Jumat, 18 November 2011

TUHAN GURITA, NEGARA AQUARIUM

Negara adalah "Organisasi Kontrak Sosial" (John Locke) Negara adalah "Pasar Sosial" (Adam Smith) Negara adalah "Alat Penindas dari Kelas yang Berkuasa" (Marx) Negara adalah "Wadah Sosial yang Bersifat Memaksa" (Gramsci). 

Persoalan negara adalah pilihan idealistik atas dialektika ideologis. Dari sekian banyak definisi negara, rakyat dibuat bingung atas batas-batas fungsinya. Bahkan saking uniknya negara, semua urusan hidup masyarakat, mulai kelahiran hingga kematian diintervensi negara. Rumah besar yang namanya negara, saat ini mulai dipertanyakan fungsionalitasnya. 

Betapa tidak, sejak masyarakat mulai mengenal negara-kota era Yunani kuno, negara oleh masyarakat hingga saat ini tidak dapat memberikan perlindungan apalagi kesejahteraan bagi masyarakat. Perang Dunia I dan II, perang dingin, konflik rasis, etnik, suku, agama, kelompok, masih berlangsung di setiap belahan bumi. 

Isme demokrasi sebagai pendulum tata cara bernegara justru tumpang tindih atas berbagai penafsiran. Demokrasi modern hingga modifikasi demokrasi sentuhan lokal, menambah khasanah betapa demokrasi menjadi agama sipil baru dalam upaya membangun masyarakat yang sejahtera, aman dan adil. Dalam perjalanan umat manusia dalam bermasyarakat, silih berganti dengan model organisasi sosial berbeda dari zaman ke zaman. 

Masyarakat sebagai produk zaman telah melalui fase antara lain; Pertama, zaman primitif, siapa kuat dia menang. Kedua, zaman Yunani kuno, negara para filosof dan para kesatria. Ketiga, zaman feodalisme dan agama, negara para raja dan elite agama. Keempat, zaman pencerahan, negara para pendobrak dan para romantik demokrasi Yunani. Kelima, zaman modern, negara para kapitalis. Dari fase perjalanan panjang ini, penulis tentu tidak mungkin akan membahasnya satu-persatu. 

Yang terpenting adalah bagaimana memaknai upaya manusia dalam bermasyarakat secara alamiah cenderung hidup berkelompok dalam ruang kolektif. Namun, dari catatan sejarah tiap fase, manusia dalam berbangsa dan bernegara cenderung saling menaklukkan satu sama lain. 

Jadi, apakah kemudian yang dikatakan oleh Hobbes homo homini lupus est (manusia memangsa sesamanya) menjadi relevan? Lantas di mana letak moral yang konon katanya universal dan kodratif melekat pada diri setiap manusia? Atau moral itu sama sekali tidak ada, karena manusia adalah bahan lentur seperti plastik, yang harus statis dengan kondisi sekelilingnya, sebagaimana dikatakan David Hume dengan teori emotivision- nya. Kayaknya, negara semakin kehilangan relevansinya. 

Ternyata, praktik hidup bernegara tidak ubahnya sebuah dagelan yang dimainkan dalam arena panggung kemanusiaan dan hasrat ideologis dimensional. Mimpi sebagai manusia bebas yang sejahtera, aman dan adil dalam bingkai demokrasi masih dalam proses laboratori sosial, belum menemukan tata hidup hakiki umat manusia dalam bermasyarakat. 

Politik "Akuariumisme" 

Akuarium adalah sebuah wadah yang biasanya berisi ikan-ikan hias yang ada dalam rumah, berbentuk segi empat dan terbuat dari kaca tebal. Ikan hias atau makhluk apapun yang ada di dalamnya, terkesan sangat indah dan menawan. Dari aspek kesehatan, ikan-ikan itu tampak sehat dan teratur. Suhu yang disesuaikan dan sterilisasi air yang sering direfresh diganti berulang-ulang. 

Serta makanan yang diberikan secara berkala dengan takaran sesuai keinginan pemilik sekaligus si penikmat akuarium. Tapi, apakah di dalam akuarium masih terdapat kebebasan? 
Kehidupan alam akuarium, keindahan dan keberlangsungan hidup, ditentukan oleh sebuah kekuatan yang di luar batas nalar dari makhluk akuarium. Tentunya, kekuatan itu adalah si pemilik akuarium. 

Sekali si akuariumer sengaja atau lupa memberi makan atau lalai mengganti air dan menjaga suhu, maka makhluk dalam akuarium saling memangsa antar-sesamanya. Bahkan, mati secara keseluruhan. Dari keindahan dan kenyamanan sesaat, alam akuarium dapat berubah dari surga menjadi neraka. 

Artinya, ikatan sosial antar makhluk akuarium ditentukan oleh ada tidaknya makanan dan ruang yang sehat, dari si tuhan akuariumer sebagai pemilik alam akuarium. Hal tersebut diterima oleh makhluk akuarium secara instigtif keilahian dan takdiryah. 

Jika kehidupan akuarium dianalogikan dalam kehidupan bernegara, maka jelas bahwa negara tidak lebih dari sebuah akuarium raksasa, yang di dalamnya terdapat kehidupan yang dikendalikan sebuah "kekuatan besar" (baca; negara-negara maju) yang tanpa sadar oleh sebagian umat manusia terkamuflase oleh sistem hidup mereka. 

Sebagai contoh konkret, banyak negara di dunia, terutama negara-negara dunia ketiga dan negara miskin, yang negaranya dikendalikan oleh kekuatan besar dan tidak dihadapi secara kritis. 

Kekuatan besar tersebut adalah sistem ekonomi politik neoliberalisme yang menjadi sistem hidup, menipu kesadaran dan mengglobal bak gurita mencengkeram bumi, seolah-olah ingin menelannya bulat-bulat. Lembaga-lembaga dan regulasi internasional yang dibuat si tuhan gurita, seperti kerajaan fetisisme finansial internasional dan melakukan penjajahan dengan skema utang luar negeri. 

Gaya penjajahan lewat skema utang, membuat negara-negara hamba menjadi bergantung. Bagaimana tidak, sirkulasi finansial yang dipinjamkan, sebagai pinjaman pokok harus ditebus dengan bunga utang yang tidak sedikit. Anehnya, sebelum si negara hamba melunasi utang pokoknya, waktunya sudah jatuh tempo. 

Artinya, si negara hamba terjebak lagi untuk melunasi "utang bunga utang". Dan apabila si negara hamba tidak dapat melunasi utang bunga utangnya, maka si tuhan gurita mencetak uang lagi untuk didesak-pinjamkan ke negara hamba. Begitu seterusnya. 

Lalu, jika si negara hamba menolak untuk membayar utang, maka ancaman boikot dan isolasi internasional. Baik pemutusan hubungan diplomatik, politik, ekonomi, atau dengan menghancurkan struktur kekuasaan si negara hamba dengan menggantinya boneka baru. 

Artinya, seluruh kehidupan kita ditentukan dan dikendalikan oleh si tuhan gurita. Ini adalah negara dagelan yang persis sama negara akuarium. Dan rakyatnya tidak kritis dan juga menerimanya sebagai sebuah keilahian dan takdiryah fatalis! 

Pikiran Anak Zaman 

Manusia sebagai makhluk anak zaman, harus berkontemplasi untuk kembali menemukan sistem hidup baru yang lebih manusiawi. Sebagaimana laju sejarah, peradaban senantiasa berubah, seiring dengan pikiran manusia yang terus maju. Umat manusia membutuhkan pencerahan baru, peradaban baru dengan sistem sosial yang baru pula. Spirit perubahan, sangat dibutuhkan di tengah-tengah distorsi sosial terjadi di mana-mana. 

Kalau toh umat manusia belum menemukan sistem baru tersebut, tapi setidak-tidaknya sistem yang ada sekarang, pikiran jangan dibodohi. Kita tidak menolak wadah negara. Atau paling tidak, negara sebagai organisasi sosial dikembalikan asasnya sebagai wadah kesejahteraan bagi rakyat. 

Gaya negara ala John locke dengan kontrak sosialnya, negara pasar ala si moyang kapital Adam Smith, negara ala si misterius Karl Marx dengan sosialismenya, dan negara ala Gramsci dengan sosial demokratnya, konon semuanya bertujuan untuk kesejahteraan umat manusia. Jadi, apapun pilihan model negara, yang jelas rakyat tidak menginginkan negara ala raja Louis XIV "Negara adalah Saya". 

Dan rakyat lebih tidak menginginkan negara akuarium, yang setahap lagi menjadi negara gagal. "Semoga ciri-ciri di atas bukan negara republik Indonesia… meski ada kecocokan." (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar