuah tulisannya Busjro Muqaddas
mengatakan “jika akan merusak bangsa dan negara, rusakkah mahasiswa!. Bawa
mereka ke alam pikir serba instan dengan ciri-ciri :cepat lulus,cepet
kerja, gaji besar, rumah mobil mewah, hoby diskotik, pub, café, gaya
hidup metropolitan. Pendeknya: penghamba materialisme.
Jauhkan mahasiswa dari kecendrungan memiliki kepekaan dan empati
sosial, tak tersentuh dengan jungkir balik orang tua pencari rizki demi
masa depan anak, tak peka terhadap empat puluh juta si miskin yang
terzalimi oleh sistem sosial yang korup, tak peduli terhadap mental dan
laku bohong pejabat dan penguasa, bahkan tak peka mengenali dirinya
sendiri.”
Oleh karena itu, jika ingin membangun
masa depan bangsa dan negara ini yang lebih baik, tidak lain, mahasiswa
harus kembali kepada ‘fitrah’nya yaitu kritis. Tentu, dalam konteks
sekarang kritis tidak mesti diartikan mahasiswa harus aksi-demonstrasi,
melainkan harus mampu memanfaatkan media untuk menyampaikan gagasan dan
koreksi kritisnya. Kondisi saat ini membutuhkan semangat yang berkobar
terpatri dalam diri mahasiswa, semangat yang mendasari perbuatan untuk
perubahan-perubahan atas keadaan yang tidak ideal, mimpi-mimpi besar
akan bangsanya. Intuisi dan hati yang selalu menyerukan idealisme.
Mahasiswa yang tahu, apa yang ia harus diperbuat untuk masyarakat,
bangsa dan negaranya.
Mahasiswa dengan netralitas, idealitas,
intelektualitas dan integritas yang dimiliki harus mampu mengambil peran
dan mengusai opini publik dengan prinsip selalu berpihak pada kebenaran
dan keadilan. Dengan begitu, masa depan bangsa-negara ini dijamin akan
lebih baik, dan label “agen perubahan” menjadi patut untuk disematkan
pada mahasiswa saat ini. Tetapi hal itu tidak cukup, mahasiswa juga
harus mampu menjadi “aktor perubahan”, serta tetap konsisten menjadi
“pengawal” kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tanpa harus
terbebani sejarah masa lalu dan kepentingan-kepentingan pragmatis
siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar