Jumat, 18 November 2011

ALANGKAH LUCUNYA NEGERIKU

Salah satu dialog yang menyentak di film "Alangkah Lucunya Negeri Ini" ketika Bang Samsul dengan tertawa sinis berkata "sekarang saya mengerti, mengapa orang yang rajin salat dan hafal pancasila masih saja korupsi." 

Salah seorang anak pencopet baru saja pulang salat di masjid dengan memakai sandal yang baru dan bagus. Ternyata sandal itu adalah milik jemaah lain yang ia ambil. 

Ketika menonton dialog tersebut dan berusaha memahami maknanya, saya pun ikut tertawa sinis. Dialog di film tersebut saya bawa ke konteks yang lebih luas: negeri ini. 

Di negeri yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia, dengan lima agama formal dan sejumlah keyakinan, yang rajin membaca ayat suci di awal dan doa di akhir suatu perhelatan, yang sejak kecil diajari berbagai macam doa sebelum makan, tidur, atau belajar, ternyata selalu masuk lima besar negara terkorup di Asia dan bahkan dunia. 

Perkara ini lucu selucu-lucunya, sekaligus miris semiris-mirisnya. Dua konsep yang bertentangan secara diametral antara agama dan dosa, beragama dan mencuri, menyatu dalam wadah bernama Indonesia. 

Apa pun dan di mana pun, agama dan pencurian dan berbagai variannya seperti korupsi, kolusi, nepotisme, suap, atau mengemplang pajak, tak bisa disatukan. Ia seperti air dan minyak. Namun, seperti yang saya katakan tadi; lucu dan miris, semuanya terjadi di negeri ini. 

Disharmoni 

Bangsa ini sudah terbiasa memelihara ketakselarasan dan disharmoni. Dilaporkan, di negeri ini terjadi peningkatan di bidang ekonomi melebihi negara lain di Asia Tenggara, namun kemiskinan juga ikut melonjak tajam. 

Tiap tahun, jemaah haji Indonesia bertambah bahkan sampai antre, tapi masih ada juga rakyat yang kelaparan. Tiap saat anggota DPR kita pelesiran keluar negeri, lalu di saat yang sama banyak gedung sekolah yang hampir ambruk. 

Semuanya berawal dari disharmoni kata dan perilaku oleh para pemimpin; politik, agama, hukum atau pendidikan. Pemimpin adalah individu-individu yang dianugerahi kemampuan komunikatif yang baik dan merepresentasi diri melalui pencitraan. 

Tak ada yang menyangkal bahwa pemimpin adalah mereka yang memiliki kemampuan retorika yang baik, yaitu kemampuan untuk mempersuasi orang lain untuk melakukan sesuatu. Mereka sangat memukau ketika berpidato dalam kampanye, ceramah, perayaan hari besar, di atas mimbar dan gedung dewan. 

Teori retorika modern pun membenarkan kemampuan performatif mereka dengan memiliki penampilan menarik, bahasa tubuh, dan representasi simbol-simbol. 

Namun, ada yang salah dalam pemahaman retorika ini. Menurut Charteris-Black (Politicians and Rhetoric, 2005) bahwa banyak pemimpin modern saat ini yang menganggap bahwa retorika murni hanya perihal pilihan kata dan gaya bahasa (language choice and style). 

Menurutnya, sekarang ini muncul semacam negative sense of rhetoric as over-decorative use of language, pemahaman negatif bahwa retorika hanya terisolasi pada penggunaan bahasa yang over-dekoratif. Retorika hanya berkutat pada persoalan pilihan kata sebagai representasi diri subjek untuk membangun image. 

Pemicu dari semua ini medan komunikasi sangat kental dengan kepentingan politik yang sempit yaitu kekuasaan (power) dan uang. Model retorika yang terisolasi ini sedikit banyak telah menyumbang kegagalan bangsa. 

Retorika bukan hanya seni berbicara. Dalam retorika klasik ditegaskan bahwa retorika yang humanis harus mementingkan dua aspek yaitu kategori rasional (logos) sekaligus moral (ethos). Kategori rasional berisi tentang isi, pemikiran, penilaian, pilihan kata dan gaya bahasa, sedangkan kategori moral adalah perilaku dari pemimpin. 

Seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang bukan hanya berkata-kata melalui rasionalisasi pemikirannya, tapi juga menjadi teladan dalam perihal perilaku. Secara logos, pemimpin kita mampu meyakinkan publik bahwa mereka adalah orang berpendidikan, cerdas, fasih tentang ayat suci dan sekaligus, secara ethos, melaksanakan atau mem-perilaku-kan apa yang dikatakannya. 

Seruan melawan korupsi melalui rasionalisasi bahasa harus didukung oleh perilaku moral anti-korupsi, yaitu jujur, sederhana, transparan, tidak mengemplang pajak, menolak segala bentuk suap, atau menghindarkan diri dari penggunaan fasilitas negara untuk pribadi. 

Retorika penegakan hukum harus didukung dengan perilaku tegas, tidak pandang bulu, tak ada politisasi, dan tidak melindungi pelanggar hukum. Bukan dengan sikap lepas tangan lalu, dengan mudahnya, hanya menyatakan sikap prihatin. 

Saya masih ingat retorika pemimpin kita "bersama kita bisa". Dalam pemilihan kata ini, melalui kata "bersama" sang pemimpin ingin membangun mitos "merakyat" yang bermakna ajakan kepada seluruh rakyat untuk melakukan sesuatu bersama. Makna ini dipertegas dengan penggunaan kata "kita" yaitu kata ganti orang pertama jamak di mana partisipan (pembicara dan pendengar) menginklusifkan diri. 

Namun, pilihan kata ini teronggok semacam retorika kosong (empty rhetoric) karena rakyat ternyata ditinggalkan setelah kekuasaan digenggam. 

Tak sulit untuk membuktikan tesis ini. Kasus Century sampai hari ini mati suri. Padahal, dalam kasus ini Rp6,7 trilliun uang rakyat hilang tak berbekas. Di mana pemimpin saat itu? Rekening gendut polisi yang melanggar "retorika transparansi" sudah dilupakan. 

Di mana pemimpin saat itu? Kasus Gayus telah redup padahal pemimpin kita menjanjikan penuntasannya dalam waktu cepat. Kapolri melanggar "retorika percepatan" dengan menjanjikan penyelesaian kasus ini dalam waktu 10 hari setelah Gayus terbukti pelesiran ke Bali, namun sampai sekarang kosong. 

Dengan melihat dan memahami fakta ini, sekarang saya pun mengerti –seperti Bang Samsul dalam film "alangkah lucunya negeri ini – kenapa pemimpin kita yang yang rajin salat dan hafal pancasila masih saja korupsi. Ternyata itu hanya pencitraan untuk mengelabui publik agar mendapatkan uang, fasilitas, dan kekuasaan. "Alangkah lucunya pemimpin kita". 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar