Minggu, 07 Agustus 2011

Hirarki Ilmu-ilmu Islam


Tulisan ini mengetengahkan dan menempatkan penelitian dan wacana mistisisme (irfan) dalam konteks yang lebih luas dalam berbagai disiplin ilmu yang dipelajari dan dipraktikkan dalam Islam. Setelah pendahuluan singkat tentang ilmu-ilmu dalam Islam dan definisi dari suatu ilmu, penulis memfokuskan perhatiannya pada hubungan antara mistisisme dan filsafat, dan penilaian yang berbeda dari keduanya terhadap konsep realitas eksistensi.
Untuk menegaskan dan mendefinisikan lokasi yang tepat bagi penelitian mistisisme, kami perlu menjelaskan tiga isu kontekstual. Pertama, apa yang dimaksud dengan istilah “ilmu-ilmu Islam?” Kedua, apa karakteristik yang sama dan apa yang membedakan mistisisme dari jenis sains dan disiplin ilmu Islam yang lain? Ketiga, bagaimana mistisisme berkembang dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu yang lain, dan bagaimana mereka ini saling mempengaruhi? 
Suatu Definisi Umum tentang Ilmu-ilmu Islam
Ilmu-ilmu Islam (ulum islamiyyah) merupakan konsep yang digunakan dalam dua makna.1 Makna yang pertama dipahami secara luas. Ilmu-ilmu Islam, dalam maknanya yang luas, meliputi suatu konstelasi berbagai disiplin ilmu, yang telah terlibat dalam konteks peradaban Islam, baik yang berkembang dari sumber-sumber dan prinsip-prinsip Islam maupun yang telah ada dalam komunitas dan peradaban lain (ulum al-awa’il), tetapi terintegrasi dan berkembang di dalam peradaban Islam. Ilmu-ilmu Islam dalam makna luas ini merangkul berbagai disiplin ilmu yang lazim diyakini oleh para ilmuwan Islam di berbagai institusi ilmiah dan akademis di dunia Islam di sepanjang sejarah Islam.
Konsekuensinya, baik ilmu-ilmu Islam seperti fikih, teologi, ushul fikih, tafsir al-Quran, dan sejarah hidup (sirah) Nabi saw dan para imam maksum as, dan ilmu-ilmu yang lain yang berasal dari peradaban lain seperti astronomi, obat-obatan, dan matematika, semuanya sesuai dengan kategori yang luas ini.
Makna yang kedua lebih sempit. Definisi sempit ini meliputi disiplin-disiplin ilmu yang langsung berasal dari prinsip-prinsip dan sumber-sumber Islam, yaitu al-Quran, hadis (sunah) Nabi saw dan para imam as, dan keketapan-ketetapan yang berasal dari al-Quran. Kategori ilmu-ilmu ini merupakan inovasi umat Islam, dan sebenarnya, merupakan sebuah ilustrasi dan interpretasi dari hadis Nabi saw.
Kategori yang sempit dari ilmu-ilmu Islam itu sendiri dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama meliputi ilmu-ilmu yang dikembangkan semata-mata untuk tujuan penafsiran dan penjabaran makna dan tujuan al-Quran dan hadis Nabi saw. Yang kedua meliputi ilmu-ilmu yang dianggap sebagai suatu pengantar pada kelompok yang pertama, misalnya logika, literatur dan tata bahasa Arab, sejarah Islam, rujukan-rujukan yang berkaitan dengan pemahaman al-Quran, dan ilmu pembacaan al-Quran, dan ilmu untuk melakukan verifikasi periwayat hadis Nabi saw dan para imam as (ilm ar-rijal).
Ilmu-ilmu Islam juga dibagi menjadi dua kategori berdasarkan metodologinya. Mereka bisa didasarkan pada penalaran murni, bisa pula memperoleh otoritasnya dari sumber-sumber agama. Kategori yang pertama, yang didasarkan pada investigasi intelektual, meliputi ilmu-ilmu intelektual (ulum al-aqliyyah). Yang kedua meliputi ilmu-ilmu yang didasarkan pada otoritas dan penafsiran terhadap kitab suci (ulum an-naqliyyah).
Dalam ilmu-ilmu yang berasal dari kitab suci —skriptural, otoritas sumber-sumber yang suci ini merupakan landasan utama argumentasi-argumentasinya. Namun demikian, derajat penalaran rasional dalam ilmu-ilmu ini bervariasi. Disiplin-disiplin ilmu seperti filsafat (falsafah al-Ilahiyyah), mistisisme teoritis, logika, dan teologi rasional (kalam al-aqli) hanya menggunakan premis-premis rasional dalam argumentasi mereka. Jelas, bahwa mereka masuk ke dalam kategori yang pertama; sedangkan mistisisme praktis teologi skriptural, ushul fikih dan penafsiran al-Quran, dianggap sebagai ilmu-ilmu skriptural. 
Kesamaan dan Perbedaan antara Mistisisme dan Cabang-cabang Lain Ilmu-ilmu Islam
Ilmu-ilmu Islam berbeda dalam bahasannya, tujuan atau metodologinya, atau salah satu atau dua dari faktor-faktor ini. Misalnya, teologi berbeda dari fikih dari sisi bahasan dan tujuannya. Bahasan teologi adalah sikap religius seseorang terhadap umat manusia dan dunia, sedangkan bahasan fikih adalah aktivitas manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia lain, dan dunia. Tujuan teologi adalah mencapai kedamaian pikiran dan kepastian dalam sebuah dunia yang tidak pasti, sedangkan fikih berurusan dengan kesesuaian tindakan-tindakan kita dengan perintah-perintah Tuhan.
Di sisi lain, tidak seperti fikih, teologi rasional mengikuti suatu metodologi rasional dan kebanyakan hanya mengandalkan “nalar—akal” (aql), sedangkan teologi skriptural memiliki metodologi yang sama dengan fikih, dengan mengombinasikan metodologi argumentasi skriptural dan akal murni.Filsafat Islam (metafisika) dan teologi juga berbeda dalam hal bahasan dan tujuannya. Bahasan metafisika adalah eksistensi murni (al-wujud bima huwa wujud), sedangkan bahasan teologi adalah eksistensi Tuhan (kesadaran atas eksistensi-Nya adalah wajib). Namun demikian, kedua disiplin ilmu ini menggunakan metodologi yang sama dalam mencapai tujuan mereka, yakni akal murni. Maksud kami di sini adalah memperlihatkan kesamaan dan perbedaan antara mistisisme dan disiplin-disiplin lain dalam ilmu Islam.
Kategorisasi ilmu-ilmu Islam ke dalam ilmu pengantar dan ilmu inti menempatkan mistisisme ke dalam kategori inti dan fundamental. Ia juga masuk ke dalam kategori ilmu rasional, walaupun mistisisme praktis masuk ke dalam kategori ilmu-ilmu skriptural. Masuknya mistisisme teoritis ke dalam ilmu-ilmu intelektual menunjukkan bahwa mistisisme tipe ini mendorong penemuan intuisi melalui penalaran rasional, walaupun sumber utama intuisi dan pengetahuan diperoleh melalui penyucian hati. Hasil-hasil perjalanan spiritual seperti itu seringkali ditegaskan oleh penalaran induktif. Sebagai hasil dari sebuah metodologi yang diperluas seperti itu, kita bisa mengklasifikasikan tipe pengetahuan ini sebagai bagian dari ilmu-ilmu rasional.
Salah satu prinsip utama dari disiplin ilmu ini, yang disepakati oleh semua ulama irfan, adalah bahwa orang harus mengikuti seorang pembimbing dalam semua tahap perjalanan spiritual. Pemimpin yang jujur dan berpengalaman, yang dipilih sebagai pembimbing dalam perjalanan ini harus juga seorang kekasih Tuhan (wali Allah).2 Guru dan pembimbing yang terbesar dalam perjalanan spiritual kepada Tuhan adalah Nabi Islam, Muhammad saw. Beliau dan keturunannya adalah para guru dan pembimbing terbesar yang harus diikuti oleh manusia dalam pencarian spiritualnya atas kebenaran dan makna kehidupan. Mereka adalah orang-orang terdepan dalam pengetahuan dan para guru cinta, dan tanpa mereka manusia bisa tersesat, karena upaya yang dilakukannya itu bisa berubah menjadi perjalanan yang sangat beresiko tanpa bimbingan para wali Tuhan ini.
Interpretasi ini berdasarkan pemikiran Syiah yang menempatkan akal sebagai bagian utama. Rujukan kepada suatu otoritas, dalam pemikiran Syiah dianggap tidak meyakinkan. Pada analisis akhirnya, otoritas terletak pada akal. Di sisi lain, beberapa mahzab pemikiran, terutama dari kalangan mahzab Islam Suni, menisbatkan otoritas absolut kepada Nabi saw dan menolak peran akal.Perlunya memiliki seorang tutor dalam jalan spiritual telah dikatakan berulang kali oleh para guru besar di bidang ini. Jalaluddin Rumi (w. 1274), guru besar sufi dan pendiri Ordo Maulawi yang beranggotakan para darwis, dalam risalahnya yang sangat menarik, Mathnavi-ye Ma‘navi, mengingatkan kita tentang pentingnya hal tersebut, ketika ia berkata:
Ikutilah sang guru (pir) karena tanpanya,
perjalanan ini sangat penuh bahayaKarena itu,
di jalan yang belum kau lihat sebelumnya
Hendaknya kau tak pergi sendiri,
jangan membantah sang pembimbing3
Hafizh (w. 1389), ahli lain dalam bidang ini menyatakan hal yang sama ketika ia berkata:
Janganlah berjalan ke wilayah cinta tanpa alasan yang kuat,
Aku telah melakukan ratusan upaya namun sia-sia
Waspadalah dengan jalan yang penuh bahaya ini tanpa bimbingan Khidir,
ia adalah kegelapan, dan bahaya tersesat pun hadir.
Menurut prinsip irfan yang penting ini, adalah wajib untuk mengikuti seorang kekasih atau wakil Tuhan. Mengikuti Nabi Suci saw dan orang-orang yang paling dekat dengannya sebagai kekasih Tuhan adalah hal yang paling penting. Kedua, mereka yang paling akrab dengan praktik dan ajaran Nabi saw dan para imam as juga ditunjuk untuk membimbing manusia. 
Perbedaan antara Problem Filsafat dengan Problem Irfan
Ketentuan untuk mengikuti Nabi saw dan para wali yang lain mengisyaratkan bahwa irfan praktis adalah suatu ilmu yang didasarkan pada otoritas skriptural. Manusia hanya boleh mengikuti mereka melalui suatu pemahaman terhadap tindakan mereka dan terhadap al-Quran. Namun demikian, mistisisme, filsafat, dan teologi teoritis memiliki karakteristik lazim yang sama seperti inkuiri intelektual pada sifat eksistensi.
Di sisi lain, irfan praktis ini serupa dengan etika dan fikih, karena ketiganya berurusan dengan masyarakat manusia. Ilmu-ilmu Islam yang lain tidak memiliki landasan yang sama dengan irfan, sehingga tidak dimasukkan dalam penelitian ini.Karakteristik-karakteristik disiplin ilmu mana pun terdiri dari dari empat elemen.
Pertama, metodologi menetapkan model-model inkuiri dan metoda verifikasi;
kedua, pokok bahasan (mawdhu) mendefinisikan ilmu, karena suatu “ilmu meneliti kelengkapan esensial dari pokok bahasannya”;4
ketiga, apriori dan topik (masa’il, qadhayah) yang terlibat turut menentukan karakteristik disiplin ilmu tersebut;
keempat, tujuan dan telos (ghayah) dari suatu ilmu mendefinisikan tujuan penelitian.5
Irfan teoritis menggunakan sebuah metodologi yang berbeda dari yang digunakan oleh filsafat dan teologi. Selain suatu metodologi intelektual, ia terutama mengandalkan pada intuisi (isyraq) dan pengalaman langsung (dzawq). Ilmu ini lebih memilih pengetahuan yang diilhami oleh suatu pemahaman melalui hati, daripada yang melalui penalaran logis. Karena melalui intuisi, suatu penyatuan antara subjek pengetahuan, pengetahuan itu sendiri, dan yang memiliki pengetahuan terjadi (ittihad al-aql wa al-aqil wa al-ma‘qul).
Sebaliknya, hasil-hasil penelitian rasional hanya beberapa refleksi atau image kognitif dari pokok bahasannya, dan realitas dari pokok bahasannya sendiri tidak hadir pada orang yang memiliki pengetahuan tersebut.
Mistisisme teoritis dan teologi adalah sama, karena keduanya menetapkan hasil-hasilnya sebelum penalaran apa pun, dan kemudian mencoba untuk memperkuatnya melalui penalaran. Namun demikian, keduanya berbeda karena dasar suatu pengetahuan priori dalam teologi memiliki otoritas religius, dan dalam irfan teoritis, pengetahuan diperoleh melalui intuisi.
Berkaitan dengan pokok bahasannya, filsafat berbeda dengan irfan teoritis. Bahasan filsafat adalah eksistensi murni atau eksistensi qua eksistensi. Bahasan irfan teoritis, sebaliknya, adalah Tuhan atau suatu model eksistensi, yang ketiadaannya adalah hal yang secara logis mustahil dibayangkan, yakni Eksisten Wajib (wajib al-wujud). Filsafat berurusan dengan eksistensi dalam bentuk dan sifat-sifatnya yang murni, tanpa memandang tipe eksistensinya.
Namun demikian, mistisisme hanya berfokus kepada Tuhan dan eksistensi-Nya, karena bentuk-bentuk eksisten lain itu sebenarnya tidak ada; mereka hanyalah sebuah bayangan eksistensi, yakni eksistensi Tuhan.6 Dia adalah eksistensi dan segala sesuatu yang lain merupakan sebuah bayangan dari eksistensi-Nya. Menurut irfan, eksistensi itu ekuivalen dengan wajibnya eksistensi. Artinya bahwa eksistensi yang sejati adalah yang secara mutlak wajib ada, yaitu Tuhan. Yang lainnya memiliki suatu eksistensi yang bersifat ilusi.
Bahasan teologi menyertakan isu-isu yang berkenaan dengan asal-usul penciptaan, kebangkitan, kenabian, kepemimpinan, dan topik-topik terkait. Eksistensi Tuhan dan sifat-sifat-Nya merupakan bahasan mistisisme. Namun demikian, mistisisme tidak berurusan dengan pembuktian adanya Tuhan, yang di luar cakupannya. Tidak ada disiplin ilmu yang diperlukan untuk membuktikan eksistensi pokok bahasannya. Eksistensi Tuhan tidak memperoleh perhatian dalam mistisisme, dan tugas onto-teologi atau teologilah untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Sekedar fakta bahwa Tuhan itu ada adalah masalah filosofis, karena sifat wajib ada di antara sifat-sifat eksistensi.
Konsepsi umum dalam mistisisme dan filsafat tidak sama. Dalam filsafat, eksistensi dibagi menjadi kategori-kategori semacam: kejamakan dan ketunggalan, kausalitas, esensi dan sifat-sifat, keabadian dan sifat baru, dan eksistensi wajib (inheren) atau eksistensi yang mungkin. Namun demikian, dalam mistisisme dengan asumsinya tentang monorealisme (wahdat al-wujud), kategori-kategori eksistensi ini sama sekali tidak masuk akal. Berbagai bentuk dan warna berbeda pada eksisten adalah ilusi, karena ada ketunggalan dalam ketunggalan. Yang ada hanya satu realitas.
Dalam filsafat, yang dipertimbangkan adalah konsep-konsep umum. Melalui sebuah proses abstraksi deduktif, pikiran melanjutkan untuk mengonseptualisasikan beberapa konsep umum, yang tidak memiliki posisi dalam eksistensi konkrit. Tahap pertama proses semacam itu terjadi dengan membentuk sebuah konsep umum, yang bisa diterapkan para subjek-subjek yang aktual dan nyata.
Misalnya, konsep tentang “kucing” diasumsikan dari seekor atau banyak kucing yang nyata, tetapi konsep umum ini tidak ekuivalen dengan bayangan kita tentang kucing individual mana pun. Ini merupakan sebuah konsep umum, yang meliputi sifat-sifat lazim kucing, dan mengabaikan perbedaannya. Konseptualisasi ini bahkan bisa melangkah lebih jauh dan menghasilkan konsep sekunder, seperti seekor “binatang.” Bahkan ada sebuah konseptualisasi yang lebih canggih ketika kita menyimpulkan kategori-kategori logis seperti “generality-sifat umum,” “necessity-sifat wajib,” “causality-kausalitas dan sebagainya. Mereka bisa berupa konsep sekunder yang logis atau yang filosofis (ma‘qulat tsaniyyah manthiqiyyah aw falsafiyyah).
Shadruddin Muhammad Syirazi (w. 1641) dikenal sebagai Mulla Shadra, seorang filosof zaman kebangkitan Safawi di Iran, mengakhiri kontroversi antara filsafat dan irfan ketika ia memperkenalkan filsafat transendentalnya, dengan menggabungkan elemen-elemen dari kedua belah pihak.7 Nilai orisinal kontribusinya terletak pada teori eksistensialisnya (jangan terkacaukan dengan eksistensialisme Eropa Modern),8 yang menurutnya, batas-batas eksistensi yang membentuk identitas sesuatu dianggap sebagai hal yang sekunder pada eksistensi itu sendiri.  
Dalam teori piramida eksistensi (hiram-e hasti)-nya, semua makhluk memiliki eksistensi, namun perbedaan mereka berasal dari derajat atau intensitas eksistensi mereka. Eksistensi Tuhan dalam piramida ini tidak memiliki batasan dan keterbatasan. Oleh karena itu, identitasnya identik dengan eksistensi-Nya. Dengan pemahaman seperti ini, perbedaan antara filsafat dengan irfan bisa diselesaikan. Ada kejamakan (derajat eksistensi) dalam ketunggalan (semua wujud memiliki eksistensi).9 Ini merupakan doktrin tasykik al-wujid, atau gradasi dan modulasi eksistensi.10 
Sifat Konstan Eksistensi
Apakah eksistensi itu statis atau dinamis? Jika dinamis, bagaimana ia bisa konstan dan berkelanjutan? Jika eksistensi itu konstan, apa pengaruhnya bagi pikiran? Para filosof Islam klasik percaya bahwa jika suatu wujud ciptaan dan penyebab eksistensinya itu ada, maka wujud itu akan terus ada, tak terpengaruh oleh berlalunya waktu. Sebenarnya, mereka berpikir bahwa alih-alih berlalunya waktu, wujud tetap mempertahankan identitasnya (huwiyyah).
Mistisisme tidak sepakat dengan pemikiran ini. Dalam irfan, tidak ada keberlangsungan seperti itu, dan eksistensi diperbarui secara konstan. Mereka memiliki identitas baru seiring dengan berjalannya waktu. Imajinasi kitalah yang berusaha untuk mengabaikan transformasi fundamental ini. Karenanya, eksistensi itu adalah sebuah proses untuk menjadi —process of becoming.
Ketidakcocokan antara pendekatan filosofis dan mistis ini diselesaikan oleh Mulla Shadra melalui teori gerak substansial (harakah jawhariyyah). Dia berpendapat bahwa walaupun eksistensi cair menjalani perubahan yang konstan, ada satu faktor yang selalu menyertai eksistensi yang mengalir jauh ini di sepanjang waktu. Ia adalah eksistensi itu sendiri, yang senantiasa hadir pada setiap detik dari segala perubahan. Sekali lagi, aspek statis dan dinamis yang dimiliki eksistensi bisa dipertemukan. [muhsin araki] 
Catatan:
1.      Tentang hirarki pengetahuan, lihat Seyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, edisi ke-2, Cambridge: Islamic Texts Society 1987, hal.59-64; Osman Bakar, The Classification of the Sciences in Islamic Philosophy, Cambridge: Islamic Texts Society 2000.
2.      Tentang tema penting ini, lihat Allamah Thabathaba’i, Risalat al-Wilaya, Tehran: Intisharat-e Hikmat 1374 Syamsi, dan Hasan Zadah Amuli, “Vilayat-e Takvini,” dalam Majma‘a-ye Maqalat, Qum: Daftar-e Tablighat-e Islami 1375 Syamsi, hal.31-82.
3.      Rumi, Mathnavi-ye Ma‘navi, ed. R.A. Nicholson, London: Gibb Memorial Trust 1925-40, vol.II, ayat ke-2943.
4.      Bandingkan dengan Katibi Qazwini, “al-Risalah al-Syamsiyyah” dalam Biblioteca Indica Appendix I, ed. A. Sprenger, Calcutta: Bengal Military Orphan Press 1854, hal.3.
5.      Skema empat lapis ini memiliki para pendahulu terkemuka di zaman Neoplatonis dan penyusunan kurikulum dan pendidikan tradisional. Lihat, I. Hadot, “Les introductions aux commentaires exégètiques,” dalam Les règles de l’interpretation, ed. M. Tardieu, Paris: Presses Universitaires de France 1987, hal.99-122.
6.      Dawud Qaysari, Syarh-e Muqaddima-ye Qaysari bar Fushush al-Hikam, ed. S.J. ashtiyânî, Qum: Daftar-e Tablighat-e Islami 1991, hal.100.
7.      Dalam beberapa tulisannya, dia lebih mengistimewakan mistisisme daripada filsafat. Misalnya, dalam hirarki ilmunya dalam “Iksir al-‘Arifin” dalam Rasa’il, Tehran lithograph 1885, hal.279-86, dia menempatkan ilmu-ilmu “kondisi” (ahwal) pada puncak pencarian akal. Filsafat lain yang menempatkan mistisisme sebagai kulminasi pencarian adalah Quthbuddin Syirazi (w. 1311), yang melengkapi ensiklopedinya, Durrat al-Taj li-Ghurrat al-Dubaj dengan sebuah khatima tentang mistisisme —lihat, Majlis-e Syura 4720, vol.596-620; bandingkan dengan J. Walbridge, “A Sufi scientist of the thirteenth century: The mystical ideas and practices of Quthbuddin Syirazi,” dalam The heritage of Sufism Volume II: The Legacy of Medieval Persian Sufism, ed. L. Lewisohn, laporan, Oxford: Oneworld 1999, hal.326-40.
8.      Bandingkan dengan diskusi pembuka Henry Corbin dalam pendahuluannya pada Mulla Shadra Syirazi, Kitab al-Masha‘ir (Le Livre des Pénétrations Métaphysiques, laporan, Tehran 1982, hal.62-75. 
9.      Lihat Fazlurrahman, The philosophy of Mulla Shadra, Albany: State University of New York Press 1975, hal.27-41.10.  Lihat Sajjad H. Rizvi, Modulation of Being (Tasykik al-Wujud) in the Philosophy of Mulla Shadra Syirazi, desertasi doktoral yang tidak dipublikasikan, Cambridge University 2000. 





Dalam sebuah acara seminar yang diselenggarakan dan dihadiri oleh para praktisi lembaga keuangan syariah di negeri ini, diperoleh suatu asumsi yang membuat adrenalin mereka terpacu untuk terus menggali dan menjual produk-produk mereka di masyarakat. Asumsi itu adalah, mereka berniaga dalam masyarakat Indonesia yang dikenal agamis. Buktinya, mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam. Parameter lainnya, setiap jumat, masjid serasa tak mampu menampung tumpahnya jama’ah shalat jumat. Belum lagi saat ramadhan tiba, dan beberapa hari menjelang hari Idul Fitri. Semua pasar tampak sesak oleh melubernya penjaja dan pembeli. Apalagi yang namanya perempuan Islam sekarang tak malu lagi menggunakan jilbab. Istilah masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang agamis ini agaknya tak bisa dipungkiri. Menjamurnya majelis ta’lim bagi kaum muslimah, dan lembaga-lembaga pengkajian di kota-kota besar makin memperkuat asumsi itu. Jika sedang mujur, Anda akan melihat sejumlah poster, spanduk dan baliho raksasa yang menampilkan gambar ustadz, habib atau kiai memenuhi pinggiran jalan dan di sudut-sudut jalan, sebuah pertanda sang ustadz akan menggelar zikir akbar, istighosah atau haul. Sungguh, pemandangan seperti ini tak akan Anda jumpai di tanah Arab, yang nota bene, tempat awal tumbuh dan berkembangnya ajaran Islam. Ada yang mengatakan trend ini menunjukkan spiritualitas masyarakat semakin membaik. Istilah ”spiritualitas” digunakan untuk menunjukkan kualitas iman seseorang dalam memahami agama dan Tuhannya. Dunia spiritualitas esensinya berkaitan erat dengan sesuatu yang berkonotasi keruhanian atau kebatinan, sebagai lawan dari ”yang kasat mata.” Al-Qur’an membicarakannya dalam ayat-ayat yang membicarakan tentang ”ruh.” Dalam Islam, ruh menjalar melalui segala sesuatu yang mengungkapkan Dzat Yang Maha Esa dan menuntun kepada-Nya, karena tujuan tertinggi Islam adaah mengungkapkan keesaan dari Prinsip Ilahi dan menyatukan dunia keragaman dalam cahaya keesaan itu. Tetapi apakah benar, masyarakat yang agamis ini identik dengan meningkatnya kehidupan spiritualitas mereka? Jawabnya, belum tentu! Mengapa? Karena praktik syari’ah yang ditunjukkan oleh sebagian besar umat Islam negeri ini ternyata masih bersifat ritual, atau seremonial. Coba bayangkan, masyarakat yang ”katanya” agamis ini menduduki peringkat lima besar dalam melakukan korupsi. Dalam beberapa kasus terakhir, malah melakukan korupsi berjama’ah, bukan shalat saja yang berjama’ah rupanya! Lihatlah di beberapa daerah di negeri ini, tradisi kemusyrikan warisan nenek moyang yang telah mengakar ternyata masih belum dapat ditinggalkan begitu saja. Kendati diawali bacaan al-Fatihah, mereka menanam kepala kerbau untuk syukuran pembangunan gedung atau jembatan. Dengan ucapan basmalah, mereka melarung sesajen ke laut lepas guna menolak bala’. Untuk menambah kekayaan dan murah rezeki, mereka melakukan ritual mandi kembang tujuh rupa, ziarah ke kuburan keramat seraya memohon berkah dari si mayit, atau mandi tengah malam di sumur yang ditengarai airnya akan membawa keberkahan. Di samping aroma klenik di atas, masyarakat kita yang mayoritas Muslim ini ternyata gemar juga berhubungan dengan dunia supranatural. Alasannya, Islam beriman kepada hal yang ghaib. Sebuah dalih untuk melakukan pembenaran atas perlaku menyimpang atau sesat yang mereka lakukan selama ini. Bukan tak sedikit para pejabat kita yang memiliki ”pegangan” berupa keris, atau benda-benda lainnya, dan mantera-mantera yang dijadikan jimat. Katanya, untuk ”melindungi diri” dan ”membawa keberuntungan.” Tentu saja Islam tak membenarkan perbuatan syirik semacam ini, dan perilaku berbau klenik ini bukanlah bagian dari kehidupan spiritualitas sebagaimana yang dimaksudkan dalam Islam. Spiritualitas adalah tauhid, dan tingkat pencapaian spiritual yang berhasil dicapai oleh setiap manusia tak lain adalah tingkat kesadarannya akan tauhid ini. Kita tahu bahwa Prinsip Keesaan (al-Tauhid) terdapat dalam inti pesan Islam dan menentukan spiritualitas Islam dalam seluruh dimensi dan dalam berbagai bentuknya yang beragam. Menurut Prof. Seyyed Hoessein Nasr, ”Esensi spiritual Islam adalah realisasi dari Keesaan, sebagaimana terungkap dalam al-Qur’an, berdasarkan teladan kenabian dan dengan bantuan Nabi. Tujuan dari spiritualitas ini adalah memperoleh sifat-sifat Ilahi dengan jalan meraih kebaikan-kebaikan yang dimiliki dalam kadar sempurna oleh Nabi dan dengan bantuan metode-metode serta anugerah yang datang dari-Nya dan wahyu al-Qur’an.” Dalam pengertian duniawi, spiritualitas Islam tak lain adalah realisasi tauhid. Kajian dan tela’ahnya tak lain adalah meneliti pengaruh yang mendalam dari tauhid pada kehidupan, tindakan-tindakan, dan pemikiran dari segmen umat manusia yang membentuk masyarakat Islam atau ummah. Jadi, semua tindakan yang menyekutukan Allah swt dan tak sesuai dengan sunnah Rasulullah saw, walau dibungkus dengan kemasan syariah, pasti bukanlah bagian dari pemahaman spiritualitas atau apapun namanya. Islam mempertahankan spiritualitasnya sebagai ’agama milik Tuhan.’ Ini mensyaratkan kaum Muslim untuk selalu aktif menjaga ibadahnya, tidak hanya menjalankan rutinitas, dengan jalan mengisi ritual mereka dengan kehidupan batin melalui proses spiritualisasi, sehingga mereka tak terpaku pada perbuatan lahiriah semata, tetapi harus dapat mencapai keseimbangan antara tindakan dan pemikiran, bekerja dan berdoa. Semua mistisisme Islam telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam meningkatkan kesalehan dan pengetahuan mengenai Islam di kalangan masyarakat awam. Salah satu unsur yang turut mengembangkan spiritualitas Islam adalah jalan sufisme, orang Barat menyebutnya sebagai mistisisme dalam Islam. Sufisme bukan hanya merupakan penyeimbang bagi ancaman agama yang terlalu bersifat legalistik, tetapi berkat persaudaraan-persaudaraan Muslim itulah maka Islam masih tetap bertahan bahkan dalam kondisi yang luar biasa buruknya, seperti di Republik-republik Asia Tengah pada masa kekuasaan Uni Soviet dan di Albania yang komunis Menurut Murad W. Hofmann, seorang mualaf, Doktor Ilmu Hukum asal Jerman yang saat ini mukim di Istambul, ”Salah besar jika kita percaya bahwa mistisisme Islam tidaklah mempunyai peranan penting di era rasionalistik kita sekarang ini. Justru sebaliknya! Kelompok tarekat klasik besar -terutama Naqsyabandiyah, yang mempunyai 450 rumah darwisy di Istambul pada 1920- masih tetap hidup sebagaimana thuruq (persaudaraan sufi) lainnya yang lebih muda. Yang menonjol keberhasilannya dalam menyebarkan Islam di Afrika Barat adalah tarekat Ahmadiyah, yang didirikan pada awal abad ke sembilan belas oleh tokoh dari Aljazair, Ahmad Tijani. Kini, dengan pusatnya di Fez, Marokko, tarekat tersebut menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan sosial terbesar di Senegal, berdampingan dengan tarekat Muridiyah.” Mungkin kita akan heran jika tahu bahwa banyak tokoh Muslim Barat yang menonjol, terutama di Perancis, telah menemukan jalan mereka ke dunia Islam melalui mistisisme. Yang paling terkenal di antara mereka ini di antaranya, Rene Guenon (alias Syaikh Abdul Wahid Yahya dari persaudaraan Syadziliyah, 1886-1951), yang karyanya La Crise du Monde Moderne telah diterbitkan dalam tujuh edisi pada 1946. Di Inggris, ada Martin Lings (alias Abu Bakar Sirajuddin) yang medapatkan petunjuk ke jalan ini dari Syaikh al-’Alawi dari Aljazair. Di antara orang-orang Eropa ini ada tokoh-tokoh –seperti Charles, Andre Gillis- yang mencurahkan diri mereka untuk menyelami spekulasi tanpa rintangan dan tak terbatas, di mana kita hanya bisa mengagumi betapa banyak yang tampaknya dikeahui oleh rekan-rekan sezaman kita mengenai Tuhan dan ciptaan-Nya. Ada benang tipis yang membuat masyarakat awam sulit membedakan antara mistisisme dengan perilaku klenik, apalagi jika pelakunya sama-sama menggunakan jubah atau simbol keislaman. Apalagi keduanya berbicara dalam ranah ghaib atau dunia kebatinan. Untuk membedakannya, terletak pada sejauh mana geraham kita mampu menggigit erat al-Qur’an dan as-Sunnah dalam melakoni kehidupan ini. Sebagaimana penolakan yang dilakukan syaikh Abdul Qadir al-Jilani atas suara yang muncul dari seberkas cahaya dari langit, cahaya itu mengaku dirinya adalah Tuhan, lalu berseru membolehkan syaikh melakukan hal yang diharamkan-Nya. Beliau pun lalu berta’awwudz lalu berseru, ”ikhsya yaa la’iin” (menjauhlah dariku wahai syaitan yang terlaknat). Bagaimana syaikh dapat mengetahui bahwa itu adalah suara syaitan? Beliau berkata, ”Dari ucapannya! ’Telah aku perbolehkan bagimu apa yang diharamkan.’ Karena setahuku, sungguh Allah Ta’ala tidak akan memerintahkan berbuat jahat.” Karena itu, jangan terlalu berbangga diri dengan kemayoritasan kita. Bukankah di balik jubah Islam, masih banyak kelompok sempalan yang mengaku beragama Islam tetapi berbai’at kepada ”nabi” paska kenabian Muhammad saw? Bukankah masih ada sekelompok orang yang mengaku beragama Islam tetapi memiliki kitab suci yang ”mirip” al-Qur’an, yang ”katanya” kumpulan wahyu yang diturunkan kepada ”nabi” mereka? Pertanyaannya, mengapa masih ada saja saudara kita sesama Muslim yang menjadi pengikut kelompok-kelompok semacam itu? Itu semua antara lain, karena kita masih berbangga diri disebut sebagai masyarakat yang agamis. Yang kita butuhkan sebenarnya adalah menciptakan masyarakat yang bertauhid, yang memiliki spiritualitas dalam menjalankan kehidupan dunianya. Bukan masyarakat yang tenggelam dalam rutinitas ritual yang penuh dengan kesakralan palsu, yang terheran-heran melihat sebilah keris bisa berdiri tegak tapi tak heran melihat langit terbentang tanpa penyangga, atau masyarakat yang mahir dan gemar menggunakan serta menafsirkan sendiri dalil-dalil al-Qur’an untuk pembenaran perilaku maksiat atau kemusyrikan yang dilakukannya. Masyarakat yang bertauhid adalah masyarakat yang memiliki geraham yang kuat untuk menggigit al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai peta kehidupan bagi diri mereka di dunia ini, sebagaimana yang diwasiatkan oleh manusia suci, Muhammad Rasulullah saw. Desa Pamulang Barat DAVY BYA,







A. Latar Belakang
Misitisisme merupakan hal yang berkembang dalam kehidupan masyarakat beragama, baik dalam islam, kristen maupun Budha, meskipun dalam ajaran ajaran agama tidak dijelaskan secara rinci akan tetapi realita di masyarakat tentang prosesi mistik masih berlaku, dalam istilah islam mistis disebut juga dengan Sufisme atau faham sufi, sedangkan dalam agama kristen mistisisme dikenal juga dengan sebutan asketisme.
Pembahasan mistisisme selanjutnya berkembang dalam kehidupan masyarakat beragama, yang mana dari mereka kebanyakan mempunyai satu tujuan yang sama yakni menyatu dengan tuhan atau dalam islam dikenal dengan sebutan Wahdatul Wujud, sehingga penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana konsep mistisisme dalam agama islam, karena islam merupakan agama yang pemeluknya mencapai kateori mayoritas sehingga beragam realita kehidupan keagamaan menyertai ajaran agama islam seiring dengan berkembangnya zaman.

B. Pengertian Mistis
Sebelum lebih lanjut membahas tentang pengertian Mistis itu sendiri, Secara tata bahasa, kata mistisisme (mysticism) merupakan gabungan antara kata mistik (mystic) dengan imbuhan isme yang menyatakan paham (ajaran), sehingga mistisisme memiliki makna paham (ajaran) tentang mistik. Sedangkan kata mistis merupakan gabungan antara kata mistik dengan imbuhan is yang menyatakan sifat, sehingga misitis memiliki makna bersifat mistik.
Definisi mistik dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah: Subsistem yang ada dalam hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan; tasawuf ; suluk ; hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa.
Menurut ensiklopedia nasional Indonesia, mistik adalah sutu proses yang bertujuan memenuhi keinginan atau hasrat manusia untuk mengalami dan merasakan bersatunya emosi dengan Tuhan atau kekuatan transenden lainnya. Adapun definisi mistisisme dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah: ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia.
Sedangkan dalam ensiklopedia nasional Indonesia, Mistisisme berasal dari kata Yunani myein menutup mata seseorang, adalah sejenis pengalaman batin yang tidak dapat diduga, khususnya dengan hubungan dalam dunia religius. Walaupun cukup dikenal, mistisisme sangat sulit dijelaskan dalam suatu definisi sederhana, tanpa menimbulkan konflik, tanpa membuat interpretasi dan penilaian. Padahal pemahaman mistisisme sendiri sangat variable, bahkan sering bertentangan.
Menurut ensiklopedia nasional Indonesia, mistik adalah sutu proses yang bertujuan memenuhi keinginan atau hasrat manusia untuk mengalami dan merasakan bersatunya emosi dengan Tuhan atau kekuatan transenden , Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam (1975) mendefinisikan mistik sebagai cinta kepada Yang Mutlak, sebab kekuatan yang memisahkan mistik sejati dari sekadar asketisme adalah cinta. Cinta ilahi membuat si pencari mampu menyandang, bahkan menikmati, segala sakit dan penderitaan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya untuk mengujinya dan memurnikan jiwanya. Cinta ilahi bisa mengantarkan jiwa sang mistikus ke Hadirat Ilahi “bagaikan elang yang membawa mangsanya,” yakni memisahkannya dari segala yang tercipta dalam ruang dan waktu. Annemarie Schimmel juga menyatakan bahwa mistik adalah arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama. Di dalam Islam aspek mistik itu dikenal dengan nama tasawuf atau sufisme , mrnurut Fitjof Schuon Mistisisme dalam suatu agama adalah aspek esoteris (bathin), sisi dalam atau inti yang menjadi fundamen atas semua laku ibadat atau ritual lahiriah., Fritjof Schuon, dalam karya The Trancendental Unity of Religions. Ia menyatakan bahwa dalam inti agama-agama terdapat satu kesatuan yang bersifat moral, teologis, metafisik dalam arti yang sebenar-benarnya. Dan guna melihat titik temu tersebut, tidak cukup hanya melihat agama dari sisi luar, pada dimensi eksotorisnya saja, melainkan perlu menghayati sampai kepada sisi terdalamnya.

C. Mistis Dalam Agama Islam
Mistisisme dalam islam diberi nama Tasawwuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Kata fufisme dalam istilah orientalis barat dipakai untuk mistisisme islam Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat diagama-agama lain. Tujuan dari tasawuf itu sendiri ialah untuk memperoleh hubungan langsung dengan tuhan, menyatu dengan tuhan dan seseorang itu menyadaria akan kehadirat tuhan. Dan intisarinya ialah menyadari akan adanya tuhan dapat berkomunikasi dan berdialog antara roh manusia dan tuhan dan biasanya dilakukan dengan kontemplasi atau mengasingkan diri. Dan dalam islam kesadaran dengan tuhan itu dapat juga dinamakan dengan ittihad yaitu bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Tasawuf adalah suatu ilmu penegtahuan yang mempelajari bagaimana cara dan jalan seorang manusia supaya dapat lebih memdekatkan diri dengan Tuhan yaitu Alloh Swt .
Mistisisme ini muncul sebagai pemberontakan jiwa, dalam diri orang-orang yang benar-benar berpikiran ruhaniah, yang menentang formalitas agama dan juga kejumudan agama, yang selanjutnya terpengaruh oleh perasaan bahwa manusia bisa menjalin sebuah hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak boleh dianggap sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas takdir-takdir manusia, tetapi sebagai Sahabat dan Kekasih Jiwa. Kaum mistikus memiliki hasrat mengenal Tuhan, sehingga mereka bisa mencintai-Nya, dan telah percaya bahwa jiwa dapat menerima: wahyu Tuhan, melalui sebuah pengalaman religius langsung – bukan melalui indera-indera atau kecerdasan – dan, dengan cara ini, memasuki keintiman dengan-Nya.
Mereka percaya bahwa manusia dapat memiliki pengalaman ini, pastilah ada dalam dirinya satu bagian dari Sifat Ilahiah, bahwa jiwa diciptakan untuk mencerminkan Kemegahan Tuhan, dan segala sesuatu ambil bagian dalam kehidupan Tuhan. Tetapi kaum mistikus mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki pengalaman langsung dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan dari dalam diri; pembersihan jiwa dari kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu adalah bagian mendasar bagi mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan Penglihatan Tuhan, demi kesempurnaan Kehidupan Abadi, yang mereka percaya dapat dicapai sekarang, adalah untuk melihat Tuhan dalam Dzat-Nya. Keakuan dapat ditaklukkan dengan dukungan sebuah cinta yang lebih besar daripada kecintaan-diri, dan karenanya kaum mistikus telah menjadi kekasih-kekasih Tuhan, yang mencari penyempurnaan cinta mereka dalam penyatuan dengan Sang Kekasih .

D. Sejarah Mistis Dalam Agama Islam
Ada beberapa teori yang membahas tentang awal munculnya aliran-aliran tasawwuf ini atau mistisisme dalam agama islam juga berbeda-beda.
1. Pengaruh Kristiani dengan paham mengetahui dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Mereka menggunakan kemah yang sederhana digunakan untuk berlindung diri sendiri dan bagi orang yang yang perlu perlindungan ketika kemalaman dan dan lampu yang mereka pasang dipergunakan bagi kafilah-kafilah yang lalu, mereka juga memberi makan bagi musyafir-musyafir yang kelaparan. Sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib umat kristiani ini.
2. Falasafat mistik pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah dialam samawi. Ketika menginginkan kesenangan samawi, manusia harus bisa mencapai Zhud( membersihkan Roh dan meninggalkan hidup materi) untuk melanjutkan berkontemplasi,dan ini jugalah yang mempengaruhi timbulnya Zhud dan sufisme dalam Islam.
3. Falsafat emanasi plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali keTuhan, tetapi ketika Roh sudah masuk kealam materi, Roh itu akan menjadi kotor , dan jika ingin kembali ketempat asalnya Roh harus dibersihkan terlebih dahulu. Sama dengan yang lainnnya, ketika ingin membersihakan Roh manusia harus meninggalkan dunia dan mulai mendekatkan diri kepada Tuhan.
4. Dalam ajaran Budha dengan faham Nirwananya.untuk mencapai Nirwana orang harus meninggalakan dunia dan memasuki hidup berkontemplasi. Faham Nirwana ini hampir sama dengan faham Fana’.
5. Dalam ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia unutk meninggalkan kehidupan di dunia dan mendekati Tuhan unutk mencapai persatuan Atman dan Brahman .

E. Simpulan
Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa mistis dalam agama islam disebut juga Sufi atau Sufisme, mereka beranggapan bahwa manusia bisa menjalin sebuah hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak boleh dianggap sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas takdir-takdir manusia, tetapi sebagai Sahabat dan Kekasih Jiwa. Kaum mistikus memiliki hasrat mengenal Tuhan, sehingga mereka bisa mencintai-Nya, dan telah percaya bahwa jiwa dapat menerima: wahyu Tuhan, melalui sebuah pengalaman religius langsung – bukan melalui indera-indera atau kecerdasan – dan, dengan cara ini, memasuki keintiman dengan-Nya.
Tetapi kaum mistikus mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki pengalaman langsung dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan dari dalam diri; pembersihan jiwa dari kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu adalah bagian mendasar bagi mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan Penglihatan Tuhan, demi kesempurnaan Kehidupan Abadi, yang mereka percaya dapat dicapai sekarang, adalah untuk melihat Tuhan dalam Dzat-Nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar