Selasa, 13 Maret 2012

KRISIS KRITIS MAHASISWA

Kritis merupakan satu sifat yang mungkin tidak bisa dipisahkan dari yang namanya Mahasiswa. Hal itu tidak keliru, mengingat mahasiswa memiliki modal lebih dari pada masyarakat kebanyakan baik dalam bidang keilmuan atau pun pengalaman. Perjalanan sejarah bangsa ini, mulai dari kebangkitan nasional, kemerdekaan, hingga masa reformasi menempatkan mahasiswa sebagai bagian yang memiliki peran penting. Para pemuda pelajar tersebut selalu mempunyai ide cemerlang yang mampu mengubah peradaban di setiap zamannnya. Perjuangan mereka pun merupakan usaha yang murni, dipandang netral, bersih dan bebas dari kepentingan-kepentikan apapun yang bersifat pragmatis.
Romantisme tersebut masih kita banggakan dan masih dielu-elukan hingga saat ini. Kita bangga dengan masa lalu mahasiswa yang begitu cemerlang. Predikat “Agen Perubahan” pun masih kita yakini tersemat pada tiap diri kita. Hingga kita tersadar dan perlu bertanya, masih pantaskah gelar kebanggaan itu dihadiahkan pada mahasiswa zaman ini?
Sangat disayangkan, ketika kondisi negara ini dilanda masalah yang semakin kompleks, peran mahasiswa justru mulai meredup. Kemajuan teknologi dan akses informasi yang begitu  mudah yang seharusnya dijadikan modal dan insprasi mahasiswa untuk menuangkan gagasan-gagasan cemerlang serta sarana kritik untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik, justru membuat mahasiswa terlena dan mengabaikan masa depan bangsanya serta lupa akan peri-kemahasiswaannya, yaitu sikap kritis.
Kini, mahasiswa terjebak pada pola kehidupan populer yang lebih cenderung pada obsesi keakuan dari pada motivasi untuk kontribusi sosial. Mahasiswa hanya terfokus pada kuliah tanpa ada sumbangsih pemikiran yang membangun. Mahasiswa sudah tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu dengan kondisi sekitarnya. Oleh karena itu, tidak keliru jika mahasiswa masa kini, dinilai tidak memiliki keberanian dan kemampuan serta kepedulian mengeluarkan pendapat dan pemikiran ke publik. Aksi demonstrasi yang dilakukan tampak hanya seremonial dan formalitas belaka yang muncul hanya untuk memperingati moment tertentu.
Lebih parah lagi, mahasiswa saat ini terjebak pada budaya populer, di mana segala informasi dan kebijakan langsung diterima mentah-mentah, tanpa diproses, diverifikasi, dan didalami dengan logika kerja pikiran. Kondisi ini, terlihat misalnya di berbagai kampus di mana banyak mahasiswa yang tidak peduli dengan kebijakan yang diterapkan serta tidak peduli dengan keberadaan pemerintahan kampus, misalnya BEM, DEMA, dan yang lainnya. Jika pada kebijakan dan kondisi kampusnya saja tidak peduli bagaiamana dengan kebijakan pemerintah dan kondisi bangsa dan negara ini?
***
Tidak diragukan, bahwa masa depan bangsa ini berada di tangan generasi mudanya. Mahasiswa sebagai generasi muda terpelajar adalah yang paling menentukan dan paling bertanggun jawab terhadap masa depan bangsa ini. dalam sebuah tulisannya Busjro Muqaddas mengatakan “jika akan merusak bangsa dan negara, rusakkah mahasiswa!. Bawa mereka ke alam pikir serba instan dengan ciri-ciri :cepat lulus,cepet kerja, gaji besar, rumah mobil mewah, hoby diskotik, pub, cafĂ©, gaya hidup metropolitan. Pendeknya: penghamba materialisme. Jauhkan mahasiswa dari kecendrungan memiliki kepekaan dan empati sosial, tak tersentuh dengan jungkir balik orang tua pencari rizki demi masa depan anak, tak peka terhadap empat puluh juta si miskin yang terzalimi oleh sistem sosial yang korup, tak peduli terhadap mental dan laku bohong pejabat dan penguasa, bahkan tak peka mengenali dirinya sendiri.
Oleh karena itu, jika ingin membangun masa depan bangsa dan negara ini yang lebih baik, tidak lain, mahasiswa harus kembali kepada ‘fitrah’nya yaitu kritis. Tentu, dalam konteks sekarang kritis tidak mesti diartikan mahasiswa harus aksi-demonstrasi, melainkan harus mampu memanfaatkan media untuk menyampaikan gagasan dan koreksi kritisnya. Kondisi saat ini membutuhkan semangat yang berkobar terpatri dalam diri mahasiswa, semangat yang mendasari perbuatan untuk perubahan-perubahan atas keadaan yang tidak ideal, mimpi-mimpi besar akan bangsanya. Intuisi dan hati yang selalu menyerukan idealisme. Mahasiswa yang tahu, apa yang ia harus diperbuat  untuk masyarakat, bangsa dan negaranya.
Mahasiswa dengan netralitas, idealitas, intelektualitas dan integritas yang dimiliki harus mampu mengambil peran dan mengusai opini publik dengan prinsip selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan. Dengan begitu, masa depan bangsa-negara ini dijamin akan lebih baik, dan label “agen perubahan” menjadi patut untuk disematkan pada mahasiswa saat ini. Tetapi hal itu tidak cukup, mahasiswa juga harus mampu menjadi “aktor perubahan”, serta tetap konsisten menjadi “pengawal” kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tanpa harus terbebani sejarah masa lalu dan kepentingan-kepentingan pragmatis siapapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar