Senin, 22 Agustus 2011

RETORIKA

SEJARAH RETORIKA
Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mung¬kin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kema¬tian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga ter¬kenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan".
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-¬kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis se-zaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang "teknik kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, retorika me¬mang mirip "ilmu silat lidah".
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang mengguling¬kan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem¬beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia men¬jauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberon¬takan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Se¬bagai orator, menurut Aristoteles, "ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena".
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-¬gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan¬-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah "dosen-dosen terbang".
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, "guru kebijaksanaan" Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati "adu pidato" seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, "ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, su¬paya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-¬jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap waris¬an prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar - yang membawa orang kepada hakikat - Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato meng¬anjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian re¬torika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima ta¬hap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric). Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada "kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: ma¬yor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, "Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita ". Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan menge¬mukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristo¬teles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pe¬san, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pem¬bicaraannya. Aristoteles menyarankan "jembatan keledai" untuk me-mudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, me¬mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampai¬kan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demos¬thenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipo-krit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-¬gerakan, anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se-gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator¬-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di¬besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem¬berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber¬pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per¬tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme¬nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se¬sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi".
Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana....

Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena¬nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se-kolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran¬-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.
Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks well.
RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai ha¬bis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng¬gerakkan - yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang¬-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me¬namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor". Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng¬ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli ba¬laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pen¬didikan Islam tradisional.
RETORIKA MODERN
Retorika modern diartikan sebagai seni berbicara atau kemampuan untuk
berbicara dan berkhotbah (Hendrikus, 1991); sehingga efektivitas penyampaian
pesan dalam retorika sangat dipengaruhi oleh teknik atau keterampilan berbicara
komunikator.
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabai¬kan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-¬fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan".
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng¬organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me¬nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng¬utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me¬nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hu¬bungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas cita¬rasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato - pada penyu¬sunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis - justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan mata¬nya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per¬hatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan "resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem¬bangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speak¬ing. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men¬definisikan persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-propo¬sisi". Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh orga¬nisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da¬sar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-ka¬limat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. "Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Ki¬ta cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Per¬suasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Per¬suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres¬tasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan:
Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian.
Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.
Pengertian
Retorika adalah kecakapan berpidato di depan umum (study retorika di Sirikkusa ibu kota Sislia Yunani abab ke 5 SM). Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan visual.
Retorika adalah memberikan suatu kasus lewat bertutur (menurut kaum sofis yang terdiri dari Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras dan Socrates akhir abad ke 5 SM). Retorika adalah ilmu yang mengajarkan orang tentang keterampilan, tentang menemukan sarana persuasif yang objectif dari suatu kasus (Aristoteles) Study yang mempelajari kesalahpahaman serta penemuan saran dan pengobatannya (Richard awal abad ke 20-an) Retorika adalah yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penetaan dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan retorika adalah persuasi, yang di maksudkan dalam persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya penanggap penutur (pendengar) akan kebenaran gagasan topic tutur (hal yang di bicarakan) si penutur (pembicara). Artinya bahwa tujuan retorika adalah membina saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat lewat kegiatan bertutur
Beberapa dimensi ideologi retorika
1. Dimensi filosofis kemanusiaan, dari dimensi ini, kita mengedepankan pemahaman dari sudut identitas (ciri pembeda) antara eksistensi. Identitas pembedanya:
• antara makhluk manusia dengan selain manusia
• antara manusia yang berbudaya
• antara yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, pandangan hidup
2. Dimensi teknis, berbicara adalah sebuah teknik penggunaan symbol dalam proses interaksi informasi.
3. Dimensi proses penampakan diri atau aktualisasi diri. Berbicara itu adalah salah satu keperluan yang tidak bisa ditinggalkan
4. Dimensi teologis, menyampaikan ajaran agama sesuatu yang wajib (dakwah)
Bicara juga ada seninya. Pernahkah anda mengamati seorang penjual obat di pasar, ketika sedang menawarkan dagangannya? Atau, pernahkah anda ikut demonstrasi di kampus anda? Kalau pernah coba amati gaya bicara sang korlap!
Retorika bukan cuma menekankan pada output verbal seseorang ketika berbicara, namun juga output non verbalnya. Percaya atau tidak, gerakan bola mata kita atau arah pandangan mata kita, bahkan benda apa yang kita pegang saat berbicara, berpengaruh pada dipercaya tidaknya ucapan kita oleh orang lain. Seni berbicara memang erat kaitannya dengan seni mempengaruhi orang lain. Salah satu kuncinya adalah kenali audiens anda. Dengan mengenali siapa yang anda ajak bicara, anda bisa memprediksi apa dan bagaimana anda harus bicara, agar ucapan anda bisa dipercaya.
LATAR BELAKANG YANG BERBEDA
Proses komunikasi pada intinya adalah proses yang berusaha mencari mutual understanding di antara dua pihak yang berkomunikasi itu. Proses itu bisa gampang, bisa jadi sulit. Mutual understanding bisa tercipta jika ada kemiripan antara frame of reference dan field of experience kedua belah pihak.
Dua pihak yang berkomunikasi membawa latar belakang pemahaman yang berbeda pula. Di benak setiap orang yang berkomunikasi, umumnya telah tercipta image, persepsi dan gambaran tentang lawan komunikasinya. Dalam banyak kasus, image bahkan dapat tercipta sebelum bertemu muka dengan si-obyek image.
Image sendiri bukanlah suatu fenomena yang buruk. Image yang tepat, dapat membantu kita dalam proses komunikasi, namun demikian, kita harus menyadari bahwa Image dapat dimanipulasi atau dikondisikan, secara sadar maupun tidak sadar, oleh diri kita sendiri, atau obyek lain diluar diri kita.








Suatu proses komunikasi akan menghasilkan mutual understanding jika ada kedekatan antara frame of reference dan field of experience dari para peserta proses komunikasi.
Untuk menjadi komunikator yang efektif, anda sedapat-dapatnya harus mengenali karakteristik audiens anda, untuk menentukan tehnik komunikasi apa yang harus anda gunakan untuk menyampaikan pesan anda.

PENTINGNYA RETORIKA
Persepsi adalah proses yang terintegrasi dalam individu, yang terjadi sebagai reaksi atas stimulus yang diterimanya (bersifat individual). Sebuah konsensus (kesamaan persepsi kolektif pada satu isu tertentu) yang tercapai melalui diskusi sosial akan menimbulkan opini publik. Sedangkan pada diri individu sendiri, opini bisa bersifat laten atau manifes. Opini yang bersifat laten disebut sikap. Sikap adalah suatu predisposisi terhadap sesuatu obyek, yang didalamnya termasuk sistem kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap obyek tersebut.
Sikap bisa dipelajari, bersifat stabil, melibatkan aspek kognisi dan afeksi, dan menunjukkan kecenderungan perilaku.

Sabtu, 13 Agustus 2011

Laporan magang Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Kualitas sebuah perguruan tinggi dapat dilihat dari kemampuan alumninya dalam mengaplikasikan ilmunya di lapangan, namun pada kenyataanya banyak alumni dari perguruan tinggi yang dianggap berkualitas gagal dalam mengaplikasikan ilmunya di lapangan, Idealisme ilmu yang diperolehnya kadang tidak relefan dengan kondisi sosial lapangan kerja yang cukup dinamis.
Untuk itu, kami sebagai mahasiswa Universitas Indonesia Timur Makassar Khususnya FKM menyelesaikan pendidikan diwajibkan melaksanakan kegiatan magang di instansi sesuai dengan jurusan yang diprogramkan.
Sebagai Perguruan Tinggi yang relatif masih muda, Universitas Indonesia Timur perlu senantiasa meningkatkan mutu pendidikannya. Khususnya Fakultas Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu fakultas yang diharapkan dapat menghasilkan sarjana kesehatan berkualitas dan memiliki kemampuan kompetitif yang signifikan dengan perkembangan dunia kerja. Untuk meningkatkan kompetensi lulusan, diupayakan setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan studi harus mengikuti program magang sebagai salah satu mata kuliah pendukung. Program Magang Mahasiswa merupakan kegiatan mahasiswa untuk belajar dari pengalaman kerja praktis di suatu perusahaan/Instansi. Dengan adanya program ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan dengan  melakukan identifikasi permasalahan, analisis dan penyelesaian permasalahan, proses produksi dan pengelolaan limbah, Survailans serta penerapan ilmu dan teknologi, khususnya Ilmu didalam bidang kesehatan masyarakat.
Program Magang Mahasiswa ini dipandang perlu untuk lebih mendekatkan dunia perguruan tinggi dengan dunia kerja serta adanya keterkaitan dan kesepadanan antara teori dan praktek di lapangan. Untuk hal tersebut, Fakultas Kesehatan Masyarakat akan melakukan penyesuaian-penyesuaian materi perkuliahan dengan perkembangan dunia kerja yang mendukung perluasan wawasan serta kemampuan individu mahasiswa.
B.     Tujuan Magang
1.    Tujuan Umum
Memberikan pengalaman praktis lapangan kepada mahasiswa dengan cara ikut serta sehari-hari sebagai integral organisasi dalam suatu perusahaan.
2.      Tujuan Khusus
a.       Meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang dunia kerja, baik dalam hal konsep keilmuannya maupun aplikasi praktisnya.
b.      Mengembangkan wawasan dunia kerja bagi mahasiswa, agar dapat meningkatkan adaptasi kepribadian dan sosial kemasyarakatan.
c.       Meningkatkan kemampuan analisa mahasiswa, khususnya terhadap masalah kesehatan masyarakat.
d.      Menggali hubungan keterkaitan dan kesepadanan antara perguruan tinggi dan dunia kerja.
C.    Manfaat Magang
1.      Bagi Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi dalam hal ini Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Timur dapat memperkaya khasanah dunia kerja melalui informasi yang diperoleh dari lapangan. Sehingga dapat melakukan penyesuaian materi perkuliahan terhadap tuntutan dunia kerja yang pada akhirnya dapat menghasilkan lulusan yang lebih kompetitif.
2.      Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto
Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto sebagai lokasi magang mahasiswa mendapatkan bantuan pegawai yang masih idealisme dan penuh dengan ilmu-ilmu segar yang baru dipelajari dari bangku perkuliahan.
3.      Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat menimba pelajaran praktis dari lapangan dan membandingkan ilmu yang diperoleh dengan dunia kerja yang sesungguhnya. Sehingga dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi kompetisi pasca pendidikan.
BAB II
GAMBARAN UMUM
DINAS KESEHATAN KABUPATEN JENEPONTO

A.    Gambaran Umum Kabupaten Jeneponto
  1. Keadaan Geografi
Kabupaten Jeneponto dengan ibukota Binamu merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yang mempunyai sejarah, budaya dan moral yang sangat tinggi sejak 138 tahun yang lalu, yaitu sejak kelahirannya pada tanggal 01 Mei 1863. Aspek yang telah mengkristal tersebut yaitu Sipakatau dan A’bulo Sibatang Accera Sitongka-tongka.
Kabupaten Jeneponto memiliki luas wilayah sebesar 749,8 km2, dimana luas wilayah Kabupaten Jeneponto hanya 1,20% dari luas Sulawesi Selatan sebesar 62.361,71 km2. Kecamatan Bangkala Barat dan Kecamatan Bangkala dengan luas masing-masing 153,0 km2 dan 121,8 kmyang mencakup 36,65% dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten Jeneponto. Secara administrasi pemerintahan terbagi atas 11 Kecamatan, 86 desa dan 27 Kelurahan. Adapun batas-batas wilayahnya sebagai berikut :
Sebelah Utara           : berbatasan dengan Kab. Gowa & Kab. Takalar.
Sebelah Timur          : berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng.
Sebelah Selatan        : berbatasan dengan Laut Flores.
Sebelah Barat           : berbatasan dengan Kabupaten Takalar.
Kabupaten Jeneponto terdiri dari :
a.       Bagian utara terdiri dari dataran tinggi dan bukit-bukit dengan ketinggian 500 – 1.400 m diatas permukaan laut.
b.      Bagian tengah meliputi  dataran dengan ketinggian 100 – 500 m diatas permukaan laut.
c.       Bagian selatan wilayah dataran rendah dengan ketinggia 0 – 150 m diatas permukaan laut.

  1. Keadaan Penduduk
Kependudukan merupakan salah satu factor yang mempengaruhi masalah kesehatan, baik dari segi jumlah (kuantitas), pertumbuhan, struktur umum, morbiditas dan mata pencaharian penduduk. Bidang kependudukan diarahkan untuk pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas dan pengerahan mobilitas. Masalah utama kependudukan di Indonesia, pada dasarnya meliputi 3 hal penting yaitu jumlah penduduk yang besar, komposisi penduduk yang kurang menguntungkan (proporsi penduduk berusia muda masih relative tinggi) dan persebaran penduduk yang kurang merata.
Menurut data BPS Kabupaten Jeneponto, pada tahun 2009 jumlah penduduk Kabupaten Jeneponto sebanyak 334.175 jiwa. Rasio jenis kelamin memperlihatkan perkembangan penduduk berdasarkan jenis kelamin yaitu perbandingan penduduk kelamin laki-laki dan penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin pada tahun 2009 yaitu 93,4% sama dengan tahun lalu.
Table 1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Di Kabupaten Jeneponto Tahun 2010
Jenis Kelamin
n
%
Laki – Laki
Perempuan
161414
172761
48,3
51,7
Jumlah
334175
100,0
Sumber : Data Sekunder 2010
Tabel 1 menunjukkan bahwa penduduk dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 48,3% dan jenis kelamin perempuan sebanyak 51,7%.
  1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang ditamatkan merupakan indicator pokok kualitas pendidikan formal. Sulawesi Selatan pada tahun 2002, persentase penduduk yang tamat SD 23,36% dan yang tidak tamat SD sekitar 58,76%. Persentase penduduk di Kabupaten Jeneponto tahun 2009 yang melek huruf sebesar 79,1%, dimana persentase melek huruf untuk laki-laki sebesar 81,5% dan perempuan sebesar 76,9%.
  1. Keadaan Ekonomi
            Product Domestic Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu pencerminan kemajuan ekonomi suatu daerah. Hal ini didefinisikan sebagai keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam waktu satu tahun di wilayah tersebut.
5.      Sarana dan      Prasarana Pelayanan Kesehatan
a.       Data Sarana Pelayanan Kesehatan (Pemerintah dan Swasta)
Sarana Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Jeneponto terdiri dari:
1.      Puskesmas                               : 18
2.      Rumah Sakit                             : 1
3.      Rumah Sakit Swasta                 : 0
4.      Pustu                                        : 71
5.      Polindes                              : 43
b.      Data dasar Petugas kesehatan (Dokter, Bidan, Perawat) di Instansi Swasta maupun Negeri
No
Sarana Kesehatan
Spesifikasi Tenaga
Jumlah
Dokter
Perawat
Bidan
Non Paramedis
1
RSU
15
60
20
19
114
2
Puskesmas
22
115
81
70
288
Jumlah
37
175
101
89
402

6.      Visi Dan Misi Kabupaten Jeneponto
Visi     : terwujudnya masyarakat jeneponto yang sejahtera dan bermartabat.
Misi     :   1. Memperkuat kelembagaan pemerintah dan masyarakat
                2.  Mengembangkan kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
                3.  Meningkatkan sarana dan prasarana wilayah secara merata.
                4. Memperkuat dan memberdayakan ekonomi kerakyatan
B.     Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah yang ditindak lanjuti dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah baik propinsi, kabupaten dan kota menyusun dan menetapkan organisasi perangkat daerahnya sesuai kebutuhan.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto sebagai organisasi yang menangani bidang kesehatan menyikapinya dengan berusaha untuk melakukan pembenahan organisasi kelembagaan. Seperti diketahui bahwa bidang tugas Dinas Kesehatan berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan di masyarakat dan sangat terkait dengan unit-unit kerja lainnya, untuk itu dituntut kinerja aparat (petugas Kesehatan) serta dukungan administrasi dan pembiayaan yang memadai dari organisasi/lembaga.
1.      Sumber Daya Organisasi
Jumlah pegawai Dinas Kesehatan adalah sebanyak 444 orang yang terdiri dari pegawai negeri 420 orang, tenaga kontrak 1 orang dan tenaga sukarela 23 orang. Tingkat pendidikan pegawai Dinas Kesehatan belum memadai. Dari 588 orang PNS, 14 orang telah menyelesaikan master (S2) dan 7 orang sementara pendidikan, sarjana 125 orang, Diploma tiga 256 orang dan SMA sebanyak 177, SMP sebanyak 11 orang, SD sebanyak 5 orang. Dari 588 orang tenaga kesehatan terdiri dari tenaga Medis 36 orang, tenaga Paramedis sebanyak 304 orang, tenaga non medis sebanyak 159 orang dan tenaga non kesehatan sebanyak 78 orang. Sedangkan pangkat/golongan sebagian besar golongan III yaitu sebanyak 306 orang serta golongan II sebanyak 271 orang.
2.      Lingkungan Strategis
Organisasi Dinas Kesehatan dalam perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan strategis, yang terdiri atas lingkungan internal dan lingkungan Eksternal.
a.      Lingkungan Internal
Lingkungan internal merupakan factor lingkungan yang berpengaruh pada kinerja organisasi yang dititik beratkan pada :
1.      Sumber Daya Organisasi
Sumber daya manusia adalah sumber daya aparatur (pegawai) yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan yang merupakan kekuatan organisasi dalam mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi.
Dalam perkembangannya Organisasi Dinas Kesehatan pada tahun 2009 didukung oleh pegawai berjumlah 588 orang. Bila dilihat dari jenis ketenagaannya Pegawai Dinas Kesehatan terdiri dari tenaga Medis sebanyak 36 orang, tenaga Paramedis sebanyak 304 orang, tenaga non medis sebanyak 159 orang dan tenaga Non Kesehatan sebanyak 78 orang. Berdasarkan latar belakang pendidikan jumlah tenaga kesehatan adalah sebagai berikut :
1.    SD                                    = 5 orang
2.    SLTP                                = 11 orang
3.    SLTA                               = 177 orang
4.    Sarjana Muda                   = 256 orang
5.    Sarjana                             = 125 orang
6.    Magister (S2)                   = 14 orang
2.      Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang tersedia di Organisasi Dinas Kesehatan antara lain, Rumah Sakit 1 unit, Puskesmas 18 unit, Pustu 55 unit, GFK 1 unit, Puskesmas Keliling 18 unit, Posyandu 408 unit, Poskesdes 49 unit dan Balai Pengobatan 1 unit. Dari segi sarana dan prasarana sudah cukup memadai untuk menjangkau pelayanan utamanya masyarakat yang jauh dari pusat pelayanan.
3.      Sumber Pembiayaan
Untuk menjalankan kegiatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto digunakan dana/anggaran yang bersumber dari APBD Kabupaten Jeneponto, APBD Tk. I, dan APBN.
4.      Organisasi Kelembagaan
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Jeneponto Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah disempurnakanlah struktur organisasi.
b.      Lingkungan Eksternal
Lingkungan Eksternal merupakan factor lingkungan yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi akan tetapi merupakan factor di luar organisasi. Menyikapi lingkungan eksternal, kondisi sosial ekonomi dan politik merupakan faktor dominan yang sangat mempengaruhi kinerja organisasi.
Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan khususnya pelayanan kesehatan pelaksanaannya perlu mendapat dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu aspirasi masyarakat harus disikapi secara professional, karena merupakan wujud dari partisipasi masyarakat sebagai objek dan pelaku pembangunan itu sendiri.
Untuk mewujudkan iklim yang kondusif dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan, dituntut adanya transparansi, lebih realistis serta dapat dipertanggung jawabkan, sebab kondisi masyarakat sekarang ini semakin kritis dalam menerima setiap perkembangan pembangunan kesehatan.
3.      Visi dan Misi
a.       Visi
Visi merupakan cara pandang jauh kedepan tentang kemana Dinas Kesehatan akan diarahkan dan apa yang akan dicapai. Adapun visi Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto adalah :
” Jeneponto Mandiri Untuk Hidup Sehat Menuju Masyarakat Yang Sejahtera Dan Bermartabat”.
Penjabaran makna dari Visi Dinas Kesehatan tersebut adalah sebagai berikut :
Mandiri         :  adalah sikap masyarakat Jeneponto yang ditandai dengan kemampuan untuk mengatasi permasalahan kesehatannya dengan mengandalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mampu memenuhi kebutuhan kesehatan serta mengambil keputusan dan tindakan dalam penanganan masalah kesehatan.
Hidup Sehat             :  adalah kehidupan masyarakat yang bebas dari segala macam masalah akibat penyakit dan gangguan kesehatan lainnya serta dapat melakukan aktivitas secara produktif.
Sejahtera       : adalah kondisi masyarakat Jeneponto yang secara lahir dan bathin merasa aman, nyaman karena terbebas dari masalah kesehatan perorangan dan masyarakat.
Bermartabat  : adalah tekad masyarakat Jeneponto untuk berdiri sejajar dengan daerah lain di Sulawesi Selatan yang lebih maju, ditunjukkan melalui meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) khususnya peningkatan derajat kesehatan dan Umur Harapan Hidup (UHH).
b.      Misi
Misi Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto adalah sebagai berikut :
1.      Mendorong kemandirian dan pemberdayaan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.
2.      Menciptakan pelayanan kesehatan yang berkualitas, merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
3.      Mengembangkan kerja sama lintas sektor bagi para pelaku pembangunan sector kesehatan.
4.      Meningkatkan upaya kesehatan dan sumber daya kesehatan.
BAB III
KEGIATAN MAGANG

A.    Pelaksanaan Magang
Pelaksanaan kegiatan magang yang dilaksanakan oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Timur Makassar dimulai pada tanggal 01 - 30 juli yang bertempat di Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. Kemudian mahasiswa ditempatkan di bagian Survailans.
Kegiatan magang ini dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan survailans Epidemiologi penyakit menular (PM) khususnya penyakit DBD, Diare dan ILI (influensa like illness) serta penyakit tidak menular (PTM) lainnya seperti hipertensi di Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto pada tahun 2008-2010, Dengan melihat hasil pengamatan, Pencacatan, Pelaporan, pengolahan dan analisis Data, serta melihat gambaran Distribusi penyakit DBD, Diare dan ILI berdasarkan Orang (umur dan jenis kelamin), Waktu (bulan dan tahun), dan tempat (per Kecamatan). Adapun hasil yang diperoleh dari kegiatan Magang ini adalah pelaksanaan P2M Survailans penyakit DBD, Diare dan ILI (Influensa like illness).
1.    P2M Survailans penyakit DBD, Diare dan ILI
a.      Gambaran penyakit DBD, Diare dan ILI
1)      Pengamatan
Tujuan dari pengamatan yang dilakukan oleh petugas Survailans adalah mengumpulkan dan menganalisis data angka kesakitan sehingga dapat dilakukan tindakan, pencegahan serta penanggulangannya. Secara umum kegiatan pengamatan penyakit menular dan tidak menular yang dilakukan oleh petugas Survailans di Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto bersifat aktif dan pasif. Untuk laporan bulanan Rumah Sakit, petugas Survailans melakukan Survailans aktif dengan datang secara langsung ke Rumah Sakit.
2)      Pencacatan
Kegiatan pencacatan penyakit DBD dan Diare dilakukan dengan cara mengisi format yang ada. Kegiatan ini dilakukan oleh Survailans dan pemegang program pemberantasan penyakit DBD, Diare dan ILI dimana laporan kasus disesuaikan dengan tanggal masuk penderita.
3)      Pengumpulan data
Tujuan pengumpulan data yaitu untuk menentukan kelompok yang beresiko tinggi terhadap penuakit DBD dan Diare  serta menentukan jenis dan karakteristik (penyebab), pencacatan kejadian penyakit dan penentuan KLB terhadap penyakit tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan merekap laporan STP PKM atau STP RS yang kemudian direkap menjadi laporan bulanan dan tahunan.
4)      Kompilasi data
Kompilasi data diperlukan untuk membuat pengelompokan/spesifikasi data yang dilakukan untuk kepentingan analisis. Di Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto telah melakukan kompilasi data. Data yang dimasukkan pada format laporan mingguan, bulanan dan tahunan. Kemudian dibuat berdasarkan Orang (umur dan jenis kelamin), Place (waktu dan tempat) serta Mapping berdasarkan wilayah kecamatan khususnya penyakit DBD, Diare dam ILI.
5)      Pengolahan dan Analisis Data
Petugas Survailans di Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto melakukan pengolahan data untuk penyakit DBD, Diare dan ILI pada tahun 2008-2010 dengan baik karena dilakukan dengan cara komputerisasi yang menggunakan Sofware SPSS, GIS(areview) dan Definfo sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis Data.
6)      Diseminasi
Kegiatan pelaporan penyakit DBD, Diare dan ILI di Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto dilaporkan setiap bulan mulai tanggal 01 - 08 ke Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto. Data yang telah diolah di Analisis serta dibuatkan Mapping yang biasa ditampilkan pameran ataupun Seminar.
7)      Pelaporan
Kegiatan pelaporran yang di lakukan oleh petugas Survailans telah dilaksanakan sebagaimana mestinya yaitu melaporkan semua Data Penyakit. Ketetapan laporan mingguan paling lambat hari Rabu laporan harus sudah masuk. Ketetapan laporan perbulannya ditetapkan sampai tanggal 08 sehingga laporan harus masuk sebelum tanggal yang telah ditentukan.
8)      Intervensi
Adapun Intervensi yang ada di Dinas kesehatan Kabupatan Jeneponto dilakukan berdasarkan program-program yang ada. Program-program P2M misalnya, Untuk penyakit DBD seperti PE (Penyelidikan Epidemiologi), Survey aktif Rumah Sakit, Survey Jentik, Abatesasi, Penanggulangan Focus (fogging), Penyuluhan 3M, Evaluasi dan Pemantauan.
Untuk penyakit Diare antara lain SKD (sistem kewaspadaan dini),Membentuk TGC (Tim gerak cepat), Penuluhan Kesehatan Masyarakat, peningkata kegiatan laboratorium dan Evaluasi sanitasi sedangkan untuk Program-program ILI (influenza like illness) salah satunya adalah berupa penyuluhan/sosialisasi serta program-program pemberian vaksinasi.
9)      Evaluasi
            Kegiatan Evaluasi dimulai dari pengamatan sampai dengan pelaporan tidak dilakukan oleh petugas survailans sedangkan pemegang program pemberantasan DBD (P2B2) dan Diare (SKD) melakukan evaluasi dan monitoring program ditingkat Kabupaten.
2.    Gambaran Penyakit DBD, Diare dan ILI berdasarkan atribut survailans.
a.       Kesederhanaan
Kesederhanaan sistem survailans Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto mencakup sistem pencatatan dan pelaporan yang jelas, terdiri dari laporan STP PKM dan STP RS serta laporan Mingguan wabah (W2).
b.      Fleksibilitas
Suatu sistem survailans harus dapat mennyesuaikan diri dengan perubahan informasi yang dibutuhkan atau situasi pelaksanan tanpa disertai peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, tenaga dan waktu. Sistem survailans penyakit DBD, Diare dan ILI di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto tergolong fleksibelkarena mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan informasi yang dibutuhkan.
c.       Akseptability
Sistem survailans penyakit DBD, Diare dan ILI di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto memiliki aksebtabilitas yang tinggi karena hal ini dapat dilihat dari tingkat partisipasi tenaga survailans serta kelengkapan formulir pelapiran.
d.      Sensitivitas
Sensitivitas suatu sistem dapat dilihat dalam dua tingkatan yaitu; pertama, tingkatan pada tingkat pengumpulan data, dan proporsi kasus yang dideteksi oleh sistem survailand Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto yang berjalan dengan cukup baik. Tingkatan ke dua yaitu kemampuan sistem untuk menafsirkan dan menilai KLB.
e.       Nilai Prediksi Positif
Proporsi orang-orang yang diidentifikasi sebagai kasus yang sesungguhnya, di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto dapat dilihat nilai prediktif positifnya karena memiliki diagnosis yang jelas antara kasus dan tersangka.
f.       Representatif
Dapat menguraikan dengan tepat berbagai kejadian atau peristiwa kesehatan atau penyakit sepanjang waktu termasuk penyebarannyadalam populasi menurut waktu dan tempat. Sistem survailans penyakit DBD, Diare dan ILI di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto ini cukup representatf dimana data kasus DBD, Diare, dan ILI digambarkan secara cukup akurat menurut waktu dan tempat dalam buku rekapitulasi penyakit.
g.      Ketetapan waktu
Dapat dinilai dalam hal tersedianya informasi untuk penanggulangan penyakit, baik yang bersifat upaya yang sesegera mungkin maupun yang bersifat perencanaan jangka panjang. Ketetapan pelaporan survailans DBD, Diare dan ILI menggunakan pelaporan STP (survailans terpadu puskesmas) dari segi waktu pelaporan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan  petugas survailans.
3.    Gambaran Bagian survailans di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto
Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto khususnya di bagian Survailans memiliki 9 orang pegawai yang terdiri dari kepala seksi, bagian TB Kusta 2 orang, bagian survailang 2 orang, bagian Imunisasi, DBD, Diare, dan ILI masing-masing 1 orang.
a.      Program-program yang ada dibagian P2ML terdiri atas:
1.      P2ML (Pemberantasan penyakit menular langsung)
Seperti; Penyakit TB Paru, Kusta, kelamin,prambosia, ISPA dan Typoid.
2.      P2B2 (Pemberantasan penyakit menular melalui Binatang)
Seperti; Penyakit DBD, Malaria, Rabies dan Filariasis
3.      SEPIN KESMAS seperti Survailans Epidemiologi dan Imunisasi.
4.      Kesehatan Mantra misalnya kesehatan Haji dan penanggulangan Bencana.
b.      PTM (Penyakit tidak menular)
Sesuai dengan program Pemerintah provinsi tentang PTM yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto adalah Hipertensi, PPOK (Penyakit paru Obstruksi Kronik), Kecelakaan Lalu Lintas, Diabetes Melitus, Penyakit Jantung Koroner dan Tumor/kanker.
c.       Gambaran epidemiologi Penyakit DBD
1.      Menurut orang
Untuk gambaran Epidemiologi Penyakit DBD berdasarkan orang diambil karakteristik jenis kelamin dan umur.
2.      Jenis Kelamin
Tabel 2. Distribusi penderita DBD Menurut  jenis kelamin
di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto 2008-2010

Jenis Kelamin
Tahun
2008
2009
2010
N
%
N
%
N
%
Laki-laki
Perempuan
490
47’7
485
53,3
492
50,5
538
52,3
525
57,7
582
59,5
Jumlah
1028
100
910
100
974
100
      Sumber: Data sekunder, 2010
Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki di Kabupaten Jeneponto tertinggi pada Tahun 2009 sebanyak 53,3% dan terendah pada tahun tahun 2008 sebayak 47,7 sedangkan jenis kelamin perempuan tertiggi pada tahun 2010 sebanyak 59,5% dan terendah pada tahun 2008 sebanyak 52,3%.
3.      Umur
Tabel 3. Distribusi Penderita DBD Menurut Golongan Umur
Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto 2008 - 2010

Golongan Umur
Tahun
2008
2009
2010
N
%
N
%
N
%

<1 Thn

1-4 Thn

5-9 Thn

10-14 Thn

>15 Thn


7

208

528

242

43


0,68

21,23

51,36

24,54

4,18

3

219

429

221

38

0,32

23,0

47,14

24,28

4,17

15

193

453

223

69

1,54

19,81

46,50

22,99

7,08
Jumlah
1028
100
910
100
974
100
Sumber: Data Sekunder, 2010
Tabel 3 menunjukkan bahwa di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2008 penderita penyakit DBD tertinggi pada kelompok umur 5-9 tahun sebanyak 51,36% dan terendah pada kelompok umur <1 tahun  sebanyak 0,68%, pada tahun 2009 tertinggi pada kelompok 1-4 tahun sebanyak 23,0% dan terendah kelompok umur <1 tahun sebanyak 0,32 dan pada tahun 2010 tertinggi pada kelompok umur 5-9 tahun sebanyak 46,50% dan terendah kelompok umur >15 tahun sebanyak 7,08%.
4.      Distribusi menurut waktu
a.       Bulan
Tabel 4. Distribusi Penderita DBD Menurut Bulan
Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto Tahun 2008-2010

Bulan
Tahun
2008
2009
2010
N
%
N
%
N
%

Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember

131
131
122
107
138
117
80
32
9
11
17
133

12,74
12,74
11,86
10,40
13,42
11,38
7,78
3,11
0,68
1,07
1,65
12,93

147
10
69
44
30
34
33
23
53
124
104
144

16,15
1,09
7,58
4,83
3,29
3,73
3,62
2,52
5,82
13,62
11,42
15,82

130
89
72
82
73
110
70
94
61
87
106
-

13,34
9,13
7,39
8,41
7,49
11,29
7,18
9,65
6,26
8,93
10,88
-
Jumlah
1028
100
910
100
975
100
Sumber: Data Sekunder, 2010
Tabel 4 menunjukkan Pada tahun 2008 penderita DBD tertinggi pada bulan Mei sebanyak 13,42% dan terendah pada bulan September sebanyak 0,68%, Pada tahun 2009 tertinggi pada bulan Januari sebanyak 16,15% dan terandah pada bulan Februari sebanyak 1,09%, Pada tahun 2010 tertinggi pada bulan Januari sebanyak 13,34% dan terendah pada bulan september sebanyak 6,26%.
b.      Kasus kejadian penyakit tersebut mengalami Fluktuasi karena pada tahun 2008 angka penderita DBD sangat signifikan tingginya,  kemudian menurun pada tahun 2009 dan sedikit meningkat  pada tahun 2010. Hal ini dapat berarti bahwa upaya Promotif dan Preventif penyakit DBD tidak secara maksimal dan konfrehensif atau berkesinambungan dilakukan.
c.       Distribusi Menurut kecamatan
Tabel 5. Distribusi Penderita DBD menurut kecamatan
Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto
Tahun 2008-2010

Kecamatan
Tahun
2008
2009
2010
N
%
N
%
N
%
Binamu
Tamalatea
Bontoramba
Bangkala
Bangkala Barat
Turatea
Kelara
Rumbia
Batang
Arungkeke
Taroang
211
48
97
440
33
27
23
28
14
28
79
20,52
4,66
9,43
42,80
3,21
2,62
2,23
2,72
1,36
2,72
7,68
92
60
80
202
70
60
80
58
61
52
95
10,10
6,59
8,79
22,19
8,35
6,59
8,79
6,37
6,70
5,71
10,43
102
60
92
189
70
81
78
71
61
75
95
10,46
6,15
9,43
19,38
7,17
8,30
8
7,28
6,25
7,69
9,74
Jumlah
1028
100,00
910
100,00
975
100,00
              Sumber: Data Sekunder, 2010
Tabel 5 menunjukkan Bahwa di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2008 penderita DBD tertinggi di Kecamatan Bangkala sebanyak 42,80% dan terendah di Kecamatan Batang sebanyak 1,36%. Pada tahun 2009 tertinggi di kecamatan Bangkala sebanyak 22,19% dan terendah di kecamatan Arungkeke sebanyak 5,71%, dan pada tahun 2010 tertinggi di kecamatan Bangkala sebanyak 19,38% dan terendah di kecamatan Batang sebanyak 6,25%
d.      Insiden  Rate Penyakit Diare
Tabel 6. Distribusi Insiden Rate Penderita Diare Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto Tahun 2008-2010
Kecamatan
IR 2008
IR 2009
IR 2010
Binamu
Tamalatea
Bontoramba
Bangkala
Bangkala Barat
Turatea
Kelara
Rumbia
Togo-togo
Arungkeke
Taroang
-
16,8
12,6
-
-
-
99,0
46,0
192,9
51,8
61,7
-
14,0
-
-
6,8
17,2
17,2
32,7
104,1
103,2
122,9
-
41,5
-
17,2
-
85,1
51,0
25,9
67,4
196,7
167,6
Jumlah
147,6
130,1
138,0
Sumber: Data Sekunder, 2010
Tabel 6 menunjukkan bahwa Insiden Rate Diare di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2008 tertinggi di Kecamatan Togo-togo sebanyak 192,9% dan terendah di Kecamatan Bontoramba sebanyak 12,6%, Pada tahun 2009 tertinggi di kecamatan Taroang sebanyak 122,9% dan terendah di kecamatan Bangkala Barat sebanyak 6,8%, dan pada tahun 2010 tertinggi dikecamatan Arungkeke sebanyak 196,7% dan terendah dikecamatan Bangkala sebanyak 17,2%
B.     Pembahasan
1.        Gambaran Epidemiologi penyakit DBD
a.    Distribusi menurut orang (jenis kelamin dan umur)
             Perbedaan sifat dan keadaan karakteristik individu secara tidak langsung dapat memberikan perbedaan pada sifat/keadaan keterpaparan maupun derajat resiko serta reaksi individu terhadap keadaan keterpaparan sangat bervariatif. Distribusi penderita Diare menurut jenis kelamin Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto pada tahun 2008 sebanayak 47,60%, pada tahun 2009 tertinggi pada perempuan, hal ini diakibatkan karena system Immun yang dimiliki perempuan lebih rendah daripada laki-laki (Soegijanto S, 2003; Sustini F, 2004). Sedangkan distribusi penderita Diare  pada tahun 2008-2010 berdasarkan umur tertinggi pada kelompok umur >45 tahun, hal ini disebabkan pada usia tersebut lebih banyak melakukan aktivitas diluar rumah sehingga makanan dan minuman yang di konsumsi sebagian besar sudah tidah Higienis.
b.    Distribusi menurut waktu
Perubahan pola penyakit serta keadaan penyakit penyakit sangat dipengaruhi oleh waktu, baik perubahan yang berlangsung dalam waktu singkat maupun perubahan yang terjadi secara periodik. Jika dilihat Distribusi penderita penyakit Diare pada tahun 2008 tertinggi pada bulan Oktober sebanyak 10,62%, pada tahun 2009 tertinggi pada bulan November sebanyak 10,27% dan pada tahun 2010 tertinggi pada bulan Mei sebanyak 9,98%. Hal demikian di karenakan pada bulan tersebut merupakan musim penghujan sehingga keadaan lingkungan sekitar tercemar sehingga dapat mencemari makanan serta minuman yang akan dikonsumsi.
c.    Distribusi menurut Kecamatan
            Perbedaan keadaan penyakit dalam masyarakat  dapat disebabkan karena adanya perbedaan letak geografis, administrasi maupun adanya perbedaan sistem pelayanan peraturan dan klasifikasi penyakit sertan cara diagnosos. Sesuai dengan tingginya angka kejadian penyakit di suatu daerah seperti halnya kejadian penyakit Diare, DBD serta ILI yang terjadi di Kabupaten Jeneponto dikarenakan karena kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan sehingga pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) kurang di terapkan oleh masyarakat tersebut.
C.  Faktor Pendukung dan Penghambat
1.  Faktor Pendukung
a.         Adanya respon yang positif  dari staf Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto terhadap pelaksanaan kegiatan magang, sehingga membantu mahasiswa mendapatkan data yang dibutuhkan dalam pembuatan  laporan.
b.         Pembimbing lapangan yang sangat baik dan komunikatif membantu mahasiswa jika mengalami kesulitan selama pelaksanaan magang.
2.  Faktor Penghambat
Dalam pelaksanaan kegiatan Survailans penyakit khususnya penyakit Diare Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto terdapat beberapa masalah yang di hadapi, diantaranya:
1.  Laporan yang diterima baik dari PKM maupun RS kurang lengkap sehingga petugas Survailans Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto mengalami kesulitan dalam pengolahan analisis data.
2.  Ketetapan laporan yang sering diabaikan baik dari Puskesmas maupun Rumah Sakit.
3.  Petugas Survailans di Puskesmas maupun Rumah Sakit kurang menguasai sistem Komputerisasi.
4.  Tidak adanya data Entri yang khusus dipergunakan pada bagian Survailang di Puskesmas.
5.  Petugas Survailans khususnya Puskesmas biasanya diberi beban lain.
6.  Sistem pelaporan dirumah sakit masih bersifat Manual.
7.  Kurang diberikannya Pembekalan dari Kampus kepada Mahasiswa sehingga Mahasiswa mengalami kesulitan dalam penyusunan laporan.
BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari Hasil Magang Survailans penyakit Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto sesuai yang kami angkat adalah:
1.  Pelaksanaan Survailans yang dilaksanakan Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto sudah dilaksanakan dengan cukup baik, mulai dari kegiatan pencacatan, pengumpulan data, Kompilasi Data, pengolahan data, analisis data diseminasi, pelaporan serta Intervensi. Meskipun kegiatan evaluasi belum efektif serta kegiatan pengolahan data yang dilakukan masih sederhana dengan masih adanya yang memakai sistem manual karena kurangnya pengetahuan tentang sistem komputerisasi.
2.  Selama melakukan Magang Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto selama satu bulan, Mahasiswa banyak mendapatkan pengetahuan dalam hal dunia kerja mengenai konsep keilmuan maupun aplikasi praktisnya.
3.  Mahasiswa telah mampu mengembangkan wawasan dalam hal dunia kerja sehingga dapat meningkatkan adaptasi kepribadian serta sosial kemasyarakatan.
4.      Mahasiswa telah mampu menganalisa masalah kesehatan masyarakat.
5.      Mahasiswa mampu menggali hubungan keterkaitan serta kesepadanan antara perguruan tinggi dengan dunia kerja.
B.   Saran
1.     Pengolahan serta kompilasi data sebaiknya menggunakan sistem komputerisasi  sehingga memudahkan petugas survailans dalam hal pengolahan data.
2.     Perlu dilakukan kegiatan pelatihan bagi petugas Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto khususnya di Puskesmas dalam bidang Survailans yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dalam hal pencacatan maupun pengolahan Data.
3.     Kepada petugas Survailans Di Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto khususnya di Puskesmas agar sekiranya tidak diberi beban kerja lain yang tidak sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki.
4.     Mengingat masih tingginya angka penderita DBD, Diare dan ILI, maka sangat penting melakukan program penyuluhan (preventif) yang berkesinambungan serta pemberantasan (eradikasi) guna untuk menurunkan serta menekan jumlah dan kuantitas penderita penyakit tersebut.
Referensi:
Bustan, Najib, Pengantar Epidemiologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto, Profil Kesehatan Kabupaten Jeneponto Tahun 2008, Jeneponto: 2009.
Laksono T, Identifikasi Kelemahan dalam Pelaksanaan Survailans, WWW.reportsesurvailans. Diakses Januari 2009.
Noor, Nasry, “Epidemiologi”, Makassar; Lephas, 2004.
Noor, Nasry, Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.