Senin, 28 November 2011

FORMAT SKRIPSI YANG BENAR

Biasanya, setiap fakultas/universitas sudah menerbitkan acuan/pedoman penulisan hasil penelitian yang baku. Mulai dari penyusunan konten, tebal halaman, jenis kertas dan sampul, hingga ukuran/jenis huruf dan spasi yang digunakan. Akan tetapi, secara umum format hasil penelitian dibagi ke dalam beberapa bagian sebagai berikut.

Pendahuluan. Bagian pertama ini menjelaskan tentang isu penelitian, motivasi yang melandasi penelitian tersebut dilakukan, tujuan yang diharapkan dapat tercapai melalui penelitian ini, dan kontribusi yang akan diberikan dari penelitian ini.

Pengkajian Teori & Pengembangan Hipotesis. Setelah latar belakang penelitian dipaparkan jelas di bab pertama, kemudian dilanjutkan dengan kaji teori dan pengembangan hipotesis. Pastikan bahwa bagian ini align juga dengan bagian sebelumnya. Mengingat banyak juga mahasiswa yang “gagal” menyusun alignment ini. Akibatnya, skripsinya terasa kurang make sense dan nggak nyambung.

Metodologi Penelitian. Berisi penjelasan tentang data yang digunakan, pemodelan empiris yang dipakai, tipe dan rancangan sampel, bagaimana menyeleksi data dan karakter data yang digunakan, model penelitian yang diacu, dan sebagainya.

Hasil Penelitian. Bagian ini memaparkan hasil pengujian hipotesis, biasanya meliputi hasil pengolahan secara statistik, pengujian validitas dan reliabilitas, dan diterima/tidaknya hipotesis yang diajukan.

Penutup. Berisi ringkasan, simpulan, diskusi, keterbatasan, dan saran. Hasil penelitian harus disarikan dan didiskusikan mengapa hasil yang diperoleh begini dan begitu. Anda juga harus menyimpulkan keberhasilan tujuan riset yang dapat dicapai, manakah hipotesis yang didukung/ditolak, keterbatasan apa saja yang mengganggu, juga saran-saran untuk penelitian mendatang akibat dari keterbatasan yang dijumpai pada penelitian ini.

Jangan lupa untuk melakukan proof-reading dan peer-review. Proof-reading dilakukan untuk memastikan tidak ada kesalahan tulis (typo) maupun ketidaksesuaian tata letak penulisan skripsi. Peer-review dilakukan untuk mendapatkan second opinion dari pihak lain yang kompeten. Bisa melalui dosen yang Anda kenal baik (meski bukan dosen pembimbing Anda), kakak kelas/senior Anda, teman-teman Anda yang dirasa kompeten, atau keluarga/orang tua (apabila latar belakang pendidikannya serupa dengan Anda).

MISKONSEPSI TENTANG SKRIPSI


Banyak mahasiswa yang merasa bahwa skripsi hanya "ditujukan" untuk mahasiswa-mahasiswa dengan kecerdasan di atas rata-rata. Menurut saya pribadi, penulisan skripsi adalah kombinasi antara kemauan, kerja keras, dan relationships yang baik. Kesuksesan dalam menulis skripsi tidak selalu sejalan dengan tingkat kepintaran atau tinggi/rendahnya IPK mahasiswa yang bersangkutan. Seringkali terjadi mahasiswa dengan kecerdasan rata-rata air lebih cepat menyelesaikan skripsinya daripada mahasiswa yang di atas rata-rata.

Masalah yang juga sering terjadi adalah seringkali mahasiswa datang berbicara ngalor ngidul dan membawa topik skripsi yang terlalu muluk. Padahal, untuk tataran mahasiswa S1, skripsi sejatinya adalah belajar melakukan penelitian dan menyusun laporan menurut kaidah keilmiahan yang baku. Skripsi bukan untuk menemukan teori baru atau memberikan kontribusi ilmiah. Karenanya, untuk mahasiswa S1 sebenarnya replikasi adalah sudah cukup.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa penelitian, secara umum, terbagi dalam dua pendekatan yang berbeda: pendekatan saintifik dan pendekatan naturalis. Pendekatan saintifik (scientific approach) biasanya mempunyai struktur teori yang jelas, ada pengujian kuantitif (statistik), dan juga menolak grounded theory. Sebaliknya, pendekatan naturalis (naturalist approach) umumnya tidak menggunakan struktur karena bertujuan untuk menemukan teori, hipotesis dijelaskan hanya secara implisit, lebih banyak menggunakan metode eksploratori, dan sejalan dengan grounded theory.

Mana yang lebih baik antara kedua pendekatan tersebut? Sama saja. Pendekatan satu dengan pendekatan lain bersifat saling melengkapi satu sama lain (komplementer). Jadi, tidak perlu minder jika Anda mengacu pada pendekatan yang satu, sementara teman Anda menggunakan pendekatan yang lain. Juga, tidak perlu kuatir jika menggunakan pendekatan tertentu akan menghasilkan nilai yang lebih baik/buruk daripada menggunakan pendekatan yang lain.

Jumat, 18 November 2011

MAKASSAR BUTUH WALIKOTA BERANI DAN GILA

 Seperti apa figur yang diharapkan memimpin Makassar selepas kepemimpinan Ilham Arief Sirajuddin 2013 nanti disuarakan sejumlah masyarakat. 

Pemerhati politik Sulsel Arqam Azikin mengungkapkan Makassar ke depan membutuhkan pemimpin yang pemberani dan gila.

Pemberani yang dimaksud Arqam adalah berani memutuskan simpul politik pragmatis yang mulai berkembang di masyarakat. Selain itu, Makassar juga butuh pemimpin yang berani mengundurkan diri jika suatu saat ia gagal menjalankan tugasnya. 

Hal ini disampaikan Arqam Azikin dalam Saresehan Kebangsaan Di Bawah Bayang-bayang Skeptisme Politik yang dilaksanakan oleh Jaringan Riset Nasional (JRN) di Rumah Kopi Makassar, Rabu, 16 Oktober.

Arqam menambahkan, figur wali kota Makassar yang dibutuhkan ke depan yakni figur yang gila secara visioner dan gila dalam hal intelegensi dan moralitas. "Kita butuh walikota yang memiliki moralitas yang lebih tinggi dari intelegensinya, serta koitmen terhadap janji-janjiinya, dan berani mengundurkan diri saat tidak memenuhi janjinya," tandas Arqam.

Sementara itu, Ketua KNPI Sulsel, Jamaluddin Samsir mengatakan harus ada politikus atau pemimpin yang berani membuat sejarah dengan mengundurkan diri saat gagal memenuhi janjinya terhadap rakyat.

Karena yang terjadi saat ini kata dia, politikus ramai-ramai menebar janji saat kampanye, namun saat terpilih janji itu seolah dilupakan. Masyarakat juga terkesan tidak bisa memberikan sanksi apapun. 

"Ironisnya karena ketika pemimpin itu kembali mencalonkan diri, tetap saja dipilih masyarakat," tandasnya.

Untuk itu, dia mengimbau kepada semua figur yang akan maju di pilwakot Makassar nantinya, agar lebih berhati-hati berjanji. Para politikus diminta tidak menjanjikan yang muluk-muluk kepada masyarakat.

Diskusi dihadiri sejumlah politikus seperti Ketua DPD PAN Makassar, Busra Abdullah, legislator DPRD Makassar dari PKS, Sri Rahmi, Ketua DPC Partai Demokrat Bulukumba, A Mahfud, serta kalangan pemuda dan mahasiswa.

TUHAN GURITA, NEGARA AQUARIUM

Negara adalah "Organisasi Kontrak Sosial" (John Locke) Negara adalah "Pasar Sosial" (Adam Smith) Negara adalah "Alat Penindas dari Kelas yang Berkuasa" (Marx) Negara adalah "Wadah Sosial yang Bersifat Memaksa" (Gramsci). 

Persoalan negara adalah pilihan idealistik atas dialektika ideologis. Dari sekian banyak definisi negara, rakyat dibuat bingung atas batas-batas fungsinya. Bahkan saking uniknya negara, semua urusan hidup masyarakat, mulai kelahiran hingga kematian diintervensi negara. Rumah besar yang namanya negara, saat ini mulai dipertanyakan fungsionalitasnya. 

Betapa tidak, sejak masyarakat mulai mengenal negara-kota era Yunani kuno, negara oleh masyarakat hingga saat ini tidak dapat memberikan perlindungan apalagi kesejahteraan bagi masyarakat. Perang Dunia I dan II, perang dingin, konflik rasis, etnik, suku, agama, kelompok, masih berlangsung di setiap belahan bumi. 

Isme demokrasi sebagai pendulum tata cara bernegara justru tumpang tindih atas berbagai penafsiran. Demokrasi modern hingga modifikasi demokrasi sentuhan lokal, menambah khasanah betapa demokrasi menjadi agama sipil baru dalam upaya membangun masyarakat yang sejahtera, aman dan adil. Dalam perjalanan umat manusia dalam bermasyarakat, silih berganti dengan model organisasi sosial berbeda dari zaman ke zaman. 

Masyarakat sebagai produk zaman telah melalui fase antara lain; Pertama, zaman primitif, siapa kuat dia menang. Kedua, zaman Yunani kuno, negara para filosof dan para kesatria. Ketiga, zaman feodalisme dan agama, negara para raja dan elite agama. Keempat, zaman pencerahan, negara para pendobrak dan para romantik demokrasi Yunani. Kelima, zaman modern, negara para kapitalis. Dari fase perjalanan panjang ini, penulis tentu tidak mungkin akan membahasnya satu-persatu. 

Yang terpenting adalah bagaimana memaknai upaya manusia dalam bermasyarakat secara alamiah cenderung hidup berkelompok dalam ruang kolektif. Namun, dari catatan sejarah tiap fase, manusia dalam berbangsa dan bernegara cenderung saling menaklukkan satu sama lain. 

Jadi, apakah kemudian yang dikatakan oleh Hobbes homo homini lupus est (manusia memangsa sesamanya) menjadi relevan? Lantas di mana letak moral yang konon katanya universal dan kodratif melekat pada diri setiap manusia? Atau moral itu sama sekali tidak ada, karena manusia adalah bahan lentur seperti plastik, yang harus statis dengan kondisi sekelilingnya, sebagaimana dikatakan David Hume dengan teori emotivision- nya. Kayaknya, negara semakin kehilangan relevansinya. 

Ternyata, praktik hidup bernegara tidak ubahnya sebuah dagelan yang dimainkan dalam arena panggung kemanusiaan dan hasrat ideologis dimensional. Mimpi sebagai manusia bebas yang sejahtera, aman dan adil dalam bingkai demokrasi masih dalam proses laboratori sosial, belum menemukan tata hidup hakiki umat manusia dalam bermasyarakat. 

Politik "Akuariumisme" 

Akuarium adalah sebuah wadah yang biasanya berisi ikan-ikan hias yang ada dalam rumah, berbentuk segi empat dan terbuat dari kaca tebal. Ikan hias atau makhluk apapun yang ada di dalamnya, terkesan sangat indah dan menawan. Dari aspek kesehatan, ikan-ikan itu tampak sehat dan teratur. Suhu yang disesuaikan dan sterilisasi air yang sering direfresh diganti berulang-ulang. 

Serta makanan yang diberikan secara berkala dengan takaran sesuai keinginan pemilik sekaligus si penikmat akuarium. Tapi, apakah di dalam akuarium masih terdapat kebebasan? 
Kehidupan alam akuarium, keindahan dan keberlangsungan hidup, ditentukan oleh sebuah kekuatan yang di luar batas nalar dari makhluk akuarium. Tentunya, kekuatan itu adalah si pemilik akuarium. 

Sekali si akuariumer sengaja atau lupa memberi makan atau lalai mengganti air dan menjaga suhu, maka makhluk dalam akuarium saling memangsa antar-sesamanya. Bahkan, mati secara keseluruhan. Dari keindahan dan kenyamanan sesaat, alam akuarium dapat berubah dari surga menjadi neraka. 

Artinya, ikatan sosial antar makhluk akuarium ditentukan oleh ada tidaknya makanan dan ruang yang sehat, dari si tuhan akuariumer sebagai pemilik alam akuarium. Hal tersebut diterima oleh makhluk akuarium secara instigtif keilahian dan takdiryah. 

Jika kehidupan akuarium dianalogikan dalam kehidupan bernegara, maka jelas bahwa negara tidak lebih dari sebuah akuarium raksasa, yang di dalamnya terdapat kehidupan yang dikendalikan sebuah "kekuatan besar" (baca; negara-negara maju) yang tanpa sadar oleh sebagian umat manusia terkamuflase oleh sistem hidup mereka. 

Sebagai contoh konkret, banyak negara di dunia, terutama negara-negara dunia ketiga dan negara miskin, yang negaranya dikendalikan oleh kekuatan besar dan tidak dihadapi secara kritis. 

Kekuatan besar tersebut adalah sistem ekonomi politik neoliberalisme yang menjadi sistem hidup, menipu kesadaran dan mengglobal bak gurita mencengkeram bumi, seolah-olah ingin menelannya bulat-bulat. Lembaga-lembaga dan regulasi internasional yang dibuat si tuhan gurita, seperti kerajaan fetisisme finansial internasional dan melakukan penjajahan dengan skema utang luar negeri. 

Gaya penjajahan lewat skema utang, membuat negara-negara hamba menjadi bergantung. Bagaimana tidak, sirkulasi finansial yang dipinjamkan, sebagai pinjaman pokok harus ditebus dengan bunga utang yang tidak sedikit. Anehnya, sebelum si negara hamba melunasi utang pokoknya, waktunya sudah jatuh tempo. 

Artinya, si negara hamba terjebak lagi untuk melunasi "utang bunga utang". Dan apabila si negara hamba tidak dapat melunasi utang bunga utangnya, maka si tuhan gurita mencetak uang lagi untuk didesak-pinjamkan ke negara hamba. Begitu seterusnya. 

Lalu, jika si negara hamba menolak untuk membayar utang, maka ancaman boikot dan isolasi internasional. Baik pemutusan hubungan diplomatik, politik, ekonomi, atau dengan menghancurkan struktur kekuasaan si negara hamba dengan menggantinya boneka baru. 

Artinya, seluruh kehidupan kita ditentukan dan dikendalikan oleh si tuhan gurita. Ini adalah negara dagelan yang persis sama negara akuarium. Dan rakyatnya tidak kritis dan juga menerimanya sebagai sebuah keilahian dan takdiryah fatalis! 

Pikiran Anak Zaman 

Manusia sebagai makhluk anak zaman, harus berkontemplasi untuk kembali menemukan sistem hidup baru yang lebih manusiawi. Sebagaimana laju sejarah, peradaban senantiasa berubah, seiring dengan pikiran manusia yang terus maju. Umat manusia membutuhkan pencerahan baru, peradaban baru dengan sistem sosial yang baru pula. Spirit perubahan, sangat dibutuhkan di tengah-tengah distorsi sosial terjadi di mana-mana. 

Kalau toh umat manusia belum menemukan sistem baru tersebut, tapi setidak-tidaknya sistem yang ada sekarang, pikiran jangan dibodohi. Kita tidak menolak wadah negara. Atau paling tidak, negara sebagai organisasi sosial dikembalikan asasnya sebagai wadah kesejahteraan bagi rakyat. 

Gaya negara ala John locke dengan kontrak sosialnya, negara pasar ala si moyang kapital Adam Smith, negara ala si misterius Karl Marx dengan sosialismenya, dan negara ala Gramsci dengan sosial demokratnya, konon semuanya bertujuan untuk kesejahteraan umat manusia. Jadi, apapun pilihan model negara, yang jelas rakyat tidak menginginkan negara ala raja Louis XIV "Negara adalah Saya". 

Dan rakyat lebih tidak menginginkan negara akuarium, yang setahap lagi menjadi negara gagal. "Semoga ciri-ciri di atas bukan negara republik Indonesia… meski ada kecocokan." (*)

ALANGKAH LUCUNYA NEGERIKU

Salah satu dialog yang menyentak di film "Alangkah Lucunya Negeri Ini" ketika Bang Samsul dengan tertawa sinis berkata "sekarang saya mengerti, mengapa orang yang rajin salat dan hafal pancasila masih saja korupsi." 

Salah seorang anak pencopet baru saja pulang salat di masjid dengan memakai sandal yang baru dan bagus. Ternyata sandal itu adalah milik jemaah lain yang ia ambil. 

Ketika menonton dialog tersebut dan berusaha memahami maknanya, saya pun ikut tertawa sinis. Dialog di film tersebut saya bawa ke konteks yang lebih luas: negeri ini. 

Di negeri yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia, dengan lima agama formal dan sejumlah keyakinan, yang rajin membaca ayat suci di awal dan doa di akhir suatu perhelatan, yang sejak kecil diajari berbagai macam doa sebelum makan, tidur, atau belajar, ternyata selalu masuk lima besar negara terkorup di Asia dan bahkan dunia. 

Perkara ini lucu selucu-lucunya, sekaligus miris semiris-mirisnya. Dua konsep yang bertentangan secara diametral antara agama dan dosa, beragama dan mencuri, menyatu dalam wadah bernama Indonesia. 

Apa pun dan di mana pun, agama dan pencurian dan berbagai variannya seperti korupsi, kolusi, nepotisme, suap, atau mengemplang pajak, tak bisa disatukan. Ia seperti air dan minyak. Namun, seperti yang saya katakan tadi; lucu dan miris, semuanya terjadi di negeri ini. 

Disharmoni 

Bangsa ini sudah terbiasa memelihara ketakselarasan dan disharmoni. Dilaporkan, di negeri ini terjadi peningkatan di bidang ekonomi melebihi negara lain di Asia Tenggara, namun kemiskinan juga ikut melonjak tajam. 

Tiap tahun, jemaah haji Indonesia bertambah bahkan sampai antre, tapi masih ada juga rakyat yang kelaparan. Tiap saat anggota DPR kita pelesiran keluar negeri, lalu di saat yang sama banyak gedung sekolah yang hampir ambruk. 

Semuanya berawal dari disharmoni kata dan perilaku oleh para pemimpin; politik, agama, hukum atau pendidikan. Pemimpin adalah individu-individu yang dianugerahi kemampuan komunikatif yang baik dan merepresentasi diri melalui pencitraan. 

Tak ada yang menyangkal bahwa pemimpin adalah mereka yang memiliki kemampuan retorika yang baik, yaitu kemampuan untuk mempersuasi orang lain untuk melakukan sesuatu. Mereka sangat memukau ketika berpidato dalam kampanye, ceramah, perayaan hari besar, di atas mimbar dan gedung dewan. 

Teori retorika modern pun membenarkan kemampuan performatif mereka dengan memiliki penampilan menarik, bahasa tubuh, dan representasi simbol-simbol. 

Namun, ada yang salah dalam pemahaman retorika ini. Menurut Charteris-Black (Politicians and Rhetoric, 2005) bahwa banyak pemimpin modern saat ini yang menganggap bahwa retorika murni hanya perihal pilihan kata dan gaya bahasa (language choice and style). 

Menurutnya, sekarang ini muncul semacam negative sense of rhetoric as over-decorative use of language, pemahaman negatif bahwa retorika hanya terisolasi pada penggunaan bahasa yang over-dekoratif. Retorika hanya berkutat pada persoalan pilihan kata sebagai representasi diri subjek untuk membangun image. 

Pemicu dari semua ini medan komunikasi sangat kental dengan kepentingan politik yang sempit yaitu kekuasaan (power) dan uang. Model retorika yang terisolasi ini sedikit banyak telah menyumbang kegagalan bangsa. 

Retorika bukan hanya seni berbicara. Dalam retorika klasik ditegaskan bahwa retorika yang humanis harus mementingkan dua aspek yaitu kategori rasional (logos) sekaligus moral (ethos). Kategori rasional berisi tentang isi, pemikiran, penilaian, pilihan kata dan gaya bahasa, sedangkan kategori moral adalah perilaku dari pemimpin. 

Seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang bukan hanya berkata-kata melalui rasionalisasi pemikirannya, tapi juga menjadi teladan dalam perihal perilaku. Secara logos, pemimpin kita mampu meyakinkan publik bahwa mereka adalah orang berpendidikan, cerdas, fasih tentang ayat suci dan sekaligus, secara ethos, melaksanakan atau mem-perilaku-kan apa yang dikatakannya. 

Seruan melawan korupsi melalui rasionalisasi bahasa harus didukung oleh perilaku moral anti-korupsi, yaitu jujur, sederhana, transparan, tidak mengemplang pajak, menolak segala bentuk suap, atau menghindarkan diri dari penggunaan fasilitas negara untuk pribadi. 

Retorika penegakan hukum harus didukung dengan perilaku tegas, tidak pandang bulu, tak ada politisasi, dan tidak melindungi pelanggar hukum. Bukan dengan sikap lepas tangan lalu, dengan mudahnya, hanya menyatakan sikap prihatin. 

Saya masih ingat retorika pemimpin kita "bersama kita bisa". Dalam pemilihan kata ini, melalui kata "bersama" sang pemimpin ingin membangun mitos "merakyat" yang bermakna ajakan kepada seluruh rakyat untuk melakukan sesuatu bersama. Makna ini dipertegas dengan penggunaan kata "kita" yaitu kata ganti orang pertama jamak di mana partisipan (pembicara dan pendengar) menginklusifkan diri. 

Namun, pilihan kata ini teronggok semacam retorika kosong (empty rhetoric) karena rakyat ternyata ditinggalkan setelah kekuasaan digenggam. 

Tak sulit untuk membuktikan tesis ini. Kasus Century sampai hari ini mati suri. Padahal, dalam kasus ini Rp6,7 trilliun uang rakyat hilang tak berbekas. Di mana pemimpin saat itu? Rekening gendut polisi yang melanggar "retorika transparansi" sudah dilupakan. 

Di mana pemimpin saat itu? Kasus Gayus telah redup padahal pemimpin kita menjanjikan penuntasannya dalam waktu cepat. Kapolri melanggar "retorika percepatan" dengan menjanjikan penyelesaian kasus ini dalam waktu 10 hari setelah Gayus terbukti pelesiran ke Bali, namun sampai sekarang kosong. 

Dengan melihat dan memahami fakta ini, sekarang saya pun mengerti –seperti Bang Samsul dalam film "alangkah lucunya negeri ini – kenapa pemimpin kita yang yang rajin salat dan hafal pancasila masih saja korupsi. Ternyata itu hanya pencitraan untuk mengelabui publik agar mendapatkan uang, fasilitas, dan kekuasaan. "Alangkah lucunya pemimpin kita". 

Rabu, 16 November 2011

PNS: Benarkah sumber masalah di negeri kita ini???


Rasanya setiap orang tahu bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) identik dengan birokrasi yang berbelit-belit, lamban dalam menyelesaikan pekerjaan, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, sigap mencari amplop dan sabetan, datang ke kantor paling akhir tapi pulang paling awal, dan sering keluyuran saat jam kerja.

Di tengah lapangan pekerjaan yang begitu terbatas, fasilitas yang ditawarkan kepada PNS sepintas bisa dibilang sangat menggiurkan. Tak perlu kerja ngoyo tapi gaji dan tunjangan lumayan, jam kerja pendek dan susah diberhentikan. Makanya tak heran bila setiap kali dibuka website penerimaan PNS, peminatnya selalu membludak. Tak jarang yang sampai rela memberikan sogokan. This is (probably) the best job ever.
Benarkah PNS Profesi yang Aman?
Ada tulisan menarik dari Jay Rosengard tentang kebijakan fiskal, anggaran, dan krisis keuangan di Asia. Kita tahu bahwa pengelolaan dana pensiun di Indonesia dikuasai oleh ASABRI (untuk kalangan militer dan kepolisian), TASPEN (untuk PNS), dan Jamsostek (untuk swasta dan BUMN). Berdasar data World Bank 2003, ketiga institusi tersebut punya aset sekitar Rp 36 triliun per 2002.
Rosengard menilai institusi tersebut tidak piawai dalam mengelola investasi, kurang transparan dan terbuka, mismanajemen yang kronis, serta terlalu minim regulasi dan supervisi. Mereka tidak mampu memenuhi kewajiban untuk membayar pensiun (underfunded) tanpa adanya sokongan dana dari pemerintah. Situasi ini makin parah karena rasio pensiunan meningkat drastis sebagai akibat populasi yang kian menua dan skema pensiun yang makin ekstensif.
Data Asian Development Bank menunjukkan bahwa TASPEN mengalami defisit cashflow Rp 13,5 triliun pada tahun 2000. Berdasar sumber yang lain, kekurangan (shortfall) investasi TASPEN per 2003 sudah menembus angka Rp 300 triliun. Tentu saja defisit TASPEN akan makin membengkak dan ongkosnya kian mahal karena pemerintahan sekarang begitu jor-joran menerima pegawai baru.
Akibatnya, bukan tidak mungkin akan ada pensiunan yang tak kebagian jatahnya. Tapi mana ada presiden yang mau menanggung risiko didemo ribuan (jutaan) pensiunan PNS? Jadi langkah yang lebih realistis adalah membebankan shortfall TASPEN kepada negara. Ada isu bahwa per 2009, akan ada alokasi APBN yang dibelokkan untuk membayar para pensiunan. Kalau pemerintah masih kekurangan uang, bisa saja surat utang baru diterbitkan.
Apabila langkah tersebut diambil, tidak ada lagi pensiunan yang tak kebagian jatah. Namun dampaknya lebih berbahaya. Shortfall tersebut harus ditebus dengan peningkatan inflasi yang akan mendongkrak naiknya harga-harga. Bisa jadi para pensiunan tersebut menerima Rp 1,5 juta per bulan, namun harga bensin menjadi Rp 25 ribu per liter dan harga beras sudah Rp 20 ribu per kg. Harga-harga melonjak tinggi dan uang pensiun tak lagi mencukupi.
Masih ?untung? bila mereka pensiun di usia produktif sehingga bisa punya usaha dan pekerjaan sambilan. Faktanya, jenjang karir PNS begitu panjang sehingga ketika pensiun usianya sudah cukup lanjut. Mau bekerja lagi, fisik sudah tidak memungkinkan. Mau mengandalkan anak-anak, mereka sudah sibuk mengurusi keluarganya masing-masing.
Kalau sudah begini, apakah profesi sebagai PNS masih merupakan profesi yang aman dan terjamin?
Rakyat Membayar Birokrat Terlalu Mahal
Tahukah Anda bahwa pegawai Departemen Pendidikan Nasional (selain guru) jumlahnya lebih dari 200 ribu orang? Tahukah Anda bahwa pegawai Departemen Agama jumlahnnya sekitar 180 ribu orang? Pemda DKI saja mempekerjakan lebih dari 90 ribu orang pegawai?-sama dengan jumlah karyawan Microsoft di seluruh dunia. Apa betul kita membutuhkan birokrat sebanyak itu?
Bandingkan dengan instansi lain. Hanya dengan 52 ribu orang karyawan se-Indonesia, PLN bisa mengaliri listrik wilayah Indonesia 24 jam setiap hari. Hanya dengan karyawan 26 ribu orang, surat menyurat se-Indonesia sudah bisa tertangani PT Pos Indonesia. Bandingkan dengan karyawan PT Telkom yang hanya 30 ribu orang atau Pertamina yang hanya 20 ribu orang di seantero Indonesia.
Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, ongkos pendidikan juga tak menjadi lebih murah. Metro TV melaporkan bahwa biaya pendidikan SD/MI rata-rata Rp 130 ribu per bulan dan SMP/MTs rata-rata Rp 175 ribu per bulan. Ongkos sebesar itu tentu tak mampu dijangkau sebagian besar penduduk yang masih di garis kemiskinan. Maka tak heran bila penduduk Indonesia jumlahnya 211 juta jiwa namun mereka yang masih buta huruf mencapai 15 juta jiwa.
Dengan pegawai Depdiknas non-guru sebanyak itu, nyatanya data menunjukkan bahwa 50% SD dan MI serta 18% SMP dan MTs di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak. Di wilayah DKI saja, 2.552 sekolah rusak ringan dan 452 sekolah rusak parah. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi sekolah di pedalaman Kalimantan atau Papua.
Dengan pegawai Depag sebanyak itu, penyelesaian kasus sengketa aliran sesat membutuhkan waktu yang sangat lama. Dengan pegawai Depag sebanyak itu, faktanya ongkos naik haji juga tak menjadi lebih murah. Beberapa waktu lalu sejumlah calon jemaah haji melakukan demo karena kuotanya dicabut. Tentu masih hangat dalam ingatan bagaimana kasus catering jemaah haji beberapa waktu lalu yang sangat memalukan.
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Keuangan, anggaran tahun 2009 untuk Depdiknas mencapai Rp 51 triliun?-terbesar di antara departemen teknis lainnya. Sementara anggaran untuk Depag mencapai Rp 20 triliun?-sedikit di bawah kepolisian (Rp 25 triliun), namun di atas Departemen Kesehatan (19 triliun), Departemen Perhubungan (Rp 16 triliun), dan Departemen Keuangan (Rp 15 triliun).
Selama ini anggaran tersebut memang disusun berdasar input, bukan output. Perhitungan belanja pegawai dan perlengkapannya masih didasarkan pada jumlah pegawai. Akibatnya, makin lama anggaran yang dialokasikan ikut-ikutan membesar. Sejak tahun 2004 memang telah dikenalkan pendekatan output yang berbasis kinerja?-namun realita dan praktik di lapangan masih belum seperti yang diharapkan.
Saat ini, baik Depag maupun Depdiknas menduduki peringkat atas lembaga terkorup selain Kejaksaan dan Kepolisian. Maka, salahkah kalau kita berpendapat bahwa rakyat sesungguhnya membayar para birokrat dengan terlalu boros?
Diet Ketat Birokrasi
Jumlah angkatan kerja di Indonesia sekitar 95 juta orang dimana 3,7 juta orang merupakan PNS. Terlihat bahwa PNS sebetulnya minoritas dengan ongkos sangat mahal dibanding angkatan kerja non-pemerintah. Ongkos tersebut harus ditanggung oleh rakyat tak hanya lewat belanja APBN yang besar, tetapi juga biaya birokrasi, biaya siluman, dan biaya lain yang menyebabkan menurunnya output ekonomi secara agregat.
Pos belanja pegawai pemerintah pusat menurut APBN-P 2007 mencapai Rp 98 triliun dan naik menjadi Rp 128 triliun pada APBN 2008?-masih lebih besar daripada subsidi tahun ini yang besarnya Rp 97 triliun. Jumlah belanja pegawai tersebut setara dengan penerimaan sumberdaya alam yang besarnya Rp 126 triliun. Artinya, menguras isi perut bumi pertiwi masih belum cukup untuk membayar para PNS.
Oleh karena itu, mengurangi jumlah birokrat adalah langkah yang mendesak untuk dilakukan. Cara yang bisa ditempuh adalah membatasi input pegawai baru dengan sangat ketat karena penurunan secara organik membutuhkan waktu yang sangat lama. Sistem kontrak bisa dipilih karena PNS akan menjadi terpacu mengejar target dan meningkatkan kinerja?-kalau gagal, bisa diberhentikan. Sistem yang ada selama ini cenderung melumpuhkan kreativitas dan kinerja?-toh, ngebut atau lelet gaji dan tunjangan tetap dibayarkan.
Di sisi lain, pegawai yang ada sedapat mungkin diperpendek jenjang karirnya agar tidak terlalu lama membebani. Skenario golden handshake bisa dipilih lewat pemberian pelatihan kewirausahaan pada calon pensiunan serta bantuan modal dengan cicilan/bunga yang tidak terlalu mengikat. Modal bisa disesuaikan dengan biaya gaji yang dipotong sebelumnya agar tidak menambah beban pemerintah. Kalaupun harus diambil dari pos lain, tidak masalah karena aliran uang tersebut akan mengalir dalam bentuk konsumsi dan investasi yang merupakan stimulus perekonomian.
Apabila skema tersebut sukses dilakukan, maka akan mendorong lebih banyak lagi PNS yang tertarik menerima golden handshake. Pengurangan PNS bisa dipercepat dan uang negara yang dihemat dalam jangka panjang bisa lebih besar. Dengan memberikan kemudahan fasilitas (misal administrasi dan kredit) akan tercetak lebih banyak entrepreneur yang kelak merekrut lebih banyak lagi angkatan kerja. Jumlah pembayar pajak bisa meningkat yang pada akhirnya menambah penerimaan bagi negara.
Tak kalah penting, aturan bahwa ?PNS tidak bisa dipecat? juga harus dihapuskan. Tentu saja hal ini harus disertai dengan memperkuat jabatan fungsional dan menyunat jabatan struktural. Dengan pola ini, yang moncer bisa dipromosikan sementara yang letoy bisa dipecat. Selama ini sudah terlihat adanya inisiatif untuk menyingkirkan PNS yang bermasalah namun selalu terhambat aturan kepegawaian. Dengan merombak total struktur dan aturan kepegawaian yang ada, hal itu dimungkinkan.
Kalau pemerintah mau melakukan hal ini, APBN bisa dihemat puluhan (ratusan) triliun. Efek lainnya, berkurangnya PNS berarti memudahkan supervisi dan pencegahan terhadap KKN. Dengan berkurangnya jumlah PNS, belanja perlengkapan bisa dihemat dan peralatan yang ada saat ini (meja, kursi, stationery, komputer, dll) bisa diberikan untuk sekolah-sekolah yang kekurangan. At the end of the story, rakyat menjadi lebih happy karena berurusan dengan birokrat jadi lebih mudah dan tidak berbelit.
Tantangan untuk Memangkas PNS
Idealnya, PNS di negeri ini ditekan jumlahnya namun ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian, PNS bisa mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik tanpa harus melakukan pungli atau korupsi. Dengan perbaikan kesejahteraan, seharusnya nafsu untuk mencari sabetan juga bisa ditekan. Walau begitu, jelas bukan perkara yang mudah untuk memotong jumlah PNS yang ada saat ini. Pemerintah (presiden) tentu menghadapi risiko-risiko seperti:
Resistensi Internal
Dengan sistem yang telah ada saat ini, ada kecenderungan para pejabat berusaha membuat ukuran departemennya tetap besar. Makin besar berarti makin sulit dikendalikan oleh pihak lain sekaligus makin sulit dibubarkan. Akibatnya, pegawai menjadi seperti kekuatan massa di partai politik. Serikat pekerja yang terbentuk menjadi terdorong untuk mementingkan kesejahteraan mereka sendiri dan mengabaikan mereka di luar yang belum mendapat pekerjaan. Tak heran bila jumlah PNS terus membengkak dengan ongkos yang kian mahal?-masa bodoh dengan efisiensi dan efektivitas.
Imej di Mata Rakyat
Bagi sebagian masyarakat tradisional di Indonesia, rekrutmen PNS dipandang sebagai indikator bahwa perekonomian bagus karena negara mampu membiayai dan mempekerjakan banyak orang. Di beberapa wilayah, banyak yang rela menjual tanah dan sawah agar anak-anaknya bisa bersekolah dengan harapan agar menjadi PNS. Kalau jumlah PNS dikurangi dan rekrutmen dibatasi, imej pemerintah (presiden) di mata rakyat akan anjlok. Dampak lainnya, bisa jadi angka partisipasi pendidikan akan menurun. Dalam skala yang lebih akut, hal ini bisa menyebabkan destabilisasi mata uang rupiah akibat merosotnya kepercayaan kepada pemerintah.
Risiko Politik
Mana ada presiden yang berani menanggung risiko dihujat rakyat selama menjabat plus risiko hampir pasti tak terpilih untuk masa jabatan berikutnya? Belum lagi hal ini bisa mendorong berkurangnya dukungan politik yang berpindah ke tokoh lain. Kalau hal ini terjadi, kursi kabinet bisa digoyang oleh orang-orang yang tidak puas. Class action dan pergerakan besar-besaran di jalan sangat mungkin terjadi. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh lawan politik yang suka melibas di tikungan.
Last But Not Least
Sebagian besar PNS di negeri ini pendidikannya SMA (35%) sementara yang Sarjana hanya 28,9%. Lebih menyedihkan lagi, PNS bergelar S2 dan S3 hanya 2,5% dan 0,2% saja. Artinya, selain jumlahnya besar, kualitasnya pun masih perlu dipertanyakan. Terlebih lagi, ongkos yang dikeluarkan untuk menggaji mereka begitu mahal?-lebih dari Rp 100 triliun per tahun.
Andaikata saya adalah pemerintah, maka birokrasi yang efisien adalah prioritas pertama saya. Selama ini permasalahan tersebut tidak pernah mendapat sorotan yang memadai dan hanya menjadi wacana. Agar tak hanya jadi sekedar polemik, kebijakan tersebut harus di-lock dengan konstitusi. Memang tidak ada jaminan presiden selanjutnya akan meneruskan program ini, namun setidaknya program ini bisa lebih menggigit. Memang tidak ada jaminan program ini akan berhasil 100%, namun setidaknya rakyat bisa menilai dengan lebih proporsional.
Kita bukan negara yang kaya sehingga uang yang ada harus dibelanjakan dengan ketat dan tepat. Selain itu, untuk menjadi negara yang lebih baik, pegawainya juga harus kompeten dan tidak korup. Dan salah satu jalan yang paling logis adalah efisiensi birokrasi.
Sumber:
http://nofieiman.com/2011/08/pns-sumber-masalah-negeri-ini