KELEMAHAN
DAN KEUNGGULAN
TEORI
BELAJAR ANDRAGOGI
Disusun
oleh:
Baharuddin
Hafid
A. Pendahuan
Kesadaran
bahwa belajar adalah proses menjadi dirinya sendiri (process of becoming
person) bukan proses untuk dibentuk (process of beings haped) menurut
kehendak orang lain, membawa kesadaran yang lain bahwa kegiatan belajar harus
melibatkan individu atau client dalam proses pemikiran: apa yang mereka inginkan, apa
yang dilakukan, menentukan dan merencanakan serta melakukan tindakan apa saja
yang perlu untuk memenuhi keinginan tersebut. Inti dari pendidikan adalah
menolong orang belajar bagaimana memikirkan diri mereka sendiri, mengatur
urusan kehidupan mereka sendiri untuk berkembang dan matang, dengan
mempertimbangkan bahwa mereka juga sebagai makhluk sosial.
Di
tahun 70 an dikenal sebuah proyek yang disebut dengan PPSP (Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan). Pada waktu itu, siswa dibebaskan menentukan
seberapa cepat dia bisa menyelesaikan masa studinya. Siswa diberi Lembaran
Kegiatan Siswa (LKS) yang berisikan tentang teori-teori materi yang dipelajari,
dan kalau siswa beranggapan sudah menguasai, maka diberi lembar latihan dari
LKS tadi dan kalau sudah merasa siap, maka siswa bisa mengambil sendiri Lembar
Test Formatif. Fungsi Guru pada waktu itu adalah menjelaskan apabila bertanya
dan menilai hasil test formatif tersebut. Di PPSP ini, murid kelas 1 SMP (waktu
itu disebut kelas 6), itu bisa saja menempuh pelajaran kelas 2 SMP (kelas 7)
maupun menempuh kelas 8 (3 SMP), sehingga pada waktu itu, cukup banyak yang
mampu menempuh level SMP hanya dalam waktu 2 tahun. PPSP mencanangkan program
SD hanya 5 tahun, SMP bisa ditempuh 2 tahun dan SMA juga bisa ditempuh 2 tahun
juga, tergantung kepada kemampuan dari siswa.
Kegiatan
belajar yang melibatkan individu atau client dalam proses menentukan apa yang mereka inginkan, apa
yang akan dilakukan, adalah beberapa prinsip dari teori belajar Andragogi.
Teori belajar Andragogi sering juga disebut dengan teori belajar orang dewasa.
Makalah ini akan membahas tentang Teori Belajar Andragogi tersebut dan
membahas kelemahan serta keunggulannya.
B. Teori Belajar Andragogi
1. Pengertian Teori Belajar Andragogi
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno:
"aner", dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa, dan agogus
yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering dipergunakan
sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata
"paid" artinya anak dan "agogus" artinya membimbing atau
memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi" berarti seni atau
pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian
pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka
apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan
bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan.
Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang
dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang
pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi
pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang
dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik
pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat
diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang
dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya
sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar
adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri
dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner
Centered Training/Teaching).
2. Perkembangan Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles dalam publikasinya yang berjudul "The Adult
Learner, A Neglected Species" yang diterbitkan pada tahun 1970
mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah
istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan
khususnya para ahli pendidikan.
Sebelum muncul Andragogi, yang digunakan dalam
kegiatan belajat adalah Pedagogy. Konsep ini menempatkan murid/siswa sebagai
obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di setup oleh
sistem pendidikan, di setup oleh
gurunya/pengajarnya. Apa yang dipelajari, materi yang akan diterima, metode
panyampaiannya, dan lain-lain, semua tergantung kepada pengajar dan tergantung
kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Kelemahannya Pedagogi adalah manusia
(dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki keunikan, yang memiliki talenta,
memiliki minat, memiliki kelebihan, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak
bisa mengeksplorasi dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya
sendiri, sebab yang memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang
sudah mapan dan sudah ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang
biasa, melainkan jika ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah
perlawanan dan pemberontakan. Pedagogy memiliki kelebihan, yakni di dalam
menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu, maka
rantai emas dan benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang.
Generasi mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal
melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah dimulai
oleh generasi mendatang.
Dalam Andragogy inilah, kita kenal
istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari
konsep Pendidikan Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberalisme
pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan. Liberalisme
pendidikan bertujuan jangka panjang untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan
sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara
menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif.
Liberasionisme pendidikan adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa
kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan
politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan
kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri
semaksimal mungkin. Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun
tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir
yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk
memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah
secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme
pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral,
sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial
konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan
pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis
obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat
Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian
fakta-fakta, mencari ‘yang obyektif’, melalui pengamatan atas kenyataan.
Anarkisme pendidikan pada umumnya menerima sistem penyelidikan eksperimental
yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah). Tetapi berbeda
dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan beranggapan bahwa harus
meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap
perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas
lembaga. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan
adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik
berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan
sistem persekolahan sekalian.
3. Asumsi-Asumsi Pokok Teori Belajar
Andragogi
Malcolm Knowles (1970) dalam mengembangkan
konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
a. Konsep Diri: Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri
seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah
pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih
tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena
kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain
sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination),
mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa
tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya
penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan
atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan
psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi
tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
b. Peranan Pengalaman: Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu
seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam
perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman
pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai
sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu
tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman
baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa,
terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam
pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu
pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning
Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman). Hal in menimbulkan
implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan.
Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah
pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain
sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau
partisipasi peserta pelatihan.
c. Kesiapan Belajar : Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi
matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan
oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak
ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan
sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau
biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan
perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja,
orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap materi
pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi
pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan
sosialnya.
d. Orientasi Belajar: Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya
seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang
berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation).
Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar
yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered
Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah
merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang
dewasa. Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya
perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk
dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak,
penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan
sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar
untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi. Hal ini
menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi
orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat
segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
4. Andragogi dan Psikologi Perkembangan
Seperti telah disebutkan di atas bahwa
dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep
dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan
diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri.
Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki
kebutuhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan
psikologi dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir
dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir
formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat
memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat
memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah
tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai
mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy)
yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda dengan
anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti
keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu
di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan
membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan
nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan
kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai
mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa
pemuda (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya
sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara
nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat
dikatakan sejak pertengaham masa remaja individu mengembangkan apa yang
dikatakan "pengertian diri" (sense of identity).
Pembelajaran yang diberikan kepada orang
dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana
pembimbing (pelatih, pengajar, penatar, instruktur, dan sejenisnya) tidak
terlalu mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun
mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan
alternatif-alternatif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang
pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima
gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan
mereka. Orang dewasa pada hakikatnya adalah makhluk yang kreatif bilamana
seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam
upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam
pembelajaran tersebut. Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih
aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran,
terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang
membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama
temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat
pribadinya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran
pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu
menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka.
Oleh karena sifat belajar bagi orang
dewasa adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dari benar atau
salahnya, segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya
perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri
mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian,
pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dari
pembimbingnya, dan pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada
dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang
kondusif tak akan pernah terwujud.
Orang dewasa memiliki sistem nilai yang
berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan terciptanya
suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya
tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat. Orang
dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang
bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa
dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll).
Keterbukaan seorang pembimbing sangat membantu
bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi pribadinya di dalam
kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri,
dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan
psikologis, dan psikis mereka. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk
akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau dipermalukan.
Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal,
sehingga berbagai alternatif kebebasan mengemukakan ide/gagasan dapat
diciptakan.
Dalam hal lainnya, tidak dapat dinafikkan
bahwa orang dewasa belajar secara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan,
kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi
yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan
pribadi orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama dalam
pribadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya
mengakui satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan
tersebut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan,
dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna yang
berbeda pada setiap keputusan yang diambil.
Bagi orang dewasa, terciptanya suasana
belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau
mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan
mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru
mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu
sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar.
Pada akhirnya, orang dewasa ingin tahu apa
arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada kecenderungan
ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan
adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya berharga
untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dari
orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan.
5. Pengaruh Penurunan Faktor Fisik dalam
Belajar
Proses belajar manusia berlangsung hingga
ahkir hayat (long life education). Namun, ada korelasi negatif antara
pertambahan usia dengan kemampuan belajar orang dewasa. Artinya, setiap
individu orang dewasa, makin bertambah usianya, akan semakin sukar baginya
belajar (karena semua aspek kemampuan fisiknya semakin menurun). Misalnya daya
ingat, kekuatan fisik, kemampuan menalar, kemampuan berkonsentrasi, dan
lain-lain semuanya memperlihatkan penurunannya sesuai pertambahan usianya pula.
Menurut Lunandi (1987), kemajuan pesat dan perkembangan berarti tidak diperoleh
dengan menantikan pengalaman melintasi hidup saja. Kemajuan yang seimbang
dengan perkembangan zaman harus dicari melalui pendidikan. Menurut Verner dan
Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam faktor yang secara psikologis dapat
menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam suatu program pendidikan:
a. Dengan bertambahnya usia, titik dekat penglihatan atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas
mulai bergerak makin jauh. Pada usia dua puluh tahun seseorang dapat melihat
jelas suatu benda pada jarak 10 cm dari matanya. Sekitar usia empat puluh tahun
titik dekat penglihatan itu sudah menjauh sampai 23 cm.
b. Dengan bertambahnya usia, titik jauh
penglihatan atau titik terjauh yang dapat dilihat secara jelas mulai berkurang,
yakni makin pendek. Kedua faktor ini perlu diperhatikan dalam pengadaan dan
pengunaan bahan dan alat pendidikan.
c. Makin bertambah usia, makin besar pula
jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu situasi belajar.
Kalau seseorang pada usia 20 tahun memerlukan 100 Watt cahaya, maka pada usia
40 tahun diperlukan 145 Watt, dan pada usia 70 tahun seterang 300 Watt baru
cukup untuk dapat melihat dengan jelas.
d. Makin bertambah usia, persepsi kontras
warna cenderung ke arah merah daripada spektrum. Hal ini disebabkan oleh
menguningnya kornea atau lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak terasing.
Akibatnya ialah kurang dapat dibedakannya warna-warna-warna lembut. Untuk
jelasnya perlu digunakan warna-warna cerah yang kontras utuk alat-alat peraga.
e. Pendengaran atau kemampuan menerima suara
mengurang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya seseorang mengalami kemunduran
dalam kemampuannya membedakan nada secara tajam pada tiap dasawarsa dalam
hidupnya. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini daripada wanita.
Hanya 11 persen dari orang berusia 20 tahun yang mengalami kurang pendengaran.
Sampai 51 persen dari orang yang berusia 70 tahun ditemukan mengalami kurang
pendengaran.
f. Pembedaan bunyi atau kemampuan untuk
membedakan bunyi makin mengurang dengan bertambahnya usia. Dengan demikian,
bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya, dan bunyi
sampingan dan suara di latar belakangnya bagai menyatu dengan bicara orang.
Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b, c, dan d.
6. Langkah-Langkah Pokok dalam Andragogi
Langkah-langkah pokok untuk mempraktikkan
Andragogi adalah sebagai berikut:
a. Menciptakan Iklim Pembelajaran yang
Kondusif: Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan
dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran,
yaitu:
1) Pengaturan Lingkungan Fisik: Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur
dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu
dibuat senyaman mungkin:
a) Penataan dan peralatan hendaknya
disesuaikan dengan kondisi orang dewasa;
b) Alat peraga dengar dan lihat yang
dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa;
c) Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi
dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi social.
2) Pengaturan Lingkungan Sosial dan
Psikologi: Iklim
psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa
merasa diterima, dihargai dan didukung.
a) Fasilitator lebih bersifat membantu dan
mendukung;
b) Mengembangkan suasana bersahabat, informal
dan santai melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai permainan yang sesuai;
c) Menciptakan suasana demokratis dan
kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut;
d) Mengembangkan semangat kebersamaan;
e) Menghindari adanya pengarahan dari
"pejabat-pejabat" pemerintah;
f) Menyusun kontrak belajar yang disepakati
bersama.
3) Diagnosis Kebutuhan Belajar: Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada
keterlibatan seluruh warga belajar atau peserta pelatihan di dalam suatu proses
melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
a) Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder)
terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu;
b) Membangun dan mengembangkan suatu model
kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan;
c) Menyediakan berbagai pengalaman yang
dibutuhkan;
d) Lakukan perbandingan antara yang
diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan kompetensi tertentu.
4) Proses Perencanaan: Dalam perencanaan pelatihan hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama
yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya
ada suatu "hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari
sifat manusia bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan
apabila mereka terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan:
a) Libatkan peserta untuk menyusun rencana
pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu
dan lain-lain;
b) Temuilah dan diskusikanlah segala hal
dengan berbagai pihak terkait menyangkut pelatihan tersebut;
c) Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah
diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan;
d) Tentukan pembagian tugas dan tanggung
jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.
5) Memformulasikan Tujuan: Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi
kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan
tujuan yang disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam
merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang
akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.
6) Mengembangkan Model Umum: Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari
perencanaan pelatihan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa
kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil,
urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan
pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang
sesuai.
7) Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran: Dalam menetapkan materi dan metoda atau teknik
pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Materi pelatihan atau pembelajaran
hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan;
b) Materi pelatihan hendaknya sesuai dengan
kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis;
c) Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya
menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada
peserta;
d) Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya
tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif.
8) Peranan Evaluasi Pendekatan: evaluasi secara konvensional (pedagogi) kurang efektif
untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan
tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok
dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
a) Evaluasi hendaknya berorientasi kepada
pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran/pelatihan;
b) Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui
pengujian terhadap dan oleh peserta pelatihan itu sendiri (Self Evaluation);
c) Perubahan positif perilaku merupakan tolok
ukur keberhasilan;
d) Ruang lingkup materi evaluasi
"ditetapkan bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan
bersama seluruh pihak terkait yang terlibat;
e) Evaluasi ditujukan untuk menilai
efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program pelatihan yang mencakup
kekuatan maupun kelemahan program;
f) Menilai efektifitas materi yang dibahas
dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku.
C. Perbandingan Asumsi dan Model Pedagogi dan Andragogi
Dari
uraian tersebut di atas telah diperoleh dan disimpulkan beberapa perbedaan
teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi (konvensional) yang
menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam
pedagogi atau konvensional, karena berpusat pada materi pembelajaran (Subject
Matter Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada umumnya
peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan. Pihak
murid atau peserta pelatihan lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo
Freire, menyebutnya sebagai "Sistem Bank" (Banking System). Hal ini
dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
· Penentuan mengenai materi pengetahuan dan
ketrampilan yang perlu disampaikan yang bersifat standard dan kaku;
· Penentuan dan pemilihan prosedur dan
mekanisme serta alat yang perlu (metoda & teknik) yang paling efisien untuk
menyampaikan materi pembelajaran;
· Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence)
yang standard dan kaku ;
· Adanya standard evaluasi yang baku untuk
menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat
untuk mengukur tingkat pengetahuan;
· Adanya batasan waktu yang demikian ketat
dalam "menyelesaikan" suatu proses pembelajaran materi pengetahuan
dan ketrampilan.
Dalam
andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan
fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan
melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan
pendekatan partisipatif, dalam proses belajar yang melibatkan elemen-elemen:
· Menciptakan iklim dan suasana yang
mendukung proses belajar mandiri;
· Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk
perencanaan bersama dan partisipatif;
· Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang
spesifik Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan
belajar
· Merencanakan pola pengalaman belajar
· Melakukan dan menggunakan pengalaman
belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai
· Mengevaluasi hasil belajar dan
mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. Ini adalah model proses.
Lebih detail tentang perbedaan pedagogik dan andargogi
sebagai berikut:
No
|
Asumsi
|
Pedagogik
|
Andragogi
|
1
|
Kosep tentang diri peserta didik
|
Peserta didik digambarkan sebagai seseorang yang
bersifat tergantung. Masyarakat mengharapkan para guru bertanggung jawab
sepenuhnya untuk menentukan apa yang harus dipelajari, kapan,
bagaimanacara mempelajarinya, dan apa hasil yang
diharapkan setelah selesai
|
Adalah suatu hal yang wajar apabila dalam suatu
proses pendewasaan, seseorang akan berubah dari bersifat tergantung menuju ke
arah memiliki kemampuan mengarahkan diri sendiri, namun setiap individu
memiliki irama yang berbeda-beda dan juga dalam dimensi kehidupan yang
berbeda-beda pula. Dan para guru bertanggungjawab untuk menggalakkan dan
memelihara kelangsungan perubahan tersebut. Pada umumnya orang dewasa secara
psikologis lebih memerlukan penga- rahan diri, walaupun dalam keadaan
tertentu mereka bersifat tergantung.
|
2
|
Fungsi Pengalaman peserta didik
|
Di sini pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik
tidak besar nilainya, mungkin hanya berguna untuk titik awal. Sedangkan
penglaman yang sangat besar manfaatnya adalah pengalaman-pengalaman yang
diperoleh dari gurunya, para penulis, produsen alat-alat peraga atau
alat-alat audio visual dan pengalaman para ahli lainnya. Oleh karenanya,
teknik utama dalam pendidikan adalah teknik penyampaian yang berupa: ceramah,
tugas baca, dan penyajian melalui alat pandang dengar.
|
Di sini ada anggapan bahwa dalam perkembangannya
seseorang membuat semacam alat penampungan (reservoair) pengalaman
yang kemudian akan merupakan sumber belajar yang sangat bermanfaat bagi diri
sendiri mau pun bagi orang lain. Lagi pula seseorang akan menangkap arti
dengan lebih baik tentang apa yang dialami daripada apabila mereka memperoleh
secara pasif, oleh karena itu teknik penyampaian yang utama adalah
eksperimen, percobaan-percobaan di laboratorium, diskusi, pemecahan masalah,
latihan simulasi, dan praktek lapangan.
|
3
|
Kesiapan belajar
|
Seseorang harus siap mempelajari apapun yang
dikatakan oleh masyarakat, dan hal ini menimbulkan tekanan yang cukup besar
bagi mereka karena adanya perasaan takut gagal, anak-anak yang sebaya diaggap
siap untuk mempelajari hal yang sama pula, oleh karena itu kegiatan belajar
harus diorganisasikan dalam suatu kurikulum yang baku, dan langkah-langkah
penyajian harus sama bagi semua orang.
|
Seseorang akan siap mempelajari sesuatu apabila ia
merasakan perlunya melakukan hal tersebut, karena dengan mempelajari sesuatu
itu ia dapat memecahkan masalahnya atau dapat menyelesaikan tugasnya
sehari-hari dengan baik. Fungsi pendidik di sini adalah menciptakan kondisi,
menyiapkan alat serta prosedur untuk membantu mereka menemukan apa yang perlu
mereka ketahui. Dengan demikian program belajar harus disusun sesuai dengan
kebutuhan kehidupan mereka yang sebenarnya dan urutan-urutan penyajian harus
disesuaikan dengan kesiapan peserta didik.
|
4
|
Orientasi belajar
|
Peserta didik menyadari bahwa pendidikan adalah
suatu proses penyampaian ilmu pengetahuan, dan mereka memahami bahwa
ilmu-ilmu tersebut baru akan bermanfaat di kemudian hari. Oleh karena itu,
kurikulum harus disusun sesuai dengan unit-unit mata pelajaran dan mengikuti
urutan-urutan logis ilmu tersebut , misalnya dari kuno ke modern atau dari
yang mudah ke sulit. Dengan demikian, orientasi belajar ke arah mata
pelajaran. Artinya jadwal disusun berdasarkan keterselesaian nya mata-mata
pelajaran yang telah ditetapkan.
|
Peserta didik menyadari bahwa pendidikan merupakan
suatu proses peningkatan pengembangan kemampuan diri untuk mengembangkan
potensi yang maksimal dalam hidupnya. Mereka ingin mampu menerapkan ilmu dan
keterampilan yang diperolehnya hari ini untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik atau lebih efektif untuk hari esok. Berdasarkan hal tersebut di atas,
belajar harus disusun ke arah pengelompokan pengembangan kemampuan. Dengan
demikian orientasi belajar terpusat kepada kegiatannya. Dengan kata lain,
cara menyusun pelajaran berdasarkan kemampuan-kemampuan apa atau penampilan
yang bagaimana yang diharap kan ada pada peserta didik.
|
Sumber: Tamat (1985: hal. 20-22)
D. Keunggulan dan Kelemahan Teori Belajar
Andragogi
Kegiatan
pendidikan baik melalui jalur sekolah ataupun luar sekolah memiliki daerah dan
kegiatan yang beraneka ragam. Pendidikan orang dewasa terutama pendidikan
masyarakat bersifat non formal sebagian besar dari siswa atau pesertanya adalah
orang dewasa, atau paling tidak pemuda atau remaja. Oleh sebab itu, kegiatan
pendidikan memerlukan pendekatan tersendiri. Dengan menggunakan teori andragogi
kegiatan atau usaha pembelajaran orang dewasa dalam kerangka pembangunan atau
realisasi pencapaian cita-cita pendidikan seumur hidup dapat diperoleh dengan
dukungan konsep teoritik atau penggunaan teknologi yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Andragogy
memiliki kelemahan, salah satunya adalah bahwa bagaimana mungkin seorang siswa
yang tidak terlalu memahami tentang luasnya ilmu kemudian dibebaskan memilih
apa yang mereka sukai? Seolah sistem Andragogy hanya sebagai suatu sistem yang
mengembirakan siswanya saja dan melupakan untuk tujuan apa sebenarnya sebuah
pendidikan itu dilakukan? Dan bagaimana pula bisa dilakukan -penjagaan terhadap
ilmu-ilmu yang sudah ada? jika sebuah ilmu tersebut tidak diminati oleh siswa,
tentu saja satu waktu ilmu tersebut akan hilang. Dan bagaimana siswa dibiarkan
memilih jika ada persyaratan kemampuan yang memang mesti dimiliki seandainya
siswa mau belajar ilmu tertentu. Tak mungkinlah siswa SD dibiarkan memilih mata
pelaharan Integral Diferensial sebelum mereka menguasai dulu perkalian, jumlah,
kurang bagi, dll.
E. Kesimpulan
Teori
Belajar Adragogi dapat diterapkan apabila diyakini bahwa peserta didik
(siswa-mahasiswa-peserta) adalah pribadi-pribadi yang matang, dapat mengarahkan
diri mereka sendiri, mengerti diri sendiri, dapat mengambil keputusan untuk
sesuatu yang menyangkut dirinya. Andragogi tidak akan mungkin berkembang apabila meninggalkan
ideal dasar orang dewasa sebagai pribadi yang mengarahkan diri sendiri. Yang
menjadi tolok ukur sebuah kedewasaan bukanlah umur, namun sikap dan perilaku,
sebab tidak jarang orang yang sudah berumur, namun belum dewasa. Memang,
menjadi tua adalah suatu keharusan dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan
yang tidak setiap individu memilihnya seiring dengan semakin lanjut usianya.
F. Daftar Bacaan
Arif, Zainuddin. (1994). Andragogi. Bandung:
Angkasa.
Asmin, Konsep
dan Metode Pembelajaran Untuk Orang Dewasa (Andragogi), http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/34/konsep_dan_metode_pembelajaran.htm, Diakses tanggal 11 November 2006.
Knowles, Malcolm S. (1970). "The modern
practicsof adult education, andragogy versus ". New York : Association Press.
Lunandi, A, G. (1987). Pendidikan orang dewasa. Jakarta: Gramedia.
Piaget, J. (1959). "The growth of logical thinking
from childood fo adolescence. New York : Basic Books.
M. Thoyib. (2006). Memfasilitasi
Pelatihan Partisipatif (Pengantar Pendidikan Orang Dewasa), http://depsos.go.id/modules.php?name=News&file
=print&sid=209,
diakses tanggal 11 November 2006.
Tamat, Tisnowati. (1984). Dari Pedagogik ke Andragogik. Jakarta: Pustaka Dian.